Sejauh dan Sedekat Kamar Saya

Saya nggak menyangka kalau keputusan untuk disiplin social distancing akan sebegininya. Hampir sebulan saya tidak bertemu teman-teman, tidak juga Angga, karena saya melarang keras semua jenis interaksi sejak Jakarta dinyatakan sebagai red-zone. Sebagai orang yang kebetulan kantornya punya privilege, kami semua kerja di rumah sejak awal Maret lalu.


Ada banyak hal yang membuat saya sedih, tetapi tidak sedikit juga yang masih saya syukuri. Termasuk dalam bekerja, industri dan posisi yang strategis, hingga teman-teman dan keluarga yang tidak henti-hentinya mendukung satu sama lain. Saya telah membatalkan seluruh rencana perjalanan, termasuk juga untuk mudik. Jadi lebaran ini untuk pertama kalinya saya tidak di rumah dan bertemu dengan banyak orang.

Kakek dari Bapak meninggal tahun ini dan itu berarti, seperti tahun-tahun sebelumnya, mestinya di hari ketigapuluh Ramadhan saya berziarah ke makam orang-orang yang mendahului saya dan melihat betapa hidup akhirnya cuma begitu saja. Saya sering melankoli setiap kali mengunjungi makam. Pertanyaan saya tak henti-hentinya seputar, "Bagaimana orang-orang ini berdamai dengan waktu jika, katakanlah, memang ada hari akhir di mana mereka mestinya akan dibangkitkan?"

***

Jika ada satu dari sekian banyak hal yang membuat saya masih bersyukur selama pandemi ini adalah saya akhirnya memasak. Investasi beberapa barang untuk membuat kosan rasa apartemen rasanya nggak percuma karena saya jadi lebih memahami lidah saya yang selama ini tidak cocok dengan segala makanan yang saya makan. Ini kurang asin, ini kurang pedas, ini daunnya terlalu layu, batangnya kurang matang, dan lain-lain.

Saya memulai perjalanan memasak yang selalu saya katakan hanyalah perihal skill bertahan hidup. Sekali gagal, dua kali membaik, seterusnya saya rasa lebih baik dari makanan-makanan yang sering saya beli.

"Nanti kalo pandeminya udah selesai, kalo weekend kita masak. Aku udah bisa masak enak!"
"Beb nanti kalo pandeminya udah kelar kita Bandung atau Jogja yuk!"

"Hmm habis ini kita nikah aja yuk?"

Tentu saya tidak berpikir ajakan menikah via Whatsapp ini serius. Angga terlalu sering mengajak saya menikah tapi selalu katakan bahwa mungkin saya akan membuat keputusan-keputusan besar dalam hidup saya setelah usia 25 tahun dan itu masuk akal.

Lagipula di tengah anjuran untuk tidak ke mana-mana seperti ini, seperti semua orang, saya pun merasakan kesepian yang luar biasa dan mulai mengganggu psikologis saya akhir-akhir ini. Namun, menikah bukan perkara cuma biar nggak kesepian, kan?

***

Selama berminggu-minggu di kamar, saya merasakan perjalanan yang jauh menembus dimensi-dimensi lain lewat beragam buku yang saya baca atau lewat film-film yang saya tonton. Rasanya belum pernah sedekat ini saya mengikuti perjalanan orang-orang asing yang tidak saya kenal.

Ke mana saja saya selama ini? Apakah pekerjaan ini benar-benar mengganggu?

Jakarta mengubah banyak hal dalam hidup saya. Lalu di masa pandemi ini, banyak hal yang membawa saya pada diri saya yang menghabiskan waktu seorang diri, membaca, menulis, menonton sinema, meresensi, mengapresiasi musik dan karya seni. Mengapa Jakarta menjauhkan saya dari diri saya sendiri? Atas nama pekerjaan dan menjadi dewasa?

***

Praktis setelah kami saling mengenal dan intens berkomunikasi, Angga mungkin jadi satu-satunya orang yang padanya saya tidak sungkan untuk menghubungi setiap waktu dan begitupun dia kepada saya. Saya tidak tahu apakah selama ini dia menghubungi orang-orang lain selain saya atau tidak, tapi saya tidak. Saya bisa menelepon dia jam 5 pagi, jam 10 malam, jam 1 dini hari, kadang-kadang saya menelpon dengan video. Saya menghubunginya untuk tertawa, untuk kesal, untuk menangis, dan apa saja. Dia pun begitu. Seperti semalam ketika dia menelepon saya tengah malam dari kamar mandi.

"Ngapain kamu?"
"Mandi."
"Yaudah mandi sana, aku dah mau tidur."
"Bubye. Bilang apa?"
"..."

Ingatan saya bekerja sangat keras mengingat apa yang biasa saya lakukan ketika saya belum mengenal dia. Ya, saya masih sibuk kuliah sepertinya. Sesekali saya bekerja part-time, freelance, tapi apa lagi? Seingat saya, satu-satunya laki-laki yang padanya saya mau berinvestasi waktu dan perasaan cuma seseorang di Bandung. Itupun tidak sesering itu kami berkomunikasi karena kami 'sibuk' membangun masa depan masing-masing. Teman saya tidak sebanyak sekarang di Jakarta ketika teman-teman SMA saya justru berkumpul di sini. Bertemu anak EDS pun baru pada medium 2016.

Lalu biasanya saya ngapain? Yang saya ingat ke mana-mana saya bisa pergi seorang diri. Saya bisa pulang dini hari melewati ringroad utara yang terkenal banyak klitih, saya ngopi sendirian dengan laptop sambil bekerja, belanja di mall sendiri, ke salon sendiri, apa-apa sendiri.

Bagaimanapun ingatan itu sangat related dengan apa yang saya alami selama masa isolasi. Apakah hidup memang sejatinya seorang diri seperti ini?

***

Seperti pertemuan saya dengan Angga yang mengubah banyak hal dalam hidup saya, setelah pandemi ini pun saya yakin ada diri berbeda yang akan saya hadapi dan menjadi rutin. Ada banyak perjalanan panjang selama berminggu-minggu saya diam sendiri. Beberapa hal yang akhirnya membuat saya untuk lebih belajar mengenal diri dan menyayangi orang-orang yang dimiliki.