Tentang Relasi dan Perempuan yang Gagal Memaknai Hidupnya


Fragmen Pertama

Ketika mendengar selentingan bahwa si Bunga --bukan nama sebenarnya-- memiliki suatu "romantisme" terlarang dengan --sebut saja-- Joko, hari itu aku cuma menganggapnya angin lalu. Meski di depan mataku sendiri, aku pernah menyaksikan "sikap tidak biasa" yang dilakukan oleh dua orang yang sudah sama-sama dewasa. Bagaimanapun, aku perempuan 20an tahun, aku bertahun-tahun kuliah psikologi, dan yang terpenting, aku pernah jatuh cinta dan memiliki suatu relasi intim dan romantis dengan lawan jenis. Aku bisa melihat dengan sangat jelas; ya, mereka memiliki relasi yang tidak biasa. Tapi.. masa sih? Bukannya si Joko sudah beristri dan punya anak?

"Memang gitu sisss!" Si pemilik informasi terlengkap di sana membuka suara. Hari itu kami sedang di jalan untuk makan malam di dekat kampus.
"Kamu serius?" tanyaku. Masih tidak percaya.
"Astaga! Ngapain aku bohong sama kamu tuh buat apa? Faedahnya apa buat aku tuh apa?"

Sepanjang makan malam kemudian, topik obrolan kami hanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang bahkan sampai sekarang, lebih dari setahun berlalu semenjak hari itu, masih belum terjawab.

Sejujurnya, sebagai perempuan berumur 23 tahun, aku sampai sekarang bertanya-tanya, sebenarnya, bagaimana sih masa depan yang dibayangkan perempuan berumur 20an seperti kami, belum menikah, berpendidikan tinggi, dan memiliki pekerjaan yang membuat kami bisa bertahan hidup sebagai perempuan terhormat, memilih menyukai pria yang sudah berpasangan?

"Kira-kira apa ya, yang dipikirin orang-orang seperti Bunga itu? Jujur aja aku penasaran, karena logikaku sama sekali nggak masuk," ujarku jujur waktu itu.
"Entah."

***

Fragmen Kedua

Sejujurnya aku bersimpati dengan perempuan-perempuan yang menyukai lelaki milik orang. Kau tahu kenapa? Sebab laki-laki tidak mau disalahkan. Baginya, hal-hal yang seperti Bunga-Joko itu tidak akan terjadi kalau si perempuan tidak memulai duluan. Pada beberapa kasus, kadang lelakinya yang bangsat, namun, bahkan pada lelaki paling baik-baik sekalipun, hal itu bisa terjadi.

"Masa sih ceweknya yang mulai duluan?"
"Iya. Orang cowoknya ngebiarin aja kok. Nggak ngerespons."
"Braaay. Paham nggak sih, kalo ngebiarin aja itu berbeda dengan 'melarang dengan tegas' hm? Sekarang pertanyaanku, apakah si cowok sudah dalam usaha melarang dengan tegas?"

Orang di depanku diam saja. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa posisi perempuan selalu serba salah seperti ini.

Dear lelaki, jika sampai kalian membaca tulisan ini, kalian masih tidak paham bagaimana psikologis perempuan seumuran kami. Begini, biar aku jelaskan.

Pertama-tama, kalian sudah bukan remaja. Jadi, itu yang harus kalian pahami. Ketika kalian sudah beranjak dewasa, percayalah relasi-relasi kalian akan semakin menyempit. Maka, sudah tentu kalian memahami dengan betul, bagaimana habit dari masing-masing orang di sekitar kalian.

Ketika kalian dewasa, ada dua jenis lingkaran pertemanan yang kalian punya. Satu jenis teman-teman yang memang sudah terikat waktu saking lamanya kalian berteman. Kedua, adalah teman-teman baru kalian yang kalian temui di tempat kerja. Dan tentu saja kalian tahu ya, relasi kolega itu "semestinya" seperti apa dan relasi pertemanan kalian yang sudah kelewat lama itu "normalnya" seperti apa.

Maka, ketika ada hal-hal yang tidak biasa, tolong jangan naif. Sudah tentu individu tersebut menaruh ekspektasi yang berbeda.

Bicara perihal ekspektasi inilah yang membahayakan. Dengar perdebatanku dengan orang barusan? Dibiarkan.

Sebagian laki-laki cukup baik dengan tidak menggubris hal-hal seperti ini, ketika mereka memiliki pasangan. Namun, demikian, jika tidak ditegaskan, itu artinya, kesempatan masih terbuka.

Ingat loh, ada perbedaan yang sangat besar antara "membiarkan tanpa menggubris" dengan "melarang dengan tegas" yang kemudian ditangkap oleh lawan jenis.

Dalam beberapa perbincanganku dengan teman-temanku, kami sepakat untuk menganggap manusia-manusia seperti ini sama sampahnya.

Bagi Lamia, misalnya, perempuan yang menyukai lelaki milik orang, atau laki-laki yang membiarkan perempuan seperti itu berseliweran di sekitarnya, dua-duanya sama-sama tidak tahu diri dan tidak punya harga diri. Si laki-laki tidak paham komitmen, dan si perempuan gagal memaknai kehidupannya. Menurut kami tentu saja hal yang sama terjadi juga pada laki-laki yang menyukai pasangan orang. Keduanya sama-sama tidak punya harga diri.

"Begitulah kalau tutup botol plastik dikasih nyawa."

Aku tertawa mendengar komentar Lamia, tapi aku setuju. Permasalahannya memang hanya orang-orang seperti kami tidak paham jalan pikiran mereka. Pun aku tidak pernah mengerti motivasi di baliknya. Mungkin tidak seperti mereka, kami masih mampu memaknai kehidupan kami dengan baik.

***

Fragmen Ketiga

Dalam perbincangan menuju ke bandara. Sesaat sebelum kembali ke Jakarta.

"Dalam relasi itu, ada laki-laki dan perempuan. Jika keduanya sudah sepakat untuk memiliki sebuah komitmen, maka keduanya wajib menjaga diri masing-masing, dan juga pasangannya. Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu akan tahu bagaimana caranya mempertahankan apa yang kamu miliki sebab itu hakmu. Percaya deh, sekeren-kerennya kamu menjadi perempuan, menjadi janda itu tetap bukan pilihan. Jadi menikah itu memang bukan sesuatu yang sederhana. Jangan sampai salah orang. Amit-amit."

Hari itu di ufuk timur Bandara Ahmad Yani Semarang yang baru, matahari mulai malu-malu muncul. Lalu-lalang orang mulai memadati bandara sepertiku menunggu pesawat pagi.

Sepanjang perjalanan dari Semarang ke Cengkareng, sampai di Menteng dan kembali ke kamar menyalakan AC dan melanjutkan tidur yang tertunda, aku berpikir keras. Benar juga ya. Menikah memang tidak sesederhana itu. Tetapi menjadi perempuan yang belum menikah juga ternyata tidak semudah itu.

Aku belum menikah. Di pikiranku saat ini, tidak ada sedikit pun terlintas bayangan bahwa aku menyukai lelaki milik orang. Bahkan pada beberapa teman lelakiku, jika pasangannya merasa kurang nyaman dengan pertemanan kami, aku mengalah untuk kebaikan kami semua. Aku bersumpah pada diriku sendiri, sekeren apapun orang itu, jika dia sudah jadi milik orang, maka tidak sedikit pun aku berhak atasnya. Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari alasan mengapa harus begitu. Cukup pikirkan, bagaimana jika hal tersebut terjadi di kamu? Milikmu diambil orang, atau diganggu orang?

Alasan lain adalah kupikir sebagai perempuan, aku berhak memiliki kehidupan yang lebih baik dengan tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Hal-hal yang kemudian bagi perempuan sepertiku, atau bahkan Lamia, diterjemahkan sebagai "pemaknaan atas hidup" kami yang harus diperjuangkan.

Perempuan yang menyukai lelaki milik orang adalah perempuan yang gagal memaknai hidupnya. Dan begitupun laki-laki yang menyukai perempuan milik orang lain. Mungkin akan lebih adil jika kubilang, orang yang menyukai milik orang lain, adalah mereka yang gagal memaknai hidupnya. Sebab mereka terlalu tidak berharga untuk sekadar menjaga harga diri dan kehormatannya, untuk, paling tidak, jangan mengganggu ketenangan dan kebahagiaan orang lain.

Ada Satu Hari


Ada satu hari di Bukit Ciumbuleuit. Waktu itu anginnya sejuk meski matahari terik membakar kulit. Kau dan aku duduk berdua, di bawah pohon rindang yang sesekali kita keluhkan daun-daun gugurnya. Tak jauh di sana, hamparan hijau sejuk dipandang mata. Kan, kubilang juga apa. Bandung jauh lebih menyenangkan daripada Jakarta.

Kau dan aku duduk berdua. Kita diam saja dan tidak tahu mau apa. Tapi kita duduk saja, berdua. Meresapi setiap sajak yang pernah ditulis Sapardi dalam puisi-puisinya.

Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput.
Kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk.
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga. Sampai suatu hari kita lupa untuk apa. "Tapi yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi.