Menuju Seperempat Abad


Meski tidak sepenuhnya senang bahwa ternyata saya masih semuda ini, nyatanya saya cukup merasa senang, oh bukan senang, lebih tepatnya merasa cukup rileks. Oh iya, saya masih umur segini, rasa-rasanya perjalanan masih sangat jauh meski siapapun di antara kita tidak ada yang tahu umurnya sampai berapa lama.

Mari menyemogakan semesta masih bersahabat untuk kita hidup lama-lama di bumi tanpa terlalu banyak perasaan susah dan menderita.

Bagi saya yang tahun ini 24 tahun, ya, beberapa bulan lalu lebih tepatnya, ada beberapa hal yang kemudian saya pikirkan lagi sebagai bagian dari perjalanan-perjalanan saya. Pertama adalah keharusan untuk berpikir ulang bahwa selama ini saya terlalu buru-buru. Kedua adalah tentang menikmati apapun proses yang saya alami di waktu-waktu ini. Ketiga adalah tentang keyakinan bahwa Tuhan Maha Baik dan Ia memberikan saya orang-orang terpilih untuk melewati tahun-tahun saya ke depan dan seterusnya.

Mari kita menghela napas dalam-dalam.. dan lepaskan dengan perlahan.

Beberapa hari ini saya sedang disibukkan dengan kegiatan baru, yakni meditasi selepas kerja. Biasanya di kamar kost saya yang atmosfernya asik sekali untuk tidur, saya cuma berbaring. Saya menemukan sebuah aplikasi yang memandu saya melakukan meditasi selain ingatan pada percakapan-percakapan saya dengan teman-teman.

"Kamu kalo salatnya khusyu' juga rasanya sama seperti meditasi," katanya suatu waktu. Aku mengamini, tapi sungguh setan apa yang bercokol di diri saya, bahkan ketika salat pun saya terpikirkan hal-hal buruk.

***

Pada waktu-waktu belakangan ini, saya seringkali dilanda cemas. Saya cemas pada diri saya, pada orang-orang di sekitar saya, pada orang-orang yang mungkin akan hadir di hidup saya, pada setiap kemungkinan dan bayangan-bayangan di kepala saya. Semua hal hadir bergantian dan rasanya semenyeramkan itu.

Seperti laiknya orang depresi, malam hari terasa lama dan panjang sekali. Saya mencoba mencari pertolongan tapi saya pun tidak tahu bagian apa dalam diri saya yang mesti ditolong. Rasanya hanya semuanya kosong, lalu saya kerap berpikir, bagaimana seandainya saya tidak di sini, bagaimana seandainya hal-hal traumatis bertahun lalu dan di tahun-tahun kemarin tidak pernah terjadi di hidup saya? Akankah semua hal baik-baik saja? Apakah saya akan di sini? Apakah saya akan bertemu orang-orang ini?

Saya tidak tahu.

Seseorang bilang pada saya bahwa dalam hidupnya, jika ada satu hal yang ingin sekali diubah dalam hidupnya adalah bagian yang cukup mengacau dalam dirinya, yang bercokol sekian lama sejak ia hadir di dunia hingga saat ini.

Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah jika tanpa hal-hal buruk itu, kita tidak bertemu? Apakah hingga sekarang, kamu masih menganggap saya adalah bagian dari mimpi buruk yang masih menghantuimu sampai saat ini? Bagaimana bisa?

***

"Apakah menurutmu kamu setangguh itu?"
"We are."

Lalu ia memberi kecupan manis.

Mengapa saya tidak bisa melihat hidup kita seperti naik wahana ekstrem di Dunia Fantasi; menakutkannya hanya ketika dibayangkan dan disaksikan dari jauh. Ketika kita mulai melangkah dalam antrian, lalu akhirnya terduduk dan diikat sabuk pengaman, kita bisa apa?

Tentu sebagai makhluk beriman saya tidak boleh menyalahkan Tuhan. Paling-paling saya menganggap-Nya suka bercanda.



Share: