tag:blogger.com,1999:blog-86679643683060657932024-03-14T08:58:48.077+07:00ErvinaLutfimenulis fiksi dalam fragmen-fragmen ceritaErvina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comBlogger40125tag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-86456357187921248072021-11-01T16:50:00.007+07:002021-11-01T16:50:35.873+07:00Oktober dan Hal-hal yang Dilakukan Pertama Kali<p>Selamat tanggal 1 November!</p><p>Secara khusus aku menulis post blog ini sebelum ngantor -- di rumah tentu saja. Bukan tanpa apa-apa, melainkan secara khusus aku ingin merayakan terlewatinya Oktober dan banyak hal yang diputuskan pertama kali pada bulan itu.</p><p>Setahun lalu di bulan Oktober, aku, atau lebih tepatnya kami, memutuskan untuk akan menikah. Aku lupa tepatnya tanggal berapa, tapi yang jelas itu di Oktober. Lalu secara mendadak kami mempersiapkan cincin kawin, lamaran, vendor, dan menentukan hari baik. Bulan April tahun berikutnya kami resmi jadi suami istri.</p><p>Pada bulan yang sama juga di tahun itu, kami memutuskan membeli kendaraan pertama kami. Sebuah mobil ganteng yang secara religius kuinginkan sejak pertama kali lihat. Kubilang secara religius, sebab memang sedemikian aku merasa yakin bahwa itu akan jadi punyaku. Bagi sebagian orang, memiliki kendaraan seperti mobil, apalagi juga mobil-mobil SUV dari Honda mungkin adalah sesuatu yang biasa aja, bahkan mungkin sebagian nyinyir atau benci karena menambah macet dan polusi. Tapi enggak buatku.</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg02S6EMeyBYkuY0WPCq_F5HKdBgCti9q2hMwZeKQlQyG9NNWumZlU0Hj9fJkFX3soqmbhVkK4_uKBlAnhp8Tv7YrLhi88rlg8sbQ0inl61eC6EkgGAm1MCJd9zA_Ldk_2LKX9bkwrMgw4a/s1280/photo_2021-11-01+11.39.34.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="960" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg02S6EMeyBYkuY0WPCq_F5HKdBgCti9q2hMwZeKQlQyG9NNWumZlU0Hj9fJkFX3soqmbhVkK4_uKBlAnhp8Tv7YrLhi88rlg8sbQ0inl61eC6EkgGAm1MCJd9zA_Ldk_2LKX9bkwrMgw4a/w480-h640/photo_2021-11-01+11.39.34.jpeg" width="480" /></a></div><br /><p>Setidaknya begitu ingat aku sekarang punya kendaraan sendiri, aku terbebas dari perasaan mau nangis dan marah seperti ketika pagi-pagi harus kuliah, tapi di Jogja sedang hujan badai lalu terpaksa aku harus naik motor kesayanganku dan memakai jas hujan, tapi tetep aja sampai kelasnya udah krembis. Kadang-kadang bahkan basah karena rembesan air :')</p><p>Atau misalnya ketika aku mau ke luar kota, lalu tiba-tiba hujan dan ibuku mesti susah payah nganterin aku naik motor ke agen dengan jas hujan yang sharing. Kubayangkan setelah aku naik travel dan berangkat ke tempat tujuan, ibuku mesti menempuh sekali lagi perjalanan pulang hujan-hujanan. Pun ketika kondisi panas menyengat kondisinya tidak jauh lebih baik.</p><p>Di waktu terburuk, kadang-kadang bahkan aku harus berpanas-panasan ke kampus pada pagi harinya, lalu begitu pulang di sore hari, helmku [kadang jaketku juga] basah kuyup karena UGM tidak menyediakan kanopi untuk parkir motor mahasiswanya --part ini paling asu sih wkwk. Atau misalnya ketika aku sangat buru-buru untuk meeting tapi semua orderan taksi onlineku dicancel karena cuaca buruk, macet, atau alasan-alasan tidak masuk akal lainnya.</p><p>Perjalanan memperoleh kendaraan sendiri, bagiku seperti perjalanan religius yang kuniatkan untuk menghapus kemarahan-kemarahan dan menghibur diri-sendiri atas keapesan yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya. Juga perasaan puas atas wujud kerja [tidak terlalu] keras yang dilakoni bertahun-tahun sejak aku kuliah. Meski kata orang pas pandemi kita nggak perlu mobil karena lebih sering di rumah. Meski kata orang cost operasional punya mobil lebih mahal daripada naik taksi. Aku cuma mau bilang, "Dah lah."</p><p>***</p><p>Setelah melewati setahun dengan cicilan [dan hampir setahun menikah], tampaknya bulan Oktober tahun ini, juga akan menjadi kali pertama kami memutuskan untuk membeli properti; sebuah rumah mungil di BSD yang sekarang masih rata dengan tanah tapi aku udah suka banget dengan fasad di rumah contohnya. Wkwk.</p><p>Nggak tahu apa yang ada di pikiranku membeli properti dengan harga semahal itu [buat kami] dan apa pula yang ada di pikiran bank mau kasih pinjaman ke kami sebanyak itu. Benar kata Hilman di Arsitektour, kalau bapakmu bukan orang kaya, satu-satunya cara untuk jump up ke level finansial yang mapan adalah bikin bank sebagai bapakmu.</p><p>Kepada suami, aku udah bilang dan menekankan berkali-kali bahwa hidup dengan orang kayak aku memang segininya berisiko, tapi ya gimana lagi? Maka dengan modal bismillah dan wani perih, kami yakin untuk beli. Xixi. Doakan kami survive sampai rumahnya jadi yaaa.</p>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-26799892812016494242021-09-22T15:04:00.001+07:002021-09-22T15:04:05.824+07:00Tentang Menikah dan Hal-hal Setelahnya<p>Ketika gue menulis post ini ada sebuah perubahan besar yang menyeluruh dalam diri gue karena gue sekarang udah menikah. Selama bulan-bulan pertama menikah, tidak seperti kebanyakan pasangan yang menikmati bulan-bulan madu, bagi kami ini adalah bulan-bulan dengan cicilan yang tidak berkesudahan. </p><p>Sederet PR sudah menghantui kami [atau minimal menghantui gue sih] tentang bagaimana relasi ini akan dipertahankan ke depannya --dengan beban finansial yang ternyata masyaallah banyaknya. Hehe. Tapi tentu saja kami masih berpikir positif ini semua akan baik-baik aja selama gue dan suami masih sehat dan mampu bekerja keras seperti sekarang.</p><p>Bagaimanapun kami juga harus banyak bersyukur karena di tengah pandemi ini kami justru berkesempatan mengumpulkan aset berikut dengan keberuntungan-keberuntungan yang datang bertubi-tubi. Misalnya saja beberapa waktu sebelum kami menikah, gue malah dikabarin sales yang kemarin bantuin gue beli mobil kalo gue menang grand prize akhir tahun. It was like.. ya Tuhan, baik bener, mau kawin malah dikadoin mobil baru [lagi]. Selain itu, gue dan suami juga dapat kerja baru dengan gaji baru dan segalanya yang baru, yang lebih baik.</p>
<blockquote class="instagram-media" data-instgrm-captioned="" data-instgrm-permalink="https://www.instagram.com/p/CM1ph95saOS/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading" data-instgrm-version="13" style="background: rgb(255, 255, 255); border-radius: 3px; border: 0px; box-shadow: rgba(0, 0, 0, 0.5) 0px 0px 1px 0px, rgba(0, 0, 0, 0.15) 0px 1px 10px 0px; margin: 1px; max-width: 540px; min-width: 326px; padding: 0px; width: calc(100% - 2px);"><div style="padding: 16px;"> <a href="https://www.instagram.com/p/CM1ph95saOS/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading" style="background: rgb(255, 255, 255); line-height: 0; padding: 0px; text-align: center; text-decoration: none; width: 100%;" target="_blank"> <div style="align-items: center; display: flex; flex-direction: row;"> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 50%; flex-grow: 0; height: 40px; margin-right: 14px; width: 40px;"></div> <div style="display: flex; flex-direction: column; flex-grow: 1; justify-content: center;"> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 4px; flex-grow: 0; height: 14px; margin-bottom: 6px; width: 100px;"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 4px; flex-grow: 0; height: 14px; width: 60px;"></div></div></div><div style="padding: 19% 0px;"></div> <div style="display: block; height: 50px; margin: 0px auto 12px; width: 50px;"><svg height="50px" version="1.1" viewbox="0 0 60 60" width="50px" xmlns:xlink="https://www.w3.org/1999/xlink" xmlns="https://www.w3.org/2000/svg"><g fill-rule="evenodd" fill="none" stroke-width="1" stroke="none"><g fill="#000000" transform="translate(-511.000000, -20.000000)"><g><path d="M556.869,30.41 C554.814,30.41 553.148,32.076 553.148,34.131 C553.148,36.186 554.814,37.852 556.869,37.852 C558.924,37.852 560.59,36.186 560.59,34.131 C560.59,32.076 558.924,30.41 556.869,30.41 M541,60.657 C535.114,60.657 530.342,55.887 530.342,50 C530.342,44.114 535.114,39.342 541,39.342 C546.887,39.342 551.658,44.114 551.658,50 C551.658,55.887 546.887,60.657 541,60.657 M541,33.886 C532.1,33.886 524.886,41.1 524.886,50 C524.886,58.899 532.1,66.113 541,66.113 C549.9,66.113 557.115,58.899 557.115,50 C557.115,41.1 549.9,33.886 541,33.886 M565.378,62.101 C565.244,65.022 564.756,66.606 564.346,67.663 C563.803,69.06 563.154,70.057 562.106,71.106 C561.058,72.155 560.06,72.803 558.662,73.347 C557.607,73.757 556.021,74.244 553.102,74.378 C549.944,74.521 548.997,74.552 541,74.552 C533.003,74.552 532.056,74.521 528.898,74.378 C525.979,74.244 524.393,73.757 523.338,73.347 C521.94,72.803 520.942,72.155 519.894,71.106 C518.846,70.057 518.197,69.06 517.654,67.663 C517.244,66.606 516.755,65.022 516.623,62.101 C516.479,58.943 516.448,57.996 516.448,50 C516.448,42.003 516.479,41.056 516.623,37.899 C516.755,34.978 517.244,33.391 517.654,32.338 C518.197,30.938 518.846,29.942 519.894,28.894 C520.942,27.846 521.94,27.196 523.338,26.654 C524.393,26.244 525.979,25.756 528.898,25.623 C532.057,25.479 533.004,25.448 541,25.448 C548.997,25.448 549.943,25.479 553.102,25.623 C556.021,25.756 557.607,26.244 558.662,26.654 C560.06,27.196 561.058,27.846 562.106,28.894 C563.154,29.942 563.803,30.938 564.346,32.338 C564.756,33.391 565.244,34.978 565.378,37.899 C565.522,41.056 565.552,42.003 565.552,50 C565.552,57.996 565.522,58.943 565.378,62.101 M570.82,37.631 C570.674,34.438 570.167,32.258 569.425,30.349 C568.659,28.377 567.633,26.702 565.965,25.035 C564.297,23.368 562.623,22.342 560.652,21.575 C558.743,20.834 556.562,20.326 553.369,20.18 C550.169,20.033 549.148,20 541,20 C532.853,20 531.831,20.033 528.631,20.18 C525.438,20.326 523.257,20.834 521.349,21.575 C519.376,22.342 517.703,23.368 516.035,25.035 C514.368,26.702 513.342,28.377 512.574,30.349 C511.834,32.258 511.326,34.438 511.181,37.631 C511.035,40.831 511,41.851 511,50 C511,58.147 511.035,59.17 511.181,62.369 C511.326,65.562 511.834,67.743 512.574,69.651 C513.342,71.625 514.368,73.296 516.035,74.965 C517.703,76.634 519.376,77.658 521.349,78.425 C523.257,79.167 525.438,79.673 528.631,79.82 C531.831,79.965 532.853,80.001 541,80.001 C549.148,80.001 550.169,79.965 553.369,79.82 C556.562,79.673 558.743,79.167 560.652,78.425 C562.623,77.658 564.297,76.634 565.965,74.965 C567.633,73.296 568.659,71.625 569.425,69.651 C570.167,67.743 570.674,65.562 570.82,62.369 C570.966,59.17 571,58.147 571,50 C571,41.851 570.966,40.831 570.82,37.631"></path></g></g></g></svg></div><div style="padding-top: 8px;"> <div style="color: #3897f0; font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14px; font-style: normal; font-weight: 550; line-height: 18px;"> View this post on Instagram</div></div><div style="padding: 12.5% 0px;"></div> <div style="align-items: center; display: flex; flex-direction: row; margin-bottom: 14px;"><div> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 50%; height: 12.5px; transform: translateX(0px) translateY(7px); width: 12.5px;"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; flex-grow: 0; height: 12.5px; margin-left: 2px; margin-right: 14px; transform: rotate(-45deg) translateX(3px) translateY(1px); width: 12.5px;"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 50%; height: 12.5px; transform: translateX(9px) translateY(-18px); width: 12.5px;"></div></div><div style="margin-left: 8px;"> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 50%; flex-grow: 0; height: 20px; width: 20px;"></div> <div style="border-bottom: 2px solid transparent; border-left: 6px solid rgb(244, 244, 244); border-top: 2px solid transparent; height: 0px; transform: translateX(16px) translateY(-4px) rotate(30deg); width: 0px;"></div></div><div style="margin-left: auto;"> <div style="border-right: 8px solid transparent; border-top: 8px solid rgb(244, 244, 244); transform: translateY(16px); width: 0px;"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; flex-grow: 0; height: 12px; transform: translateY(-4px); width: 16px;"></div> <div style="border-left: 8px solid transparent; border-top: 8px solid rgb(244, 244, 244); height: 0px; transform: translateY(-4px) translateX(8px); width: 0px;"></div></div></div> <div style="display: flex; flex-direction: column; flex-grow: 1; justify-content: center; margin-bottom: 24px;"> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 4px; flex-grow: 0; height: 14px; margin-bottom: 6px; width: 224px;"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 4px; flex-grow: 0; height: 14px; width: 144px;"></div></div></a><p style="color: #c9c8cd; font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 17px; margin-bottom: 0px; margin-top: 8px; overflow: hidden; padding: 8px 0px 7px; text-align: center; text-overflow: ellipsis; white-space: nowrap;"><a href="https://www.instagram.com/p/CM1ph95saOS/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading" style="color: #c9c8cd; font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14px; font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 17px; text-decoration: none;" target="_blank">A post shared by ervina (@ervinalutfi)</a></p></div></blockquote><p>Selama masa-masa membangun fondasi rumah tangga, ada beberapa hal yang menjadi pembelajaran, at least buat gue sendiri, yakni tentang berkompromi. Kompromi, kompromi, dan kompromi. Nggak cuma ke pasangan, tapi juga ke semua orang.</p><p>Jika ada satu hal yang paling gue takutin dalam pernikahan sejak dulu [dan mungkin sampai sekarang] adalah tentang keluarga besar. Dan gue rasa ketakutan ini valid, karena nggak cuma gue yang worry, tapi juga suami.</p><p>Kita semua adalah menantu yang tidak diidamkan oleh keluarga masing-masing.</p><p>Aku selalu berkata pada suami bahwa mungkin dia bukan tipe menantu yang diimpikan oleh orang tuaku. Ya iyalah, semua orang ingin berbesan dengan bangsawan yang punya warisan untuk 7 turunan. "Tapi kan kamu nggak," kataku.</p><p>Namun, dia juga bilang kalau sebenarnya ibunya mungkin menginginkan tipikal menantu seperti mantan pacar sepupunya --yang secara karakter dan segalanya bertolak-belakang denganku. Pada beberapa detik setelahnya aku cukup mikir. Wow bahkan ibu mertuaku punya kriteria menantu.. like.. seriously?</p><p>Mau tidak mau aku mesti jujur mengatakan bahwa sebaiknya orang tua kita paham ada pre-requisite untuk memiliki requirement pada calon menantunya, yakni, mengutip Ayah Ojak, ngaca dulu kaliikk.</p><p>Jauh sebelum aku menikah, aku sudah mewanti-wanti Bapak dan Ibu bahwa suami yang gue butuhkan bukan suami yang orang tuanya kaya raya, tapi suami yang pintar, yang selevel. Ya minimal secara edukasi kita setara, secara pekerjaan kita sebanding, sehingga kita memenuhi syarat 'sekufu' yang sering dibilang orang-orang agamis. Terlalu jauh gapnya, either gap ke atas atau ke bawah, gue rasa nggak baik. Sementara mengenai hal-hal yang di luar dari individu itu sendiri, sebaiknya penilaiannya dibuat sekunder atau bahkan tersier karena tidak penting. </p><p>Pertama, gue rasa sebagai orang tua, mereka nggak punya trade-off untuk itu. Kedua, dan yang paling penting, gue nggak pengen berhubungan terlalu dekat dengan keluarga besar. Baik di sisi gue maupun suami. That's why gue memutuskan tinggal jauh dari siapa-siapa. Bukan tidak rukun, hanya menghindari konflik sebisa mungkin.</p><p>Sebagai kaum terpelajar, gue rasa kami (gue dan suami) paham bahwa bekal organisasi yang kokoh adalah independensi. Kami mau seindependen mungkin dalam membangun keluarga, termasuk di dalamnya secara finansial, religi, moral, dan sosial. Semua nilai itu harus atas penentuan kami dan tidak dipengaruhi siapa-siapa.</p><p>Akhirnya perjalanan ini dimulai juga. Kata orang, semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin berhembus. Kami paham itu. Tapi kami juga yakin, akar yang kokoh akan melindungi pohon dari sekencang apapun badai yang ada.</p><p>Lagipula, jauh sebelum ini, kami sudah memutuskan untuk mengikuti ke mana angin akan berhembus, meski di Jakarta sering terjadi badai.</p> <script async="" src="//www.instagram.com/embed.js"></script>
Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-59909676629743936642020-09-15T12:03:00.003+07:002020-09-15T12:03:28.628+07:00Ingatan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgTOyainC-Xn_XOTzSVQTN5GNhJuNFI1dymfdOuyev4JhW1LUaJrDqOBPe1TrzHD7vRzA6WMNq-U7FzcEAiYzoP-141SlYYCbIvhLy71__63JyRGv4mTyTcLLRI6gLggcTL7_Nk8NsmcN-/s2048/fredy-jacob-t0SlmanfFcg-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgTOyainC-Xn_XOTzSVQTN5GNhJuNFI1dymfdOuyev4JhW1LUaJrDqOBPe1TrzHD7vRzA6WMNq-U7FzcEAiYzoP-141SlYYCbIvhLy71__63JyRGv4mTyTcLLRI6gLggcTL7_Nk8NsmcN-/w640-h360/fredy-jacob-t0SlmanfFcg-unsplash.jpg" width="640" /></a></div><br /><p>Aku punya banyak sekali kisah tentang ingatan. Kisah-kisah yang kalau aku ingat-ingat dan ceritakan, kadang-kadang membuat bingung mengapa ada sedemikian banyak hal yang harus disimpan oleh tukang arsip di kepalaku --padahal menurutku itu tidak penting.</p><p>Misalnya saja aku masih ingat ketika SD ada seorang teman sekelasku yang aku lupa kenapa tiba-tiba [diam-diam] memukulku dari belakang. Seingatku sebelumnya memang aku bertengkar dan sedikit ribut di kelas, cuma aku pikir yaudah. Dan kenapa dia harus secara diam-diam memukulku? Dari belakang pula. Ohya, dia anak lelaki. Hingga kini aku masih ingat namanya meski aku lupa wajahnya dan aku masih bersumpah kalo suatu hari aku bertatap muka dengannya ingin aku sekali aku bilang sebaiknya dia memotong kemaluannya dan menjadi kasim --meski sepertinya kesempatan ini nggak akan pernah terjadi sih, karena satu-satunya yang kuingat cuma nama panggilan dan nama itu cukup pasaran. Aku lupa rumahnya di mana, siapa orang tuanya, dan aku bahkan lupa dia teman sekelasku di kelas berapa.</p><p>Tukang arsip di kepalaku kadang-kadang memang sangat menyebalkan. Pada hal yang aku sangat ingin disimpan, ia justru membakar semua memori itu tidak tersisa, dan pada hal-hal lain yang aku sangat ingin lupakan, diendapkannya potongan-potongan memori itu seperti ketika aku mengingatnya lagi, ada film dokumenter diputar di kepalaku.</p><p>Beberapa ingatan sangat mengganggu. Ingatan membuat kita menyalahkan masa lalu. Ingatan membuat kita bersedih atas sesuatu yang sudah terlewat. Ingatan membuat kita lupa pada apa yang sesungguhnya terjadi hari ini.</p><p>Namun, bukan tanpa sebab tukang arsip di kepalaku masih menyimpan semua itu. Barangkali melalui potongan-potongan ingatan itu, aku jadi diingatkan untuk selalu berhati-hati --karena semua hal yang buruk dan menyedihkan itu pernah terjadi. Ingatan memberiku kenangan tentang pedihnya kehilangan, sehingga ia menjadi pelajaran untuk lebih menghargai pada apa yang aku miliki pada saat ini.</p><p><br /></p>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-56056943304303161642020-09-13T20:17:00.007+07:002020-09-13T20:23:19.142+07:00Hal Kecil<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2gLlnbq7Fnix_HP02w2yVEB5gBaSk5UWuy7ctc0klMlwsljea6geBy6W1fqOUIR-We6FvQXWVFXjISXWo3nnNAA0CaoltRE5iCORdm22cL45YU2b4bhHrjdnFMmQ6yJvjT7tgmGW3aerz/s2048/glen-carrie-6-XmguXtoVE-unsplash.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2gLlnbq7Fnix_HP02w2yVEB5gBaSk5UWuy7ctc0klMlwsljea6geBy6W1fqOUIR-We6FvQXWVFXjISXWo3nnNAA0CaoltRE5iCORdm22cL45YU2b4bhHrjdnFMmQ6yJvjT7tgmGW3aerz/w640-h426/glen-carrie-6-XmguXtoVE-unsplash.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">small thing matters</td></tr></tbody></table><p>Beberapa waktu lalu aku membuka 'tumpukan' email lama untuk mencari beberapa berkas. Secara tidak sengaja justru aku menemukan beberapa email yang mengawali semua perjalanan karierku hingga saat ini: melamar internship.</p><p>"Masa ya aku pernah ditolak intern Ruangguru!" kataku pada Angga.</p><p>"Aku juga pernah ditolak jadi Telemarketing di Ruangguru," jawabnya. Hahaha. Sontak aku tertawa. Pasalnya aku nggak ngebayangin gimana bentukan Angga melakukan pekerjaan telemarketing.. untuk Ruangguru pula.</p><div style="text-align: left;">Pada email-email yang lebih baru, aku menemukan surat pengunduran diriku dari kantor yang lama. Kira-kira setahun lalu aku menulisnya untuk manager, mentor, sekaligus teman ngobrol yang menyenangkan di kantor. Ada satu kalimat yang nggak tahu kenapa sangat menyentuhku di saat-saat seperti ini. <span style="font-family: inherit;">Bunyinya kurang lebih, "T<span style="background-color: white; white-space: pre-wrap;">hank you for creating a climate that makes it a pleasure to work each morning and I think I will miss all of you in the team."</span></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Untuk beberapa menit aku mulai merenungi apa hal-hal yang terjadi sejak hari pertama hingga 2,5 tahun kemudian kuhabiskan di sana.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">***</div><p>Suatu hari di Jakarta sedang hujan badai. Aku tinggal di Setiabudi dan Angga masih tinggal di Pejaten; meski waktu itu dia udah kerja di Sudirman. Sejak sampai di kamar kosnya dia langsung meneleponku sebagai bagian dari rutinitas, dan nyerocos panjang-lebar tentang perjalanannya pulang kantor yang kurang menyenangkan --naik MRT sampai ke Cipete, tapi lalu nggak ada satupun ojek online yang mau mengambil pesanannya.</p><p>"Kenapa nggak naik mobil?"</p><p>"Mahal banget, beb!"</p><p>"Hmm iya juga sih."</p><p>Aku tahu dia sedang kesal, jadi daripada memperpanjang urusan dengan bahasan tukang ojek, aku pun mengalihkan dengan obrolan lain seperti, "Dulu waktu belum ada aku kalo jam segini dan kamu baru pulang gini ngapain?"</p><p>"Aku nggak pernah pulang jam segini kan aku belum kerja," jawabnya.</p><p>"Oh ya juga ya," kataku. Tapi tiba-tiba aku jadi berpikir soal diriku sendiri. Waktu aku belum punya Angga, kalau jam segini aku ngapain ya?</p><p>Sejak dulu aku lebih banyak suwungnya sih memang. Blogging, membaca buku, ngelamun di kedai kopi. Tapi apakah setiap hari? Hmm kenapa aku bisa benar-benar lupa ya.</p><p>***</p><p>Pada ingatan manusia yang sangat pendek, beberapa hal yang kita lihat kecil akan sangat mudah dilupakan. Manusia mengalami peristiwa, manusia mengingat, manusia mengalami peristiwa baru, lalu manusia melupakan ingatan lama dan menggantinya dengan ingatan baru. Seperti itu kurang lebih ilmu pengetahuan menjelaskan bagaimana otak kita didesain seperti lemari penyimpanan dengan tukang arsip yang bekerja siang-malam tanpa henti untuk memilih dan memilah mana arsip yang penting dan tidak penting untuk disimpan.</p><p>Sayangnya pada hampir semua hal kecil, tukang arsip kita selalu mengatakan itu tidak penting. Misalnya pada apa yang terjadi selama puluhan aplikasi internshipku ditolak, mengapa aku tetap <i>kekeuh</i> dan tidak merasa gentar atau sedih? Atau, apa yang terjadi di kantorku dulu, mengapa meski secara bersamaan aku harus bekerja fulltime, kuliah, dan mengerjakan project, aku masih bahagia-bahagia aja? Yang paling bikin aku heran adalah dulu sebelum Angga ada dan karenanya aku jadi punya beberapa rutinitas baru, apa yang biasa aku lakukan?</p><p>Kita sering lupa pada suatu hal yang kita pikirkan tidak terlalu penting atau bisa dibilang bukan hal-hal besar. Hal itu membuat kita sering abai pada banyak sekali hal yang mestinya bisa membuat senang, bisa disyukuri, bisa dijadikan sebagai alasan untuk tetap hidup dan merasa hidup kita berarti.</p><p><br /></p>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-89492434963385815532020-09-12T00:29:00.004+07:002020-09-12T00:31:53.803+07:00Dua Tipe<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNV3P-W4wNRW0DAz9DwrtIbSehc1dFs6C2dVTuQS0lCD1DpFXxMVlUvvxsXzMSy2TDNZFR5ExouAoPOaw_K8_NdpO7lIroms3JUyKoyiFrQTDL1ecTYAKe5Ds0GaiAXjadQMDZDip1IpTJ/s2048/ugur-akdemir-xhMTF15IeBw-unsplash.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNV3P-W4wNRW0DAz9DwrtIbSehc1dFs6C2dVTuQS0lCD1DpFXxMVlUvvxsXzMSy2TDNZFR5ExouAoPOaw_K8_NdpO7lIroms3JUyKoyiFrQTDL1ecTYAKe5Ds0GaiAXjadQMDZDip1IpTJ/w640-h426/ugur-akdemir-xhMTF15IeBw-unsplash.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">The Melancholy-Choleric<br /></td></tr></tbody></table><p>Ketika menonton ulang film Gie, tiba-tiba saya terpikir tentang sebuah pertanyaan mendasar mengapa ada orang yang secara natural ingin selalu melawan. Padahal jika dipikir-pikir, hidupnya mungkin nggak lebih susah dari banyak orang lainnya --yang toh lebih memilih untuk fine-fine aja daripada harus ribut.</p><p>Beberapa orang memilih untuk damai, tidak suka ribut, tidak suka berkelahi, menerima banyak hal dengan mengupayakan sebaik-baiknya; meski kadang hal tersebut pahit. </p><p>"Nggak bisa," ujar saya suatu hari pada pacar. "Kamu terlalu lame. Masa nggak pernah berantem sama orang sih?"</p><p>Dalam benak saya, entah kenapa saya nggak terima aja mengetahui fakta bahwa pacar saya setenang itu. Dia tidak suka keributan, tidak suka membuat masalah, bahkan sejak kecil. "Ya buat apa?" katanya.</p><p>Saya sebenarnya juga tidak paham buat apa. Sejak kecil rasanya saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk menantang dan menentang orang lain. Waktu SD saya pernah memukuli seorang kawan lelaki saya dengan gagang sapu karena menaruh tempat sampah di kepala saya. Saya marah habis-habisan mengetahui pekerjaan ujian saya dijadikan 'bahan contekan' untuk teman-teman saya yang bodoh ketika ujian SD. </p><p>Saya ribut dengan pembimbing OSN ketika SMP karena saya keluar dari program bimbingan dan memilih menulis naskah drama untuk pentas kelas. Saya menentang orang tua yang memaksa saya ikut program 'olimpiade' ketika SMA. Saya menentang guru SMA yang memaksa saya menggunakan jilbab putih untuk seragam OSIS sampai akhirnya diseret ke ruang kepala sekolah dan dipaksa membuat surat pernyataan. Saya menantang dosen dengan ekspresi datar ketika diancam diberi nilai C. Saya menantang pegawai akademik dengan nekat 'cabut' satu semester dari kampus tanpa status cuti, dan masih banyak lagi.</p><p>Ternyata seumur hidup, saya jarang sekali hidup baik-baik saja tanpa masalah --yang ternyata setelah saya pikir-pikir diakibatkan karena ulah saya sendiri yang selalu ingin melawan.</p><p>"Menurutku, aku cuma membela diri," ujar saya suatu hari. </p><p>***</p><p>Sebagai seorang lulusan psikologi, jika ada satu hal yang membuat saya selalu merasa gagal --selain gagal cumlaude, adalah juga gagal memahami diri sendiri.</p><p>Ada waktu di mana sepertinya saya adalah seorang sanguinis. Saya banyak teman dan disukai oleh society. Saya anak yang pintar, langganan juara 1, siswa teladan dengan segudang prestasi dari mulai lomba mengaji sampai cerdas-cermat.</p><p>Lalu tiba di mana suatu hari semua perkataan saya menjadi salah. Saya menjadi [tanpa sadar] melukai banyak orang dan berbondong-bondong setelah itu, mereka berkonsolidasi untuk membenci dan menjatuhkan saya. Bahkan ucapan untuk "jangan wudhu di sini" menjadi salah. Katanya, "Masa mau wudhu aja lho nggak boleh."</p><p>"Bukan nggak boleh, di sana airnya sedang mati. Kami semua perlu air untuk mandi dan lain-lain, kamu bisa ambil wudhu di tempat lain," jawab saya, tapi hanya dalam hati. Sebab pada orang yang sudah benci dan sakit hati, apa gunanya semua ucapan dan pembelaan? Toh di mata mereka saya akan tetap salah.</p><p>Sejak itu saya merasa saya tidak perlu memaksa orang menyukai saya. Kalau mereka tidak suka pada saya, saya tidak rugi. Pun jika mereka menyukai saya, tidak ada untungnya buat saya.</p><p>Saya menjadi sangat selektif dengan pertemanan, atau memilih menjadi lapisan demi lapisan untuk setiap orang yang saya temui. Ada orang yang mendapat bagian terluar dari diri saya, ada yang mendapat selapis lebih dalam, ada yang benar-benar sampai di inti --beberapa, dan kini bisa dihitung jari.</p><p>Awalnya saya pikir fase itu hanya sementara, namanya juga remaja. Tapi siapa sangka itu bertahan.. hingga kini dan sepertinya menjadi bagian dari personality saya sekarang --yang saya juga nggak ngerti harus gimana.</p><p>"Lu tipe C banget sih."</p><p>"Menurut gue lebih tipe D."</p><p>"Menurut gue dua-duanya."</p><p>***</p><div><i>The Melancholy-Choleric combination is driven by two temperament needs. The primary temperament need is to do things right. The secondary need is to get results. Either need may dominate behavior depending on the situation.</i></div><div><i><br />When the Melancholy and the Choleric natural tendencies are combined, it produces a detail-oriented person who pushes to get results. They have a strong drive to tell others what they know, and what to do. This combination naturally likes to teach or train others what they know.</i></div><div><i><br />The Melancholy-Choleric is a systematic and precise thinker. They follow self-imposed, strict procedures in both their business and personal lives. The Melancholy-Choleric has a firm, serious expressions, and they rarely smile.<br /><br /></i></div><div><i>They not only want to do things right and get results, they strive to figure out what is right. The Melancholy-Choleric is, therefore, more pushy and blunt than the other Melancholy combinations. They can be abrasive and offensive when communicating with others. The Melancholy-Choleric is attentive to details and push to have things done correctly according to their standards. They have high standards for themselves and others. They can be a perfectionist about some things. They will resist change until the reasons are explained, defended, and accepted.</i></div><div><i><br />They are sensitive and conscientious. They can behave in a diplomatic manner, except when it comes to deviating from their standards. The Melancholy-Choleric can be too forceful in insisting the right way (or their way) be followed.</i></div><div><i><br />They are not socially active, preferring work and privacy to being with people. The Melancholy-Choleric may have some difficulty in relationships because they are not flexible, and they have a brief, direct, sometimes blunt manner of communication.</i></div><div><i><br />The Melancholy-Choleric tends to make decisions slowly because of their need to collect and analyze information (several times) until they are sure of the right and best course of action. The Melancholy-Choleric is not a frequently found combination.</i></div><div><i><br /></i></div><div><i><br /></i></div><p id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3639" style="box-sizing: border-box; caret-color: rgb(51, 51, 51); color: #333333; font-family: glegoo, serif; font-size: 14px; margin: 0px 0px 10px;"><span id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3640" style="box-sizing: border-box; margin-bottom: 0px;"></span></p><p id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3641" style="box-sizing: border-box; caret-color: rgb(51, 51, 51); color: #333333; font-family: glegoo, serif; font-size: 14px; margin: 0px 0px 10px;"><span id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3642" style="box-sizing: border-box; margin-bottom: 0px;"></span></p><p id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3643" style="box-sizing: border-box; caret-color: rgb(51, 51, 51); color: #333333; font-family: glegoo, serif; font-size: 14px; margin: 0px 0px 10px;"><span id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3644" style="box-sizing: border-box; margin-bottom: 0px;"></span></p><p id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3645" style="box-sizing: border-box; caret-color: rgb(51, 51, 51); color: #333333; font-family: glegoo, serif; font-size: 14px; margin: 0px 0px 10px;"><span id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3646" style="box-sizing: border-box; margin-bottom: 0px;"></span></p><p id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3647" style="box-sizing: border-box; caret-color: rgb(51, 51, 51); color: #333333; font-family: glegoo, serif; font-size: 14px; margin: 0px 0px 10px;"><span id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3648" style="box-sizing: border-box; margin-bottom: 0px;"></span></p><p dir="ltr" id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3649" style="box-sizing: border-box; caret-color: rgb(51, 51, 51); color: #333333; font-family: glegoo, serif; font-size: 14px; margin: 0px;"><span id="yiv5651417075yui_3_16_0_ym19_1_1516427304532_3650" style="box-sizing: border-box; margin-bottom: 0px;"></span></p>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-7291761889253271982020-08-08T13:26:00.002+07:002020-08-08T13:26:42.410+07:00Di Bali dan Bangkok pada Suatu Hari<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNOrXX2POF0laayMP60Antwrsi9nvd2RR9Gtpqbp7XO_7kAHTivG6lDdR0obc3SF9ywlc68TT8Zglsz3BJVpVTFZdjRC7HfEjJ0vUorfNJVV8RXZYwNIn_WXGAQ0FFJ0w6vyfU4CUx0iz4/s2048/sean-o-KMn4VEeEPR8-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; padding: 1em 0px;"><img border="0" data-original-height="1361" data-original-width="2048" height="425" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNOrXX2POF0laayMP60Antwrsi9nvd2RR9Gtpqbp7XO_7kAHTivG6lDdR0obc3SF9ywlc68TT8Zglsz3BJVpVTFZdjRC7HfEjJ0vUorfNJVV8RXZYwNIn_WXGAQ0FFJ0w6vyfU4CUx0iz4/w640-h425/sean-o-KMn4VEeEPR8-unsplash.jpg" title="suatu hari di Bali, 2017" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">source: unsplash.com<br /></td></tr></tbody></table><h3 style="text-align: left;">Di Bali, Setahun Setelah Hari Itu</h3><p>Tadinya aku berpikir kedatanganku ke tempat ini akan disambut sedikit meriah. Bukan oleh siapa-siapa, cukup kenangan dan hal-hal lain yang tidak menyedihkan.</p>
<p>Paling tidak di kepalaku, ada beberapa hal yang mati-matian kuingat: adegan kesurupan di dalam mobil yang membawa rombongan, pesanan fast food pukul dua pagi, teman lelakimu yang ngotot merebus air untuk menghabiskan sisa gas di villa sebelum kita pindah tempat menginap, juga villa itu.. yang kita sewa di tengah hutan. Ah, apa namanya? Shit. Aku lupa bagian itu. Tapi sisanya aku hampir ingat semuanya.</p>
<p>Hari itu di ujung tempat tidurku, kamu menarik-narik selimut mencoba membangunkanku yang rasanya sudah tidak kuat membuka mata. “Ih ayo bangun. Apa gunanya sampai sini kalau cuma tidur?” ujarmu setengah berteriak. Tapi semakin kamu berteriak-teriak, aku semakin menggulung tubuhku di balik selimut.</p>
<p>“Ya kan tadi udah seharian bangun. Ini waktunya tidur. Udah lewat dini hari juga," kataku. Jujur aku tidak pernah paham energi apa yang kalian miliki untuk selalu aktif 24 jam. Kalaupun tidak bergerak, mulut kalian terus bergerak, bicara apa saja, menertawakan apapun.</p>
<p>“Nggak seru.”</p>
<p>“Udah tidur aja, Han. Mau sini?” Aku menawarkan tempat di sisiku tapi kamu malah melemparkan bantal karena kesal. Aku tersenyum sebelum akhirnya benar-benar pulas malam itu.</p>
<p>Sebenarnya sejak hari itu aku bertekad suatu hari nanti kita akan kembali ke sini berdua saja. Kita akan punya waktu lebih banyak berpelukan di kamar yang cantik ini sambil mendengarkan lagu-lagu indie kesukaanmu, lalu terlelap dalam dekapan satu sama lain. Terserah kamu mau bicara apa, aku akan selalu di sebelahmu untuk berkomentar seperlunya, mengangguk atau tertawa kadang-kadang.</p><p>Tentu semuanya kupikirkan jauh sebelum banyak hal terjadi pada kita —mengacaukan rencana yang telah kususun rapi dan matang— di kemudian hari.</p>
<p>Hhh.</p><p>Seandainya kamu —atau aku— sedikit lebih sabar, mungkin ceritanya tidak akan begini. Aku tidak tahu perasaan apa yang mengikatmu hingga sedemikian kamu ingin berontak. Bisa jadi kita berubah. Bisa jadi kamu. Bisa jadi aku.</p>
<p>“Sunscreen huh?”</p>
<p>Lamunanku pecah mendengar suara perempuan di depanku. Dengan tergagap aku menerima uluran botol kecil dari tangan perempuan itu. Sial. Bahkan pada adegan sepersekian menit ini, aku bisa ingat bagaimana kamu dulu selalu konsisten memaksaku menggunakan sunscreen setiap kali kita ke pantai.</p>
<p>“Bukan masalahnya hitamnya duh! Katanya pinter masa urusan kesehatan kulit aja mesti dijelaskan,” katamu.</p>
<p>“Iyaaaa. Pakein,” kataku sambil mengulurkan kedua tangan. Meski sedikit kesal, kamu toh masih sabar mengaplikasikan cairan lengket itu di kulitku. Selalu begitu sepanjang ingatanku mampu merekam bagaimana setelahnya kamu akan mengutuki air laut yang merusak rambut serta kulitmu.</p>
<p>Ada terlalu banyak hal yang bisa kuingat, seakan setiap butiran pasir di hamparan pantai ini menyimpan semua fragmen dan memori tentang apa saja yang pernah terjadi di antara kita —hal-hal yang membuatku gusar, sekaligus kadang sedih. Sebab sejauh apapun ingatanku mampu mengumpulkan semua kenangan yang pernah terjadi, waktu menghadapkanku pada kenyataan di saat ini ketika hal itu semua sebatas masa lalu dalam ingatanku.</p>
<p>Sungguh aku masih selalu berharap waktu akan mengulang banyak hal yang telah terjadi sembari memberiku kesempatan dan ruang-ruang untuk menurunkan sedikit saja ego sebagai laki-laki.</p><h3 style="text-align: left;">Di Bangkok, Tiga Tahun Setelah Hari Itu</h3><p></p><p>Perjalanan pertamaku bulan ini dan entah kekuatan apa yang membuatku memutuskan pilihanku jatuh pada tempat ini. Sekuat tenaga aku menghalau apa yang telah terjadi pada kita sangat mempengaruhiku dalam mengambil keputusan, tetapi rasanya sia-sia.</p>
<p>Aku sedih, Han. Untuk pertama kalinya aku mengakui perasaan yang merundungku berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun ini.</p>
<p>Di Bangkok tidak ada yang spesial seperti yang selalu kamu katakan padaku setiap kali kita merencanakan bepergian ke sana. “Negaranya sama aja kayak di sini. Kenapa tidak sekalian ke Scotland atau Timur Tengah yang vibesnya totally beda?”</p>
<p>“Kamu nggak diizinin ke sana sama aku.”</p>
<p>“Ke mana aja nggak akan diizinin kalau kita cuma berdua.”</p>
<p>“Nggak usah minta izin kalau kamu udah jadi istriku.”</p>
<p>“Yee malu sama TA yang mulai aja belom.”</p>
<p>“Ih memangnya menikah harus menunggu TA-ku kelar gitu?”</p>
<p>“Iyalah. Kan kita mesti lulus dulu, kerja dulu, beres dulu urusannya sama diri-sendiri.”</p>
<p>“Bisa diurus sambil menikah sih itu."</p>
<p>“Nggaaak.”</p>
<p>Aku selalu tertawa melihat ekspresi wajahmu setiap kali kita membahas pernikahan. Rasanya saat itu lucu membayangkan kita sungguhan menikah. Dan lucu juga melihat bagaimana kamu mati-matian menolak setiap kali aku melontarkan ide bahwa sebaiknya kita menikah saja.</p>
<p>Aku sama sekali tidak berpikir bahwa hal-hal yang sedemikian lucu waktu itu, ternyata berubah menjadi momok yang menerorku. Apakah memang sejak dulu kamu tidak mencintaiku? Apa memang sejak saat itu, kamu tidak pernah yakin bahwa aku seserius itu ingin menikahimu?</p>Di Bangkok pikiranku tak tentu arah. Sejak kemarin aku hanya mengitari seisi kota dan mencoba apa saja yang terlihat memberikan rasa pada lidahku. Tapi aku sudah mati rasa, Han. Tidak peduli apakah ini di Bangkok atau di manapun.<p></p><p><br /></p><p><i>Akan berlanjut —jika tidak malas menulisnya.</i></p><p><br /></p>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-22727530534334553852020-07-09T21:29:00.001+07:002020-07-09T21:30:00.109+07:00Surat Pengantar Perjalanan Patah Hati<div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjawgPhX9dKb-afKgPY9NgUmWrQf0C49M2hxem4TZlX8rXyvQXEt6ocj53ARhzM5ZoDNj317EE8rrUQ_YKCZFqlRefuEEbykhM1-FCDZxFmzSMOhMIqvHb7Lu2Rdgt2kGkNHb6OAIpzvf4y/s5131/jonathon-reed-jIaVRhibXlg-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="3421" data-original-width="5131" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjawgPhX9dKb-afKgPY9NgUmWrQf0C49M2hxem4TZlX8rXyvQXEt6ocj53ARhzM5ZoDNj317EE8rrUQ_YKCZFqlRefuEEbykhM1-FCDZxFmzSMOhMIqvHb7Lu2Rdgt2kGkNHb6OAIpzvf4y/w640-h426/jonathon-reed-jIaVRhibXlg-unsplash.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">source: unplash.com</td></tr></tbody></table><font face="inherit"><br /></font></div><font face="inherit">Seperti halnya kamu dan semua orang, aku juga pernah patah hati. Aku rasa benar, bahwa perjalanan-perjalanan jauh dan panjang adalah obat terbaik untuk semua perasaan benci dan kecewa yang sesaat <span style="background-color: white; color: #292929; letter-spacing: -0.063px;">—</span>segera setelah kamu patah hati, akan muncul. Lalu pelan-pelan tetapi pasti, perasaan itu berubah, bergumul dengan emosi-emosi lain dalam dirimu, menciptakan suatu hal yang aneh; aku tidak menemukan padanan lain yang tepat.</font><div><font face="inherit"><br /></font></div><div><font face="inherit">Rasanya seperti saat itu kamu bersedih, namun juga benci, marah, apapun itu. Rasanya seperti semua berkumpul, sesak memenuhi rongga dada, mengisi celah-celah syaraf di otakmu. Lalu sebentar-sebentar kamu limbung, menanyakan apa yang salah dengan dirimu, apa yang salah dengan keputusan-keputusan yang telah kamu buat, dan masih banyak lainnya.</font></div><div><font face="inherit"><br /></font></div><div><font face="inherit">Perjalanan adalah memang sebaik-baiknya obat. Percaya saja apa kataku, karena toh, kepadamu aku tidak pernah berbohong. Entah jika kamu terhadapku.</font></div><div><font face="inherit"><br /></font></div><div><font face="inherit">Sebab jika iya, aku semakin memahami bagaimana rasanya nyeri dan sesak di dadamu.</font></div><div><font face="inherit"><br /></font></div><div><font face="inherit">Aku tidak ke mana-mana; tidak sampai, tidak juga hilang. Sebab kau tahu, kita tahu, bersama setiap hening yang kau bangun di belakang rumahmu <span style="background-color: white; color: #292929; letter-spacing: -0.063px;">—</span>dalam sepersekian waktu perjalananmu melewati laut, pulau, dan samudera<span style="background-color: white; color: #292929; letter-spacing: -0.063px;">— </span>dan dalam setiap perihnya udara yang menyapu lembut wajahmu, akan selalu ada yang berusaha sekeras mungkin kamu ingat-ingat; dulu, saat itu.</font></div><div><font face="inherit"><br /></font></div><div><font face="inherit">Hanya saja dalam banyak hal, Matematika Tuhan memang berbeda dari perhitunganmu. Kamu salah. Kita salah. Namun, tak apa. Manusia memang tempat dari segala kesalahan bermula.</font></div><div><font face="inherit"><br /></font></div><div><font face="inherit">Biar kuberi tahu kau sesuatu, barangkali ini akan menjadi nasihat paling menarik sepanjang kau berkelana, "Mestinya kau bertemu dengan seseorang yang mencintaimu lebih dulu. Akan jauh lebih mudah seperti itu. Karena, kau tahu, mengatur perasaan orang lain terhadapmu, ternyata jauh lebih sulit daripada mengatur perasaan diri sendiri."</font></div><div><font face="inherit"><br /></font></div><div><div><font face="inherit">Semoga udara sendu di sepanjang Canggu memelukmu dengan hangat. Dan semoga, kesedihan memperlakukanmu dengan cukup baik.</font></div><div><font face="inherit"><br /></font></div></div><div><i><font face="inherit"><span style="background-color: white; color: #222222;">Jika ada seseorang </span><span style="background-color: white; color: #222222;">yang terlanjur </span><span style="background-color: white; color: #222222;">menyentuh inti jantungmu</span><span style="background-color: white; color: #222222;">, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.</span></font></i></div><div><span style="background-color: white; color: #222222;"><font face="inherit"><br /></font></span></div><div><font face="inherit"><span style="background-color: white; color: #222222;"><br /></span></font></div>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-65241393487519755622020-06-05T21:26:00.001+07:002020-06-05T21:26:49.275+07:00Privilege yang Membuat Tidak Relate dengan Banyak Hal<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeEgLq4LAulhG2mfUkzwq24eipmJjzv7dRk6-jeOMnpi0zeXVVqCTXFf93L9aXYomknu5y2aiV6NPLjkpe__3q6m5q1n2QIgxCqHEs_pR5dtjSqNb2MSCORRPigitLkkGR71EjFVqRFkjm/s2000/Nanti-Kita-Cerita-Tentang-Hari-Ini.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1164" data-original-width="2000" height="372" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeEgLq4LAulhG2mfUkzwq24eipmJjzv7dRk6-jeOMnpi0zeXVVqCTXFf93L9aXYomknu5y2aiV6NPLjkpe__3q6m5q1n2QIgxCqHEs_pR5dtjSqNb2MSCORRPigitLkkGR71EjFVqRFkjm/w640-h372/Nanti-Kita-Cerita-Tentang-Hari-Ini.jpg" width="640" /></a></div><div><br /></div>Suatu hari dalam obrolan dengan orang; entah di Twitter, entah di Instagram, entah secara langsung aku lupa, aku pernah nanya, "NKCTHI kok sampai difilmin emang bagus ya?"<div><br /></div><div>Dan ada orang menjawab, "Nggak usah nonton deh. Nggak relate kamu." Lalu ia mengelaborasi ke-tidak-relate-anku dengan cerita di film itu yang digambarkan sebagai sebuah film yang menceritakan permasalahan keluarga kelas menengah di Jakarta yang orang sepertiku mungkin memang nggak relate.</div><div><br /></div><div>Baru-baru ini ketika film itu muncul di Netflix dan aku mulai kehabisan tontonan, aku memutuskan menontonnya.. dan.. shit, beneran nggak relate ternyata.</div><div><br /></div><div>***</div><div><br /></div><div>Ini mungkin bukan kali pertama aku menumpahkan uneg-uneg tentang betapa aku nggak relate dengan permasalahan warga kelas menengah, terutama di Jakarta. Meski sebagian mengatakan dengan usiaku sekarang, pekerjaan, dan pergaulanku di Jakarta, aku mungkin jadi satu di antara mereka, tetep aja ada terlalu banyak hal yang aku nggak relate.</div><div><br /></div><div>Dulu ketika aku SMA, ada seorang temanku yang cerita bahwa kakak kelas kami yang bapaknya baru ditangkap KPK suka update sedih karena puasa ini harus sahur tanpa bapaknya, lalu dia merasa kasihan. Tentu sebagai anak kost yang mau puasa atau nggak puasa makan tetep sendirian aku sama sekali nggak relate dengan perasaan kasihan itu. Apalagi dengan fakta bahwa bapaknya 'terpaksa' nggak bisa puasa di rumah karena ditangkap KPK. Who the hell can relate with these fucking people huh?</div><div><br /></div><div>Baru-baru ini aku juga menyadari bahwa aku mengalami shock culture karena budaya mengirim <strike>parcel</strike> hampers pas lebaran.</div><div><br /></div><div>"Kok orang-orang ini temen-temennya pada baik-baik banget ya kek bisa tiap hari ngasih-ngasih bingkisan ke temennya gitu? Ya sih cuma makanan, tapi itu mayan ga sih, harganya. Kan ga mungkin ngasih cuma ke satu orang?"</div><div>"Ya maintainnya juga mahal kali. Tapi bukannya temenmu banyak yang suka gitu, ya?"</div><div>"Iya, tapi aku kalo dikasih udah lebih dari 3, aku bungkus ulang, terus kukirim saling-silang gitu sih."</div><div><br /></div><div>Jujur aku nggak relate dengan orang-orang yang mengirim hampers seperti beberapa orang nggak relate dengan ketabahanku yang setahun ini nggak pulang ke rumah.</div><div><br /></div><div>***</div><div><br /></div><div>Ketika menjadi anggota pers mahasiswa UGM, aku berkesempatan mewawancarai salah satu petinggi kampus. Saat itu, aku sempat melontarkan protes adanya iuran di luar UKT yang entah kenapa setiap semester ditagih oleh ketua angkatan di fakultas.</div><div><br /></div><div>"UKT kita tuh udah mahal, Pak, masa masih mau ditambah iuran-iuran lagi," kataku.</div><div><br /></div><div>Lalu dengan 'bijaknya' si Bapak menjawab, "Ya gimana, ya, Mbak? UKT ini sebenarnya kita tidak terlalu setuju juga. <i>Wong</i> dengan sistem sebelumnya setiap tahunnya sumbangan kita bisa jauh lebih banyak dari ini. Ya sekarang kamu bayangin, ada anak yang orang tuanya gaji 10 juta, bayar UKT sama dengan anak yang gaji orang tuanya 100 juta. Sementara di kampus kita, di angkatanmu itu, orang tua yang gajinya di atas 100 juta itu banyak jumlahnya."</div><div><br /></div><div>Untuk beberapa detik aku harus diam mencerna jawaban si Bapak. Hmm pantesan aku sering nggak relate dengan teman-temanku, ternyata karena aku terlalu 'miskin' di kampus ini. Ckck.</div><div><br /></div><div>***</div><div><br /></div><div>Kepada pacarku, aku selalu bilang bahwa semua pilihan yang ia ambil ketika sekolah dan kuliah itu nggak ada cerdas-cerdasnya. Bodoh kalo boleh kubilang. Gimana enggak bodoh? Orang kalau merasa nggak punya uang ya kerja, bukan ngegeng, ngewibu, naik gunung, atau piknik.</div><div><br /></div><div>"Kerja, <i>ndes</i>, kerja!"</div><div>"Iya, tapi dulu tuh aku nggak dibolehin kerja."</div><div>"Kecuali kamu akan dikasih warisan tambang batu bara atau perkebunan sawit, jangan percaya sama orang yang nyuruh kamu jangan kerja. Orang harus kerja, harus punya uang, kalo nggak cukup, ya berlebih. Nggak boleh kurang."</div><div><br /></div><div>***</div><div><br /></div><div>Setelah aku 25 tahun, aku baru menyadari salah satu penyebab terlalu banyak hal yang aku nggak bisa relate adalah karena aku merasa aku nggak punya banyak privilege dibanding beberapa orang di sekitarku.</div><div><br /></div><div>Hidup ini seperti paradoks. Ketika aku berkesempatan sekolah di luar kota, aku mungkin jadi satu dari sekian orang paling berprivilege yang pernah kukenal dalam hidup. Teman-temanku tidak sedikit yang putus sekolah, menikah, melahirkan di usia muda, menggantungkan hidupnya pada laki-laki yang bekerja serabutan. Sementara, aku dapat memiliki kesempatan belajar di sekolah cukup elit, kuliah di kampus yang jadi idam-idaman dan mimpi banyak orang, bahkan di jurusan yang terkenal kehidupan makmurnya. Namun, pada titik itu juga aku menjadi orang yang paling tidak punya privilege.</div><div><br /></div><div>Aku dulu sering berpikir, seandainya aku memiliki lebih banyak pilihan karena privilegeku, mungkin waktu SMA aku juga akan ikut program sister school di Aussie. Mungkin alih-alih kuliah di UGM, aku akan ambis untuk ikut program kuliah di Jerman atau di mana di luar negeri yang banyak diikuti teman-teman sekolahku.</div><div><br /></div><div>Mungkin alih-alih memutuskan bekerja dan fokus membebaskan urusan finansial, aku bisa lebih fokus pada ambisi akademisku. Aku mungkin sudah menjuarai MUN, ikut banyak konferensi paper internasional karena aku suka menulis, atau mungkin ikut pertukaran mahasiswa, atau melanjutkan studi master ke luar negeri seperti yang selalu aku pikirkan sejak dulu?</div><div><br /></div><div>Tapi itu semua kelewat karena pilihan yang aku miliki ternyata nggak sebanyak itu. Bahkan untuk mengulur-ulur waktu lulus aja aku nggak sebebas itu. Aku akhirnya lulus 9 semester setelah melewati perdebatan dan pertengkaran panjang dengan Bapak. Juga struggling yang luar biasa memaksa bekerja fulltime, mengambil project di luar kantor, sekaligus mengerjakan skripsi yang kutarget akan lolos di salah satu jurnal akademik berskala internasional.</div><div><br /></div><div>***</div><div><br /></div><div>Privilege itu nyata. Ia bahkan memiliki lapisan kelas dan menjelma seperti paradoks yang tadi kuceritakan. Ketika kamu melepas satu lapis ketidakberuntungan dan merasa memiliki privilege, akan ada lapisan ketidakberuntungan lain yang menunggu setelahnya. Mungkin itulah sebabnya setiap orang merasa, "Ah elah emang lo pikir karena gue punya privilege, gue jadi nggak punya masalah?"</div><div><br /></div><div><i>Nah</i>. Memang setiap orang akan menghadapi ketidakberuntungan dan masalah dalam kelasnya sendiri-sendiri. Sama seperti Angkasa bersaudara di NKCTHI, atau teman-teman kayaku di UGM atau di SMA. Mereka pasti punya masalah.</div><div><br /></div><div>Tapi ya itu tadi, privilege 'hanya' memberi lebih banyak pilihan. Angkasa bersaudara mungkin 'sedih' dan 'kecewa' dengan sifat protektif dan kehipokritan si Ayah, tapi paling nggak, dia nggak pernah ngerasain kepikiran mesti lulus cepet-cepet karena udah nggak ada duit buat bayar UKT dan nggak tahu mesti minjem ke siapa lagi.</div><div><br /></div><div>Angkasa dan adik-adiknya juga nggak kepikiran gimana sedihnya para sarjana yang orang tuanya udah jualan harta benda di kampung, tapi pas lulus ada pandemi corona dan mereka jadi makin susah dapat kerja. Intinya meski sama-sama 'malang' dan merasa sedih akan hidupnya, tingkatannya pasti beda.</div><div><br /></div><div>Dan di usia segini, aku memutuskan untuk fokus aja pada kemalangan-kemalangan yang lebih bersahaja. Aku memutuskan percaya bahwa bekerja dan memiliki lebih banyak materi akan membawa lapisan privilege yang lebih banyak pada hidupku, pada hidup anak-anakku ke depannya nanti.</div><div><br /></div><div>Paling nggak, aku ingin mereka nanti bisa relate dengan jenis kesedihan 'nggak bisa makan bersama keluarga' dibandingkan sedihnya orang 'nggak bisa makan'. Aku juga mau mereka sedih karena 'terpaksa jual mobil buat kuliah S2 di luar negeri' daripada mesti 'sedih' dan nangis-nangis minta dikuliahin setelah SMA.</div><div><br /></div><div>Syukur-syukur kalau mereka bisa jadi motivator dan enterpreneur muda atau bisa bekerja untuk membuat impact alih-alih cuma mengumpulkan pundi-pundi Rupiah untuk menyambung hidup. Siapa tahu mereka bisa buat buku dan diundang ngisi seminar sambil menceritakan perjuangannya membangun bisnis? Lebih menarik kan, daripada orang-orang basic dengan siklus sekolah-kuliah-kerja-bertahan hidup-mati?</div><div><br /></div><div><br /></div>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-19415708293298179332020-04-10T13:27:00.002+07:002020-04-10T13:31:27.603+07:00Sejauh dan Sedekat Kamar SayaSaya nggak menyangka kalau keputusan untuk disiplin social distancing akan sebegininya. Hampir sebulan saya tidak bertemu teman-teman, tidak juga Angga, karena saya melarang keras semua jenis interaksi sejak Jakarta dinyatakan sebagai red-zone. Sebagai orang yang kebetulan kantornya punya privilege, kami semua kerja di rumah sejak awal Maret lalu.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRYzEFj6AOBx9y8M32yPT8hu9d9VKj0V8kjP0Z8A7u_oTytMaNoNCL1xl9KMSqQxIvKjBnyMj4mVd4hAznH8C7kMTWVvOC7mou2VdMBywsbVpay8zwnvg0VTF_dlPvX5KuCtGqmFy6QBZ2/s1600/nijwam-swargiary-34Tzc5f1qbA-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1068" data-original-width="1600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRYzEFj6AOBx9y8M32yPT8hu9d9VKj0V8kjP0Z8A7u_oTytMaNoNCL1xl9KMSqQxIvKjBnyMj4mVd4hAznH8C7kMTWVvOC7mou2VdMBywsbVpay8zwnvg0VTF_dlPvX5KuCtGqmFy6QBZ2/s640/nijwam-swargiary-34Tzc5f1qbA-unsplash.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Ada banyak hal yang membuat saya sedih, tetapi tidak sedikit juga yang masih saya syukuri. Termasuk dalam bekerja, industri dan posisi yang strategis, hingga teman-teman dan keluarga yang tidak henti-hentinya mendukung satu sama lain. Saya telah membatalkan seluruh rencana perjalanan, termasuk juga untuk mudik. Jadi lebaran ini untuk pertama kalinya saya tidak di rumah dan bertemu dengan banyak orang.<br />
<br />
Kakek dari Bapak meninggal tahun ini dan itu berarti, seperti tahun-tahun sebelumnya, mestinya di hari ketigapuluh Ramadhan saya berziarah ke makam orang-orang yang mendahului saya dan melihat betapa hidup akhirnya cuma begitu saja. Saya sering melankoli setiap kali mengunjungi makam. Pertanyaan saya tak henti-hentinya seputar, "Bagaimana orang-orang ini berdamai dengan waktu jika, katakanlah, memang ada hari akhir di mana mereka mestinya akan dibangkitkan?"<br />
<br />
***<br />
<br />
Jika ada satu dari sekian banyak hal yang membuat saya masih bersyukur selama pandemi ini adalah saya akhirnya memasak. Investasi beberapa barang untuk membuat kosan rasa apartemen rasanya nggak percuma karena saya jadi lebih memahami lidah saya yang selama ini tidak cocok dengan segala makanan yang saya makan. Ini kurang asin, ini kurang pedas, ini daunnya terlalu layu, batangnya kurang matang, dan lain-lain.<br />
<br />
Saya memulai perjalanan memasak yang selalu saya katakan hanyalah perihal skill bertahan hidup. Sekali gagal, dua kali membaik, seterusnya saya rasa lebih baik dari makanan-makanan yang sering saya beli.<br />
<br />
"Nanti kalo pandeminya udah selesai, kalo weekend kita masak. Aku udah bisa masak enak!"<br />
"Beb nanti kalo pandeminya udah kelar kita Bandung atau Jogja yuk!"<br />
<br />
"Hmm habis ini kita nikah aja yuk?"<br />
<br />
Tentu saya tidak berpikir ajakan menikah via Whatsapp ini serius. Angga terlalu sering mengajak saya menikah tapi selalu katakan bahwa mungkin saya akan membuat keputusan-keputusan besar dalam hidup saya setelah usia 25 tahun dan itu masuk akal.<br />
<br />
Lagipula di tengah anjuran untuk tidak ke mana-mana seperti ini, seperti semua orang, saya pun merasakan kesepian yang luar biasa dan mulai mengganggu psikologis saya akhir-akhir ini. Namun, menikah bukan perkara cuma biar nggak kesepian, kan?<br />
<br />
***<br />
<br />
Selama berminggu-minggu di kamar, saya merasakan perjalanan yang jauh menembus dimensi-dimensi lain lewat beragam buku yang saya baca atau lewat film-film yang saya tonton. Rasanya belum pernah sedekat ini saya mengikuti perjalanan orang-orang asing yang tidak saya kenal.<br />
<br />
Ke mana saja saya selama ini? Apakah pekerjaan ini benar-benar mengganggu?<br />
<br />
Jakarta mengubah banyak hal dalam hidup saya. Lalu di masa pandemi ini, banyak hal yang membawa saya pada diri saya yang menghabiskan waktu seorang diri, membaca, menulis, menonton sinema, meresensi, mengapresiasi musik dan karya seni. Mengapa Jakarta menjauhkan saya dari diri saya sendiri? Atas nama pekerjaan dan menjadi dewasa?<br />
<br />
***<br />
<br />
Praktis setelah kami saling mengenal dan intens berkomunikasi, Angga mungkin jadi satu-satunya orang yang padanya saya tidak sungkan untuk menghubungi setiap waktu dan begitupun dia kepada saya. Saya tidak tahu apakah selama ini dia menghubungi orang-orang lain selain saya atau tidak, tapi saya tidak. Saya bisa menelepon dia jam 5 pagi, jam 10 malam, jam 1 dini hari, kadang-kadang saya menelpon dengan video. Saya menghubunginya untuk tertawa, untuk kesal, untuk menangis, dan apa saja. Dia pun begitu. Seperti semalam ketika dia menelepon saya tengah malam dari kamar mandi.<br />
<br />
"Ngapain kamu?"<br />
"Mandi."<br />
"Yaudah mandi sana, aku dah mau tidur."<br />
"Bubye. Bilang apa?"<br />
"..."<br />
<br />
Ingatan saya bekerja sangat keras mengingat apa yang biasa saya lakukan ketika saya belum mengenal dia. Ya, saya masih sibuk kuliah sepertinya. Sesekali saya bekerja part-time, freelance, tapi apa lagi? Seingat saya, satu-satunya laki-laki yang padanya saya mau berinvestasi waktu dan perasaan cuma seseorang di Bandung. Itupun tidak sesering itu kami berkomunikasi karena kami 'sibuk' membangun masa depan masing-masing. Teman saya tidak sebanyak sekarang di Jakarta ketika teman-teman SMA saya justru berkumpul di sini. Bertemu anak EDS pun baru pada medium 2016.<br />
<br />
Lalu biasanya saya ngapain? Yang saya ingat ke mana-mana saya bisa pergi seorang diri. Saya bisa pulang dini hari melewati ringroad utara yang terkenal banyak klitih, saya ngopi sendirian dengan laptop sambil bekerja, belanja di mall sendiri, ke salon sendiri, apa-apa sendiri.<br />
<br />
Bagaimanapun ingatan itu sangat related dengan apa yang saya alami selama masa isolasi. Apakah hidup memang sejatinya seorang diri seperti ini?<br />
<br />
***<br />
<br />
Seperti pertemuan saya dengan Angga yang mengubah banyak hal dalam hidup saya, setelah pandemi ini pun saya yakin ada diri berbeda yang akan saya hadapi dan menjadi rutin. Ada banyak perjalanan panjang selama berminggu-minggu saya diam sendiri. Beberapa hal yang akhirnya membuat saya untuk lebih belajar mengenal diri dan menyayangi orang-orang yang dimiliki.<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-25167550523401347382020-03-21T14:04:00.000+07:002020-03-21T14:32:29.799+07:002020 dan Semua Hal yang Bercanda di Umur 25Bagian satu dari catatan-catatan pengingat menuju usia 25 tahun.<br />
<br />
Beberapa tahun lalu gue pernah berjanji pada diri gue sendiri bahwa di umur segini gue harus jadi individu yang "selesai" dengan dirinya sendiri, sehingga gue bisa memutuskan hal-hal lebih besar yang berkaitan dengan orang lain.<br />
<h3 class="graf graf--h3" name="a057">
Pekerjaan dan corona yang [kirain] sebatas bercanda aja</h3>
<div class="graf graf--p" name="a907">
Biar gue inget-inget. Awal tahun gue dikabarin bakal punya boss baru. Hari itu — bukan bermaksud rasis — gue sedikit was-was karena si calon boss berasal dari Shanghai. I mean di sana lagi chaos-chaosnya ga sih?! Gimana kalau dia carrier? Wow.</div>
<div class="graf graf--p" name="a907">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="c728">
Ternyata itu cuma pikiran di kepala gue — dan jokes anak-anak kantor soal corona — sampai akhirnya urusan pekerjaan menghajar kami hingga babak belur dan nggak nyisain sedikit pun panik kecuali pada target-target yang terancam nggak achieved. Literally, nggak achieved.. semuanya.</div>
<div class="graf graf--p" name="c728">
<br /></div>
<blockquote class="tr_bq">
Belum pernah sesedih ini gue bekerja.</blockquote>
<div class="graf graf--p" name="36f5">
But life must go on. Paling nggak itu gue rasain sampai akhirnya pemerintah ngumumin udah dua orang positif corona dan VP gue nyaris batalin meeting untuk.. belanja. Meski begitu, gue masih sempet bercanda dengan Ageng soal kalopun kita mati kayaknya nggak ada yang nangisin.</div>
<div class="graf graf--p" name="36f5">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="36f5">
Bercandaan yang menurut gue bener-bener nggak serius. Karena tiba-tiba untuk pertama kalinya gue ngerasain yang namanya khawatir.. bukan sama diri gue, tapi orang-orang lain. Gue khawatir karena Bapak nggak bisa stay di rumah karena mesti kerja, gue khawatir karena Ibu nggak sepenuhnya paham gimana cuci tangan, gimana social distance, gimana membatasi kontak dengan orang lain. Even gue khawatir karena Angga selalu commute naik busway dari kantor ke kosannya.</div>
<div class="graf graf--p" name="36f5">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="36f5">
Di titik ini, gue tahu sepertinya ada yang berubah di psikologis gue, sebuah perubahan cukup mendasar karena ternyata gue bukan anak kecil ataupun kelompok dewasa muda lainnya yang hidupnya sebatas yang-penting-gue-aman.</div>
<h3 class="graf graf--h3" name="a057">
Menjadi nakal yang tidak pernah membanggakan</h3>
<div class="graf graf--p" name="36f5">
Beberapa hal menyebalkan meski ada lebih banyak yang mesti disyukuri, salah satunya adalah umur gue hampir 25 tahun dan amazing. Gimana enggak? Gue lepas dari urusan financial yang mengganggu usia 20an gue menjadi nggak seceria anak-anak di kampus, punya kerjaan yang nyenengin, teman-teman menarik, dan pasangan yang manis —kan?<br />
<br />
Semakin ke sini, gue semakin memasuki fase membenci orang-orang yang lebih muda. Oh bukan lagi millennial. Lebih tepatnya Gen Z yang di mata gue entah kenapa tololnya nggak habis-habis. Gue makin worry dengan masa depan jikalau misalnya gue punya anak dan gue ga bisa ngedidik mereka dengan bener.<br />
<br />
Gue khawatir dengan cewek-cewek tolol yang bisa-bisanya mau diajak cuddling padahal baru kenal tadi siang di Twitter. Gue khawatir dengan predator yang bahkan memangsa anak-anak. Even gue makin parno dengan wibu berkat sebuah kasus di Jakarta kemarin! Can you imagine kalo orang-orang itu adalah orang terdekat lo hah?<br />
<br />
Sejak kecil gue selalu dididik dengan baik, jadi anak olim matematika yang bikin masa remaja gue nyaris gapernah punya kisah romansa, ambis di banyak hal, disuruh ngaji dan beragama biar hidupnya bener. Lalu di umur 25 tahun ini gue bener-bener ngeliat di mana orang-orang dengan bangganya memaksa jadi nakal.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Mungkin ini waktu yang paling tepat untuk gue harus bilang bahwa gue bangga jadi anak pinter dan baik-baik. </blockquote>
Paling nggak itu satu-satunya yang menolong gue di saat-saat terburuk —dan semoga terus ke depannya.<br />
<h3>
Murah, jangan?</h3>
Jangan.<br />
<br />
Jangan pernah jadi murah. Jadilah yang mahal, berkelas, nggak gampang. Peristiwa dengan mantan rekan sekantor Angga dulu membuat gue punya sumpah dalam hati untuk gue dan perempuan-perempuan dalam keturunan gue ke depan jangan sampe jadi murah, apalagi sampai membalas chat lelaki dengan: <b>ih kok nggak dibales sih, kzl.</b><br />
<br />
Jangan. Pernah. Begitu.<br />
<br />
Pun ketiga seorang teman gue cerita bahwa rekan sekantornya mencoba flirting padahal dia sudah beristri. "Jangan!" kata gue.<br />
"Nggak mau mengganggu rumah tangga orang."<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Bukan masalah mengganggu rumah tangga orang, tapi harga diri.</blockquote>
Prinsip untuk jangan pernah jadi lonte sama kuatnya dengan jangan pernah ada lonte di antara kita. Teman-teman gue tidak ada yang boleh jadi lonte.<br />
<br />
Cukup mbaknya aja.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK8FG43jVFmye8eQnep3kK1O3AVN9Df4boiXCxw2hmXmWXSfnqw9agF5ABiXOlYd-QQAQcyOtynTb1q954H4ViSFE9ufSmSBMAJ1GidluyMwLLcY4Fpz3Cn6i5aPM0ZlAxMi6d3LL8XC3A/s1600/b70879979df1950434a74bdfd9cfcc75.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1279" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK8FG43jVFmye8eQnep3kK1O3AVN9Df4boiXCxw2hmXmWXSfnqw9agF5ABiXOlYd-QQAQcyOtynTb1q954H4ViSFE9ufSmSBMAJ1GidluyMwLLcY4Fpz3Cn6i5aPM0ZlAxMi6d3LL8XC3A/s640/b70879979df1950434a74bdfd9cfcc75.jpg" width="510" /></a></div>
<span id="goog_1679963510"></span><span id="goog_1679963511"></span><br />
Anyway, ada yang sudah menikah akhirnya. Oya, ngomong-ngomong seberapa besar sih lo percaya sama wibu yang lo temuin dari Tinder? Hehe.<br />
<br /></div>
Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-74945496839500053982020-03-06T22:44:00.001+07:002020-03-06T22:46:35.045+07:00Laki-laki dan Perempuan di Awal Usia 20-an<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ-epZmcZmFuor9BmgtbmdtE16BdXE6HFZOOmXc7ns9kt8uR9-z4bGN-cp1jd_viRpu-8mKbVNAKmjvlBE4yvCkK4M195KVkle_6GTqPEDDrQAuPIZw6fcp00Zzw70H0uMCLl_MQe8Ra2e/s1600/broken-glass-shadow-wooden-table-39589.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1286" data-original-width="1600" height="514" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ-epZmcZmFuor9BmgtbmdtE16BdXE6HFZOOmXc7ns9kt8uR9-z4bGN-cp1jd_viRpu-8mKbVNAKmjvlBE4yvCkK4M195KVkle_6GTqPEDDrQAuPIZw6fcp00Zzw70H0uMCLl_MQe8Ra2e/s640/broken-glass-shadow-wooden-table-39589.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Mulanya adalah rencana bertemu Tania di sebuah kedai kopi di Jalan Sabang, lalu akhirnya kami berpindah ke foodcourt di Sarinah karena satu dan lain hal; anak kecil si pemilik kedai sungguh berisik dan mereka mengganggu keintiman kami berbicara hal-hal rumit dan dalam.<br />
<br />
Sembari menyantap menu hotplate KW-an PepperLunch seharga tiga puluh lima ribu, aku memutuskan perhatianku pada keranjang belanja e-commerce yang siap di-check-out.<br />
<br />
"Er, kamu pernah bayangin nggak sih, waktu SMA dulu gitu, kalau ternyata pas umur segini, jam segini, kamu justru lagi nyari buku mewarnai dan pensil warna di e-commerce?"<br />
<br />
Aku menengoknya sebentar dan dengan enteng menjawab, "Nggak. Dulu kayaknya aku bayangin di umur segini aku udah menikah dan bahagia dengan anak dan pasanganku."<br />
<br />
Aku kembali memusatkan perhatian pada e-commerce.<br />
<br />
***<br />
<br />
Perihal rencana hidup, seingatku, aku benar-benar memutuskan ingin "menjadi apa" adalah sewaktu kelas 3 SMA. Saat itu kami sedang galau menentukan jurusan apa yang ingin diambil di perguruan tinggi. Di tengah ketidakpastian apakah orang bernilai pas-pasan kayak aku bakal lolos jalur undangan atau tidak, ada orang yang selalu bilang, "Allah knows best, Erv. Kalau kita usaha tuh pasti bisa."<br />
<br />
Hmm secinta itu ya sepertinya aku sama laki-laki. Sampai-sampai apapun yang dia katakan aku hampir percaya seolah-olah dia wakil Tuhan yang ditugaskan menyampaikan wahyu untuk kaum tanpa harapan sepertiku.<br />
<br />
Maka ketika akhirnya aku benar-benar mendapatkan pilihan pertamaku di jalur undangan masuk perguruan tinggi, nggak ada sedikit pun ragu untuk merasa.. Tuhan, bener ini kayaknya jodohku.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Namun, sepertinya laki-laki memang cenderung memutuskan untuk menyakiti orang yang sungguh-sungguh mencintainya di awal usia 20-an untuk kemudian (mungkin) menyesal. Sementara, perempuan memilih untuk bermuara.</blockquote>
Inilah kenapa aku tidak setuju dengan ide menyukai laki-laki seumuran. Di usia awal 20-an, laki-laki dan perempuan cenderung memiliki pemikiran yang benar-benar berbeda. Aku memvalidasi hal ini dari beberapa orang di sekitarku, termasuk pada Angga.<br />
<br />
Di awal usia 20-annya, Angga juga memutuskan untuk cenderung menyakiti orang yang mencintainya dengan memilih pacaran beda agama. Seolah dengan keputusan itu, ia memberi harapan setinggi langit, keyakinan sekuat baja bahwa "sebegininya lho aku mencintaimu" lalu berakhir begitu saja ketika si perempuan memutuskan ingin bermuara.<br />
<br />
Begitu juga dengan Tania. Kurasa Tania sebagai perempuan di awal usia 20-an juga mengalami kejadian mengerikan disakiti oleh laki-laki yang berusia di awal 20-an, yang seperti kataku tadi: memiliki kecenderungan untuk menyakiti orang yang benar-benar mencintainya, lalu (mungkin) menyesal.<br />
<br />
Kubilang mungkin, karena aku baru mendapat pengakuan bahwa laki-laki itu menyesal dari mulut Angga. Bukan menyesal karena putus cinta, tetapi menyesal dengan keputusan-keputusan yang dibuatnya; termasuk memacari perempuan berbeda agama. "Padahal kita juga tahu ya, yang namanya pacaran beda agama itu perbuatan menyakiti diri-sendiri aja sih," katanya.<br />
<br />
Tapi Angga tidak mengatakan itu pada perempuan yang disakitinya, meski ia mengatakannya padaku. Pun laki-laki yang pernah menyakitiku dulu. Ia juga tidak mengatakan apa-apa, meski aku berharap kepada pasangannya sekarang ia menceritakan hal yang sama seperti Angga bercerita padaku.<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-8406270675190579152020-02-02T14:38:00.001+07:002020-02-02T15:24:38.007+07:00Dua Puluh Lima<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitdSeMjxbXiknZZ-lZbYmL9YnvQuD2s64zUcbskl09Ta4NbQ4wQchWcDDC2fRhFTuOt1iP5D2gJh0GrqAB6y2uUrMhm7SoI-WaVD8CNE20Sa2FIPlCnjvApu-8YYjVQtPKRDCAsOxYdixd/s1600/priscilla-du-preez-VzqEavUGnss-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1063" data-original-width="1600" height="424" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitdSeMjxbXiknZZ-lZbYmL9YnvQuD2s64zUcbskl09Ta4NbQ4wQchWcDDC2fRhFTuOt1iP5D2gJh0GrqAB6y2uUrMhm7SoI-WaVD8CNE20Sa2FIPlCnjvApu-8YYjVQtPKRDCAsOxYdixd/s640/priscilla-du-preez-VzqEavUGnss-unsplash.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Akhir-akhir ini terlalu banyak hal kurang relevan yang mengganggu pikiranku. Pertama-tama, terkait peristiwa di penghujung tahun kemarin dimana semua orang bahagia dengan pencapaian kerjanya. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba di permulaan tahun, semua hal berbanding terbalik. Terlepas dari kekecewaan yang menyelimuti banyak orang, aku merasa bersalah hmm sangat bersalah.<br />
<br />
<i>Mestinya beberapa project yang kupegang berjalan lebih baik. That was my bad.</i><br />
<br />
Aku tidak tahu seberapa relevan hal ini harus ada di kepalaku, tapi itu baru yang pertama.<br />
<br />
Berikutnya tentang hal-hal yang terjadi di sekitarku. Mestinya tahun ini aku rampung dengan segala urusan quarter life crisis menyusul usiaku yang akan segera 25 tahun pada beberapa bulan ke depan.<br />
<br />
Aku perempuan, tinggal sendiri di Jakarta, berpenghasilan hampir USD20.000 setiap tahunnya, dan selalu yakin memiliki prospek karir yang baik di atas rata-rata ke depannya. Aku memiliki keluarga yang utuh, teman-teman yang meski sedikit namun teruji kualitasnya, serta pasangan yang meskipun belum menikah, mestinya menyayangiku dan kami terlihat baik-baik saja di tahun ketiga relasi ini didefinisikan.<br />
<br />
Mestinya aku memiliki hampir semua hal yang selalu kuinginkan sejak dulu. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini ada terlalu banyak hal sengkarut kurang relevan yang bercokol di kepalaku. Misalnya, tentang seorang laki-laki di masa lalu yang aku sangat yakin kepadanya aku menyimpan dendam luar biasa.<br />
<br />
"Karena aku tidak bisa memelihara kucing atau ikan sepertimu, aku akan memelihara dendam aja," selorohku pada seorang teman. Tapi kurasa, aku serius.<br />
<br />
Dendam itu, kau tahu? Hidup. Tumbuh subur bertahun-tahun hingga belakangan ini sangat mengganggu pikiranku. Mestinya aku tahu ketika melihat laki-laki itu tidak bisa bekerja dengan layak saja, itu cukup membuat dendam ini tidak perlu dipikirkan lagi.<br />
<br />
<i>Aku mestinya sudah menang, sejak awal.</i><br />
<br />
Rasanya terlalu banyak hal yang mengganggu, tapi aku tidak tahu itu apa. Kepada pasanganku, aku selalu berujar, "Kenapa aku membenci banyak hal?"<br />
<br />
Aku membenci petugas tes golongan darah sewaktu SD yang mengatakan seorang yang tidak putih kulitnya macam aku mestinya tidak takut dengan jarum suntik.<br />
<br />
Aku membenci tukang kebun sewaktu SD yang mengatakan mestinya aku mau memberikan contekan kepada teman-teman sekelasku untuk ujian nasional sebab aku yang paling pintar di kelas, di angkatan.<br />
<br />
Aku membenci guruku SMP yang mengatakan temanku bisa bekerja di bank sementara aku cocoknya jadi guru TK. Atau guruku lainnya yang menanyakan anak 'bandel' sepertiku ingin jadi apa nantinya? Aku membenci guruku SMA yang menarikku seperti berandal ke ruang kepala sekolah karena warna jilbabku tidak sesuai aturan.<br />
<br />
Aku membenci teman sekelasku di SD yang melemparkan tempat sampah ke kepalaku, atau mereka yang sering mengatakan aku seperti laki-laki.<br />
<br />
Aku bahkan membenci orang yang sama sekali tidak kukenal atau mengenalku. Seperti misalnya orang-orang di masa lalu pasanganku; mereka yang menurutku sangat bodoh sehingga membuat banyak trauma terjadi padanya. Pada beberapa hal, itu semua sangat menyusahkan hidupku sekarang.<br />
<br />
<i>Kenapa aku membenci sebanyak ini orang?</i><br />
<br />
Rasanya banyak hal yang sudah tidak relevan. Aku toh bisa menempuh studi yang jauh lebih baik daripada semua orang yang pernah kubenci dan menjadikannya benih dendam di kepalaku. Aku memiliki hidup yang lebih baik dari mereka, aku lebih pintar, pekerjaanku lebih bagus, karierku jauh di atas rata-rata mereka semua. Tapi mengapa dendam ini masih tumbuh subur, bahkan menggangguku akhir-akhir ini?<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-5522965478772382332019-07-15T22:59:00.003+07:002019-07-15T23:14:20.530+07:00Meski di Jakarta Sering Terjadi Badai<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjESSaCLWvQgGlbChUPia3GZJkkj5PIYTEAI8-7vZFgOgA3tWABtHTVgKwQxaNbOPZmx4SfofdZ2kM8K-2lJX5pDkcvZPQNIgWcgEs30-YgdE-HMvNfrlYpza_fZQcQ4vGmEY43XsU_0YWO/s1600/ekokalula-mAxA2OmTmKA-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjESSaCLWvQgGlbChUPia3GZJkkj5PIYTEAI8-7vZFgOgA3tWABtHTVgKwQxaNbOPZmx4SfofdZ2kM8K-2lJX5pDkcvZPQNIgWcgEs30-YgdE-HMvNfrlYpza_fZQcQ4vGmEY43XsU_0YWO/s640/ekokalula-mAxA2OmTmKA-unsplash.jpg" width="640" /></a></div>
<i><br /></i>
<i>"Bagaimana seseorang bisa menjadi seorang pembunuh? Apakah memang mereka dilahirkan sebagai pembunuh atau takdir yang membuat mereka jadi pembunuh?"</i><br />
<i><br /></i>
<i>"Kamu pikir mereka lahir untuk menjadi pembunuh? Jika kita tahu lebih awal, mereka tidak akan banyak merepotkan orang seperti kita. Cukup kita penjara saja sejak kecil agar mereka tidak jadi membunuh."</i><br />
<i><br /></i>
<i>--petikan dialog serial di Netflix yang aku lupa judulnya apa.</i><br />
<br />
***<br />
<br />
Sebagian besar dari kita mungkin ada yang percaya bahwa mesin waktu itu sungguhan ada. Beberapa dari kita, mungkin berharap mesin waktu itu tersedia untuk diperjualbelikan, atau paling tidak disewakan. Mungkin dia bisa dimiliki oleh negara atau institusi berwenang, untuk sewaktu-waktu dipakai oleh orang-orang yang dianggap memerlukan.<br />
<br />
Dalam hidup kita ada banyak sekali kesalahan yang rasanya setelah kita melewatkannya, kita jadi paham, seandainya hal itu tidak terjadi, atau paling tidak diubah sedikit dari yang terlanjur terjadi, hidup kita sedikit berubah.<br />
<br />
Aku percaya hukum sebab-akibat. Karena itu rasa-rasanya kalaupun mesin waktu sungguhan ada, dan aku bisa menggunakannya, aku pun bingung, bagian mana lagi yang perlu kuubah? Hidupku lengkap. Jika pun ada beberapa hal yang kurang menyenangkan, ya aku pikir itu salah satu bagian dari bagaimana alam menjaga keseimbangan energinya di hidupku.<br />
<br />
Aku pernah bertemu dengan seseorang yang sangat menyesali satu hal buruk yang terjadi di hidupnya. Yang bahkan setelah lewat bertahun-tahun sejak hal tersebut berlangsung, masih ada harapan tipis di benaknya bahwa sesuatu mungkin bisa mengubah takdirnya akan hal tersebut --sehingga sebagai konsekuensinya hari ini akan benar-benar berbeda dengan apa yang telah terjadi sesungguhnya.<br />
<br />
Lucunya pertemuan kami ada justru karena andil hal kurang menyenangkan tersebut. Dan jika kemudian selama masa-masa ini, ternyata dia menyesalinya, lalu apakah aku juga bagian dari penyesalan tersebut?<br />
<br />
Untuk tiga detik aku tidak bisa bicara.<br />
<br />
***<br />
<br />
Bagaimana cara manusia mengukur seberapa pantas hidup mereka seharusnya? Mengapa dalam garis takdir yang diberikan pada kita, manusia-manusia ini, masih ada perasaan bahwa kita seharusnya pantas menerima lebih?<br />
<br />
Apakah setidakbahagia itu? Apakah tidak ada satu pun, sesimpel bagaimana kita masih menghirup napas yang segar, menjadi sesuatu yang mestinya kita rasakan sebagai hal yang 'pantas' diberikan pada kita; tidak kurang, tidak lebih?<br />
<br />
***<br />
<br />
Seperti halnya semua orang, aku juga kadang khawatir dengan masa depan.<br />
<br />
Ada banyak sekali hal yang membuatku sebagai manusia kadang-kadang bingung, apakah ini sudah benar, atau ada yang lebih benar --hal-hal yang mungkin akan membawaku pada sesuatu yang lebih baik lagi dan tidak perlu ada yang disesali kemudian hari?<br />
<br />
Aku tidak tahu.<br />
<br />
Yang aku paham adalah bahwa ternyata, dari sekian banyak hal yang mungkin aku pernah menyesal atau tidak ingin terjadi, nyatanya masih banyak hal lain yang jauh lebih menyenangkan --yang semuanya tidak masuk dalam rencanaku.<br />
<br />
Seseorang pernah bilang padaku, bahwa mungkin dalam Matematika kita, semua hal terbatas dan ada hal-hal yang tidak mungkin. "Tapi Matematika Tuhan tuh nggak kayak kita, Erv," katanya.<br />
<br />
Aku percaya.<br />
<br />
***<br />
<br />
"So?" kataku.<br />
<br />
Di Jogjakarta angin bertiup semilir menemani kami menghirup aroma kopi joss yang dijajakan di sepanjang Jalan Mangkubumi menuju Stasiun Tugu.<br />
<br />
"Ikutin ke mana angin berhembus aja deh.. ya.. meski di Jakarta sering terjadi badai."<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-41939588528440559332019-07-03T18:00:00.002+07:002019-07-03T18:00:48.155+07:00Menuju Seperempat Abad<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ1noz1b8sV_nYsqNV57wzZky9XXl5hmPwTaaUFraNxA08lX-QXfVk75YAsxBOqHxtGv2cKhMr6El2nBoVlNr4qRHm-7KEZg6bmmCXsIHUk9BLM1YpjWW5PCB1dr8br6iTofmuVvcQfSdL/s1600/jc-dela-cuesta-FNIUQTgnKYQ-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ1noz1b8sV_nYsqNV57wzZky9XXl5hmPwTaaUFraNxA08lX-QXfVk75YAsxBOqHxtGv2cKhMr6El2nBoVlNr4qRHm-7KEZg6bmmCXsIHUk9BLM1YpjWW5PCB1dr8br6iTofmuVvcQfSdL/s640/jc-dela-cuesta-FNIUQTgnKYQ-unsplash.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Meski tidak sepenuhnya senang bahwa ternyata saya masih semuda ini, nyatanya saya cukup merasa senang, oh bukan senang, lebih tepatnya merasa cukup rileks. Oh iya, saya masih umur segini, rasa-rasanya perjalanan masih sangat jauh meski siapapun di antara kita tidak ada yang tahu umurnya sampai berapa lama.<br />
<br />
Mari menyemogakan semesta masih bersahabat untuk kita hidup lama-lama di bumi tanpa terlalu banyak perasaan susah dan menderita.<br />
<br />
Bagi saya yang tahun ini 24 tahun, ya, beberapa bulan lalu lebih tepatnya, ada beberapa hal yang kemudian saya pikirkan lagi sebagai bagian dari perjalanan-perjalanan saya. Pertama adalah keharusan untuk berpikir ulang bahwa selama ini saya terlalu buru-buru. Kedua adalah tentang menikmati apapun proses yang saya alami di waktu-waktu ini. Ketiga adalah tentang keyakinan bahwa Tuhan Maha Baik dan Ia memberikan saya orang-orang terpilih untuk melewati tahun-tahun saya ke depan dan seterusnya.<br />
<br />
Mari kita menghela napas dalam-dalam.. dan lepaskan dengan perlahan.<br />
<br />
Beberapa hari ini saya sedang disibukkan dengan kegiatan baru, yakni meditasi selepas kerja. Biasanya di kamar kost saya yang atmosfernya asik sekali untuk tidur, saya cuma berbaring. Saya menemukan sebuah aplikasi yang memandu saya melakukan meditasi selain ingatan pada percakapan-percakapan saya dengan teman-teman.<br />
<br />
"Kamu kalo salatnya khusyu' juga rasanya sama seperti meditasi," katanya suatu waktu. Aku mengamini, tapi sungguh setan apa yang bercokol di diri saya, bahkan ketika salat pun saya terpikirkan hal-hal buruk.<br />
<br />
***<br />
<br />
Pada waktu-waktu belakangan ini, saya seringkali dilanda cemas. Saya cemas pada diri saya, pada orang-orang di sekitar saya, pada orang-orang yang mungkin akan hadir di hidup saya, pada setiap kemungkinan dan bayangan-bayangan di kepala saya. Semua hal hadir bergantian dan rasanya semenyeramkan itu.<br />
<br />
Seperti laiknya orang depresi, malam hari terasa lama dan panjang sekali. Saya mencoba mencari pertolongan tapi saya pun tidak tahu bagian apa dalam diri saya yang mesti ditolong. Rasanya hanya semuanya kosong, lalu saya kerap berpikir, bagaimana seandainya saya tidak di sini, bagaimana seandainya hal-hal traumatis bertahun lalu dan di tahun-tahun kemarin tidak pernah terjadi di hidup saya? Akankah semua hal baik-baik saja? Apakah saya akan di sini? Apakah saya akan bertemu orang-orang ini?<br />
<br />
Saya tidak tahu.<br />
<br />
Seseorang bilang pada saya bahwa dalam hidupnya, jika ada satu hal yang ingin sekali diubah dalam hidupnya adalah bagian yang cukup mengacau dalam dirinya, yang bercokol sekian lama sejak ia hadir di dunia hingga saat ini.<br />
<br />
Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah jika tanpa hal-hal buruk itu, kita tidak bertemu? Apakah hingga sekarang, kamu masih menganggap saya adalah bagian dari mimpi buruk yang masih menghantuimu sampai saat ini? Bagaimana bisa?<br />
<br />
***<br />
<br />
"Apakah menurutmu kamu setangguh itu?"<br />
"We are."<br />
<br />
Lalu ia memberi kecupan manis.<br />
<br />
Mengapa saya tidak bisa melihat hidup kita seperti naik wahana ekstrem di Dunia Fantasi; menakutkannya hanya ketika dibayangkan dan disaksikan dari jauh. Ketika kita mulai melangkah dalam antrian, lalu akhirnya terduduk dan diikat sabuk pengaman, kita bisa apa?<br />
<br />
Tentu sebagai makhluk beriman saya tidak boleh menyalahkan Tuhan. Paling-paling saya menganggap-Nya suka bercanda.<br />
<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-44118955781977779102019-05-24T23:10:00.001+07:002019-05-24T23:11:21.263+07:00Dari Mana Datangnya Asmara? — Pertanyaan Kedua<br />
<section class="section section--body" name="bf1f"><div class="section-divider">
</div>
<div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<h3 class="graf graf--h3" name="38fa">
Seperti Sukab, aku potong dini hari ini seukuran kartu pos. Tentu agar kamu melihatnya sendiri tanpa aku harus susah-susah bercerita.</h3>
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<figure class="graf graf--figure graf--layoutFillWidth" name="0e79" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img class="graf-image" data-height="3648" data-image-id="1*_zmj-iSa3KhJgOSQ00lKhA.jpeg" data-is-featured="true" data-width="5472" src="https://cdn-images-1.medium.com/max/2560/1*_zmj-iSa3KhJgOSQ00lKhA.jpeg" /></figure><br />
<div class="section-inner sectionLayout--fullWidth">
</div>
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p graf--hasDropCapModel graf--hasDropCap" name="ae09">
<span class="graf-dropCap"><br /></span></div>
<div class="graf graf--p graf--hasDropCapModel graf--hasDropCap" name="ae09">
<span class="graf-dropCap">Di </span>Jakarta udara lembab dan sedikit anyir. Tidak ada darah, hanya anyir yang aneh dan menusuk hidung. Dari kejauhan, kulihat geliat orang-orang di balik kaca-kaca jendela apartemen. Sebagian dari mereka bangun untuk bekerja, sebagian lagi bangun dari bekerja. Jakarta memuat banyak hal yang sebelumnya tidak kupahami sebagai realitas. Sebab sebagai anak yang tumbuh dengan sangat normal dan baik-baik saja, aku tidak pernah diajari hal-hal begini.</div>
<div class="graf graf--p graf--hasDropCapModel graf--hasDropCap" name="ae09">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="18b2">
Di benakku banyak hal asing dari Jakarta yang mengakrabiku baru-baru ini. Banyak hal seperti cerita-cerita tidak tuntas dan banyak episode random perihal ingatan tentang kota yang pernah kusinggahi.</div>
<div class="graf graf--p" name="18b2">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="559f">
Oh, sejak kemarin aku meringkuk di kamarku yang berantakan. Kutanyai satu-satu; bantal, perabot keramik, selimut tempatku bergulung-gulung, “Dari mana? Dari mana datangnya asmara?”</div>
<div class="graf graf--p" name="c2d6">
<br />
Tapi seperti semua benda mati, mereka diam.</div>
<div class="graf graf--p" name="c2d6">
<br /></div>
</div>
</div>
</section><section class="section section--body" name="0e9d"><div class="section-divider">
<hr class="section-divider" />
</div>
<div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p" name="9c8d">
Bagiku, kamu adalah seorang flâneur.</div>
<div class="graf graf--p" name="9c8d">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="d2dc">
Berapa kali aku sudah mengatakan itu di depanmu? Aku lupa.</div>
<div class="graf graf--p" name="d2dc">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="81d0">
Dulu di abad ke-16, flâneur menunjukkan sebuah kebiasaan orang-orang yang gemar menyusuri jalan. Mereka menikmati udara senja atau pucuk bunga yang mulai merekah di musim panas. Kata ini berkonotasi dengan aktivitas untuk kaum aristokrat yang kebanyakan waktu — <em class="markup--em markup--p-em">nyelo </em>macam orang-orang kaya penuh privilege yang kerap kita nyinyiri di percakapan kita akhir-akhir ini.</div>
<div class="graf graf--p" name="81d0">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="c076">
Namun, belakangan, kata ini menjadi ambivalen. Ada campuran arti antara cita rasa orang yang melakukan perjalanan untuk memenuhi keingintahuan dan keinginan mempelajari budaya setempat. Hal ini pun kemudian memberikan penafsiran dan makna yang sama sekali berbeda ketika dulu flâneur diartikan sebagai pengelana yang berjalan ke mana saja dan tanpa tujuan. Menyaksikan flâneur seperti melihat gambaran bergerak dari sebuah kehidupan urban.</div>
<div class="graf graf--p" name="c076">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="be85">
Perihal ini aku paling suka pandangan Charles Baudelaire. Katanya, bahwa keramaian dalam perjalanan adalah rumah bagi flâneur; seperti ikan dengan airnya. Kegairahan dan pekerjaannya melebur menjadi satu di dalam keramaian.</div>
<div class="graf graf--p" name="be85">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="0255">
Seorang flâneur akan terus mencari, dan membangun rumah di dalam aliran dan gerakan perpindahan. Dia merasa telah meninggalkan rumah, tetapi berhasil membangun sebuah rumah di dalam perjalanannya.</div>
<div class="graf graf--p" name="0255">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="6946">
Kau adalah seorang flâneur. Dan kau, menolak untuk berumah pada apapun yang kau singgahi hingga hari ini.</div>
<div class="graf graf--p" name="6946">
<br /></div>
</div>
</div>
</section><section class="section section--body" name="05d6"><div class="section-divider">
<hr class="section-divider" />
</div>
<div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p" name="ffb7">
Bertahun lalu ketika kau pertama kali menyapaku, bagiku hari itu sangat ganjil. Mengapa Tuhan membuat garis waktu kita bertemu?</div>
<div class="graf graf--p" name="ffb7">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="4d91">
Aku perempuan patah hati yang mencari jawaban melalui mimpi. Kamu pengelana yang kehilangan arah dan tidak punya tujuan pun jalan kembali.</div>
<div class="graf graf--p" name="4d91">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="2e3b">
Aku tidak ingat apapun selain penolakan, aroma kopi, kepulan asap dari rokok yang kau hisap dengan frustasi atau sesekali tenggakan bir dari dua orang yang sama-sama patah hati.</div>
<div class="graf graf--p" name="2e3b">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="52a8">
“Aku tidak mencarimu,” katamu berulang kali.</div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="52a8">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="c05d">
“Aku juga tidak mau bertemu denganmu.”</div>
<div class="graf graf--p" name="c5e1">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="c5e1">
Aku <em class="markup--em markup--p-em">kekeuh</em>. Meski di dalam hati aku punya sebuah rahasia kecil yang diam-diam mengantarku pada penyesalan. Sungguh aku memang mencari sesuatu selama ini, dan salahku adalah tidak pernah mempertegas apa yang sesungguhnya aku cari.</div>
<div class="graf graf--p" name="8e05">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="8e05">
Maka ketika akhirnya pencarianku justru bermuara pada dipertemukannya dua orang patah hati ini pada suatu konflik yang chaos, aku cuma menggumam, “Ya Tuhan, aku koreksi, boleh?”</div>
</div>
</div>
</section><section class="section section--body" name="976d"><div class="section-divider">
<br />
<hr class="section-divider" />
</div>
<div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p" name="6713">
Kau tertawa setiap kali kubilang betapa tidak serasinya kita. Kita adalah dua polar yang saling bertolak belakang namun celakanya, tidak bisa menolak satu sama lain; seperti magnet kutub utara dengan kutub selatan.</div>
<div class="graf graf--p" name="24f9">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="24f9">
Pada hari-hari yang ganjil ketika aku kerap menyesal sekaligus bersyukur pada satu waktu, aku hanya tahu, kita tidak mungkin bertemu untuk sebuah kejanggalan. Pasti ada sesuatu yang mau Ia ceritakan. Pasti ada sesuatu yang mau Ia sentuh dari kisah rumit kita yang bahkan hingga hari ini masih sulit kucerna.</div>
<div class="graf graf--p" name="9d4b">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="9d4b">
Maka berjalanlah waktu dan episode demi episode akhirnya kita lewati — meski dengan babak-belur.</div>
</div>
</div>
</section><section class="section section--body" name="c085"><div class="section-divider">
<br />
<hr class="section-divider" />
</div>
<div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="1614">
“Seorang flâneur tidak berumah, kamu tahu, kan?” tanyaku lagi.</div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="97a8">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="97a8">
“Aku bukan flâneur,” katamu.</div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="f2d2">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="f2d2">
“Kalau iya?”</div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="c54d">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="c54d">
“Kalau iya, aku tidak di sini,” ujarmu lagi, lalu mengecup bibirku. Di lantai sebelas apartemen ini aku kembali mengakrabi aroma tubuh yang dalam dua tahun belakangan ini kucoba untuk lupakan. Barangkali ini keputusan yang berat. Sebab setelah hari ini, aku, kami, tidak akan ke mana-mana lagi.</div>
<div class="graf graf--p" name="ec08">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="ec08">
Laki-laki itu <em class="markup--em markup--p-em">kekeuh </em>tidak mau pergi. Sekali lagi, kedatangannya sangat ganjil sebab ia begitu saja ada dan tiba-tiba.<br />
<br /></div>
</div>
<div class="section-inner sectionLayout--fullWidth">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img class="graf-image" data-height="2731" data-image-id="1*7cBYKxAFP6av6IJo-OtDWg.jpeg" data-width="4096" height="426" src="https://cdn-images-1.medium.com/max/2560/1*7cBYKxAFP6av6IJo-OtDWg.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="640" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: small; text-align: start;">I’ve been wandering but now I know I’m home</span></td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p" name="bbc5">
Kata orang, mencintai berarti membersamai untuk apapun yang terjadi di antara mereka. Hidup bersama adalah tentang memiliki tujuan-tujuan serupa. Bertahun-tahun kucari tujuan itu, namun tak juga kutemukan apa. Pertanyaanku masih selalu sama, “Dari mana datangnya asmara?”</div>
<div class="graf graf--p" name="bbc5">
<br /></div>
<blockquote class="graf graf--pullquote" name="8279">
Love is talked about frequently, but it’s so hard to define.</blockquote>
</div>
</div>
</section>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-26938205998721791822019-03-30T11:51:00.000+07:002019-03-30T11:51:13.949+07:00Tentang Mengapa Bukan Perokok<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixIZB12REUvSBKDEixMjicE2YW90O1wxuyd-JrKMXhECUQf1Wxu0tsXgwp6h-WZrdVZm1gU2wHqj9eaeIJ2CStoSTTxCg8sfad-7W5X6cCU6TmCsigbvhIsFRwnUsI5r5hK05DygodROh_/s1600/ander-burdain-168833-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixIZB12REUvSBKDEixMjicE2YW90O1wxuyd-JrKMXhECUQf1Wxu0tsXgwp6h-WZrdVZm1gU2wHqj9eaeIJ2CStoSTTxCg8sfad-7W5X6cCU6TmCsigbvhIsFRwnUsI5r5hK05DygodROh_/s640/ander-burdain-168833-unsplash.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Meskipun bukan anggota <a href="http://rumahkepemimpinan.org/2016/09/22/global-anti-cigarettes-movement-9cm/">9cm</a>, aku selalu berterus-terang pada dunia bahwa aku tidak menyukai perokok dan tidak pernah mentoleransi keberadaan mereka di sekitarku. Bukan aku melarang mereka merokok, tentu itu hak mereka.<br />
<br />
Aku hanya melarang mereka ada di sekitarku. Dan, karena menyadari bahwa meminta perokok untuk mengembalikan hakku untuk bebas bau rokok adalah suatu hal yang sia-sia, aku lebih memilih mengontrol diriku sendiri; untuk menjauh, sejauh-jauhnya.<br />
<br />
Maka yang kubersihkan pertama kali adalah orang-orang di sekitarku.<br />
<br />
Suatu hari, ketika masih kuliah, seorang temanku yang pada waktu itu kebetulan bukan perokok, menanyakan, "Kenapa di Psikologi, setiap orang selesai diminta mengisi kuisioner, selalu diberi hadiah?"<br />
<br />
"Itu etika sih," kataku.<br />
<br />
"Lalu kalau hadiahnya rokok?"<br />
<br />
"Mungkin dia sedang meneliti subjek perokok. Itung-itung ucapan terima kasih, kan?"<br />
<br />
"Terus kenapa kamu nggak memberi hadiah rokok?"<br />
<br />
Hmm aku berpikir sebentar merangkai kata-kata yang pas.<br />
<br />
"Sebenarnya, terlepas dari bagaimana sikapku pada rokok, pada perokok, atau bahkan ideologi para perokok pun, aku cuma belum pernah membeli rokok sih. Jadi aku merasa aneh aja kalau tiba-tiba aku membeli rokok untuk kuberikan pada subjekku."<br />
<br />
Rokok adalah sesuatu yang asing karena sejak kecil aku hampir tidak pernah melihat orang di sekitarku merokok. Laki-laki, perempuan, tidak ada yang kulihat mereka merokok di sekitarku.<br />
<br />
Meski akhirnya beberapa kali aku mendapati Bapak mencoba-coba rokok, misalnya ketika <i>srawung</i> di hajatan tetangga, aku tidak melihatnya sebagai perokok. Meski begitu, sama sepertiku, Bapak tidak pernah melarang seseorang merokok.<br />
<br />
Pernah suatu kali, ia mendapati adik laki-lakinya yang masih SMA merokok. Alih-alih melarang, dia cuma bilang, "Mau merokok ya silakan, tapi jangan pakai uangku."<br />
<br />
Cukup adil karena pada waktu itu Bapak yang membiayai sekolahnya dan dari uang yang ia keluarkan itu, dibelikan rokok. Selebihnya tidak ada larangan-larangan secara khusus dan mungkin itu juga yang membentuk kami semua; baik aku maupun adik-adik laki-laki Bapak, akhirnya tidak ada satupun yang menyukai rokok.<br />
<br />
Aku pikir Bapakku bukan orang dengan treatment kesehatan khusus yang menyukai gaya hidup sehat sehingga ia tidak merokok. Bapak sangat tidak sehat; malas olahraga, nggak doyan sayuran, jam tidur dan makan tidak teratur. Bapak juga bukan orang yang memiliki ideologi khusus sehingga baginya rokok haram. Ia hanya merasa, sebagai laki-laki, terlalu egois kalau merokok.<br />
<br />
Padaku suatu hari ia bilang, "Kalau cari suami jangan yang perokok. Itu aja syaratnya."<br />
<br />
"Kenapa?"<br />
<br />
"Laki-laki perokok itu kan egois ya. Bayangkan kalau sehari Bapak beli rokok misalnya 15 ribu, rokok itu dihabiskan Bapak sendiri. Dengan uang yang sama, kalau 15 ribu itu diberi ke Ibumu, misal, bisa dibelikan lauk untuk makan orang serumah, sejelek-jeleknya masih dapat tempe, kita semua kenyang. Jadi, jangan mau sama perokok soalnya itu pasti laki-laki egois."<br />
<br />
Bapak tidak bisa beretorika karena mungkin bacaannya nggak se-<i>ndakik-ndakik</i> orang sepertiku. Dia mungkin juga bukan feminis karena belum tahu banyak orang menganggap nilai kesetaraan soal siapa yang boleh merokok dan siapa yang memasak di rumah itu bukan perkara laki-laki atau perempuan, tapi dari kesederhanaan pikiran-pikirannya perihal perokok ini, bagaimanapun aku setuju.<br />
<br />
***<br />
<br />
Ketika aku dewasa, beberapa orang di sekitarku perokok. Tentu sekali lagi pada mereka semua aku tidak pernah memaksa mereka untuk berhenti merokok, tapi kubilang pada mereka, bahwa sepertimu yang berhak merokok, akupun berhak menjaga jarak dengan perokok.<br />
<br />
"Jauhi semua orang yang merokok, laki-laki, perempuan, aku cuma nggak suka keberadaan mereka di dalam lingkaranmu yang otomatis berkaitan dengan lingkaranku atau aku yang mengeluarkan dan menjauhkanmu dari lingkaranku."<br />
<br />
Hal ini sudah final dan tidak dapat diganggu-gugat.<br />
<br />
***<br />
<br />
Ketika mendapati seorang teman baikku terkena penyakit yang cukup serius berkaitan dengan paru-parunya, aku cukup kaget. Setauku dia bukan perokok.<br />
<br />
"Memang bukan aktif, tapi pasif. Bapak, saudara, teman-temannya," kata temanku menimpali.<br />
<br />
Aku tahu sakit bisa menimpa kapan saja dan siapa saja, bukan masalah apakah dia perokok, dikelilingi perokok, atau apapun itu. Tapi aku selalu berdoa, semoga bapaknya tidak merasa bersalah pada satu-satunya anak perempuannya.<br />
<br />
Aku tidak menyukai perokok.<br />
<br />
Mari berdoa yang baik untuk semua orang. Sabbe satta bhavantu sukhitatta.<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-18057104527086946232019-03-23T23:38:00.000+07:002019-03-23T23:58:06.913+07:00Mengganti Ingatan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ4TDYpVRDQkqUSVEigZKpFONiXAW7jUmuOiQzv1lIC3nGpEkye8x0Fft0tRsSfaDlbVKtHaO7cShnVoet8-KOJGeqX0EprXKc35O3KH1OmwUi-XbEqJ9ZmjM9qnACgaIEi998lArFARJo/s1600/laura-fuhrman-696993-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ4TDYpVRDQkqUSVEigZKpFONiXAW7jUmuOiQzv1lIC3nGpEkye8x0Fft0tRsSfaDlbVKtHaO7cShnVoet8-KOJGeqX0EprXKc35O3KH1OmwUi-XbEqJ9ZmjM9qnACgaIEi998lArFARJo/s640/laura-fuhrman-696993-unsplash.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Ketika akhirnya aku menggunakan kembali tablet lamaku, aku merasa waktu berlalu sangat cepat. Aku sedang di Jogja; tempat yang akhirnya kutinggali untuk minimal empat tahun menyelesaikan studi dan juga akhirnya kutinggalkan, bersama Catur dan Rizal.<br />
<br />
We had such a 'fancy' dinner di salah satu tempat makan yang kutemukan secara tidak sengaja dalam acara.. emm apa ya, kayaknya sih cuma jalan dan <i>suwung</i> aja dengan Angga, yang waktu itu, entah kenapa jadi satu-satunya 'teman main' di Jogja.<br />
<br />
Perihal ini, aku sudah memprotes Cicik. Kenapa dia yang notabene masih ada di Jogja, even sampe saat ini, bisa-bisanya membiarkan aku sendirian dengan orang asing yang akhirnya hampir tiap akhir pekan menghabiskan waktunya sama aku?<br />
<br />
Aku menyalahkan Cicik dan dia berkilah karena pada waktu itu kita sama-sama sibuk. Ya sih, aku sudah kerja, Cicik pun demikian. Dan kami sama-sama mengerjakan skripsi. Meskipun akhirnya dia lulus duluan, tapi kurang lebih di waktu-waktu itu, ada masa di mana kita memiliki kehidupan terpisah yang bahkan kayak susah banget ketemu padahal kami masih tinggal di seputaran Gejayan.<br />
<br />
Anyway, aku akhirnya bertemu gadget lamaku, sebuah tablet Samsung 10 inch. Bertemu dengan barang yang lama sekali tidak kupakai, itu artinya bertemu dengan hal-hal di masa lalu yang entah kenapa untuk beberapa hari setelahnya mampu membawa pikiranku ke banyak yang pernah kualami. Rasanya cukup lucu.<br />
<br />
***<br />
<br />
<i>Alun-Alun Kidul, 2013.</i><br />
<i><br /></i>
<i>Untuk pertama kalinya sejak lulus SMA, kami memutuskan main ke Jogja. Aku sudah lama tidak 'main pagi' karena waktu itu aku tinggal di Kalasan yang dengan jarak segitu kayaknya nggak memungkinkan aku untuk main sampai pagi. But that time, teman-temanku anak tongkrongan Kopimiring yang kalau pulang main berani bertaruh dengan begal di wilayah Pamularsih, sedang di Jogja. Kami pun merencanakan banyak hal termasuk menyewa sebuah penginapan yang nanti akan menyelamatkan kami setelah teler main semalaman.</i><br />
<i><br /></i>
<i>Aku lupa bagaimana kejadian persisnya, tapi singkat cerita, kami kemalingan. Atau lebih tepatnya kami terkena tindak kejahatan hasil kongkalikong orang-orang yang ada di Alun-Alun Kidul pukul 2 dini hari.</i><br />
<i><br /></i>
<i>Sebuah tas kamera hilang.</i><br />
<br />
***<br />
<br />
Bagi kami semua, khususnya aku sih kayaknya karena di antara mereka cuma aku yang kuliah di Jogja, kejadian di Alkid itu cukup traumatis. Bukan cuma karena kerugian materiil, tapi juga rasa percayaku akan orang Jogja yang cukup baik, hilang sudah ketika kejadian tersebut. Ceritanya cukup rumit untuk diceritakan bagaimana usaha kami menemukan tas itu kembali, tapi intinya adalah.. orang Jogja nggak sebaik itu juga, apalagi orang-orang yang bertahan di Alkid sampai pukul 2 pagi.<br />
<br />
Mereka nggak sebaik itu terhadap kalian mahasiswa-mahasiswa luar kota brengsek yang menjajah warga lokal dengan standar hidup kalian yang selalu bilang "Jogja apa-apa murah banget" ketika UMR Jogja bahkan cuma sekitar 1,5 juta. Kalian memang patut dibinasakan.<br />
<br />
Singkat cerita, dari sekian banyak trauma yang kualami aku belajar beberapa hal:<br />
<br />
<ol>
<li>Jangan bohong sama orang tua kalau kamu mau main sampai pagi karena kebohongan akan membawa kesialan yang nggak terbayarkan.</li>
<li>Jangan beli kamera sebelum gajimu dua digit dan ada fase hidup baru yang worth it untuk diabadikan karena apapun yang berkaitan dengan kamera itu mahal bajengaaan, bahkan tutup lensanya!</li>
<li>Sayangi tablet yang alhamdulillah ditempatin di tas terpisah. Dia jadi satu-satunya yang nggak ilang hikss.</li>
</ol>
<div>
Dan begitu kira-kira kenapa menurutku ketika akhirnya di tahun 2019 aku menggunakan tablet ini kembali, rasanya ada begitu banyak ingatan yang memaksa ruang-ruang kosong di kepalaku untuk muncul lagi seperti film dokumenter yang diputar.</div>
<div>
<br /></div>
<blockquote class="tr_bq">
<b>Aku ternyata pernah sangat rajin kuliah.</b></blockquote>
<div>
Paling nggak itu kelihatan dari berbagai slides, ebook, jurnal, dan catatan-catatan kuliah yang tersimpan rapi di tabletku. Aku lalu ingat di awal-awal masa perkuliahanku, aku memang lebih sering menggunakan tablet ini daripada laptop karena subhanallah laptopku bikin nangis kalau mau diingat-ingat performanya kayak apa.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hal kedua terbanyak adalah perihal ke-Balairung-an.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Yasssh. I was the leader of open recruitment for the biggest Indonesian-made student press in the earth--pada waktu itu. Dan entah kenapa aku menyimpan banyak sekali dokumentasi soal B21; foto, tulisan, dokumen-dokumen penting macam surat-surat ke rektorat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sisanya adalah foto kepanitian di kampus pas awal-awal jadi maba rajin ngevent, foto SMA, foto SMA, dan foto SMA lagi.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
***</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dari sekian banyak hal yang kutemukan, aku belajar sesuatu tentang memori bahwa melalui ingatan--hal-hal yang membawamu pada kenangan di mana segala hal yang terjadi pada waktu itu tidak kuketahui apa yang terjadi setelahnya-- aku tahu bahwa ternyata tidak semua hal berjalan sesuai rencana dan harapan-harapan kita.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Misalnya saja soal B21. Ternyata nggak lama setelah aku menjadi ketua rekrutmen, yang sejujurnya adalah posisi paling bergengsi dan strategis untuk mendapatkan jabatan struktural di Balairung, justru menjadi titik balik untuk aku muak dan akhirnya pergi dari B21.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Aku juga mengingat banyak rencana yang kutulis seperti kuliah S2 untuk belajar psikologi di Belanda, atau menjadi psikolog, atau aku.. bersama dengan seseorang yang aku tahu sekarang itu semua cuma jadi bagian dari ingatan-ingatan di masa lalu yang tidak relevan, dan masih banyak lagi.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Aku barangkali mengingat terlalu banyak dari hal-hal yang kusimpan ini, entah kenapa. Beberapa dari mereka terasa menyakitkan, namun jauh lebih banyak yang akhirnya membawaku pada sikap bersyukur atas semua hal yang telah terlewati. Bahkan dari perasaan paling sakit hati sekalipun.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
***</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ternyata ada banyak hal di luar prediksi kita yang terjadi dengan begitu saja dan tidak terencana. Misalnya sebuah pertemuan di sebuah acara di University Club yang berujung dengan relasi-entah-apa-ini-namanya-but-it-works-for-more-than-two-years.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Jika aku boleh bilang dengan sangat jujur, aku bahkan nggak pernah berpikir ceritaku akan seperti ini.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
***</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Ini kamu cuy?"</div>
<div>
"Iya cuy. Wkwk anjir bisa gitu ya bentukannya."</div>
<div>
"Ini jaman kapan cuy?"</div>
<div>
"Hmm SMA kayaknya, atau maba ya."</div>
<div>
"Wagelaseh ini."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Untuk beberapa hari setelah akhirnya aku berhasil menghidupkan tablet tersebut dan mengupdate softwarenya agar paling tidak versi Jelly Bean ini bisa lebih 'normal' untuk dipakai, anak-anak Core Squad mungkin cukup terganggu dengan aku yang tiba-tiba ketawa sendiri atau cerita ngelantur.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
But, well.. the show must go on. Setelah puas membaca, melihat, dan mengingat banyak hal, aku akhirnya harus menghapus sebagian besar dokumen di tablet itu untuk membantu meringankan beban kerja RAMnya yang seuprit agar tetap bisa dipakai nonton Netflix dan YouTube dengan normal.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Aku memutuskan untuk tidak memindahkannya ke Drive, selain karena emailku sekarang sudah sampai di edisi keempat, ternyata hal-hal ini memang waktunya untuk dihapus karena sudah tidak relevan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Seperti tabletku, berbagai ingatan yang melekat di dalamnya juga akhirnya harus diupdate dengan peristiwa-peristiwa baru yang lebih relevan; lewat foto-foto, tulisan, atau apapun itu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tidak semua orang yang kutemui dan menjadi 'teman' ketika aku menggunakan tablet itu di tahun 2013an, sekarang masih ngomong sama aku apalagi menyadari bahwa kita masih 'teman' satu sama lain. Sebaliknya, ada orang-orang yang baru kutemui dalam 2 atau 3 tahun belakangan ini, justru menjadi support system yang menyenangkan setelah melalui proses seleksi ketat sebagai seorang dewasa yang membangun lingkaran pertemanan yang sempit dan selektif.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Karena, in the end, aku baru sadar, aku nggak perlu sekian banyak orang ataupun ingatan yang memenuhi hidupku yang sudah cukup suntuk ini. Aku cuma butuh sedikit yang berkualitas untuk memastikan, sebagai seorang yang sebentar lagi 24 tahun, aku sudah berada di tempat yang tepat, tempat yang seharusnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-22040200440629920232019-01-19T14:35:00.001+07:002019-01-19T14:47:41.580+07:00Jakarta Dini Hari TadiLangitnya masih gelap. Jakarta yang pekat tidak pernah ramah pada tubuh dan mental yang kelelahan. Rasa-rasanya, setiap orang memiliki kesempatan untuk mengutuki Jakartanya yang bising setiap hari, setiap saat, setiap kali rindunya dipancang jarak dengan segala ketidakmungkinan yang timbul-tenggelam pada hati masing-masing; pada yang sedang jatuh cinta, paling sering yang patah hati.<br />
<br />
Jakarta mestinya mengajarinya tentang bagaimana bersikap tak acuh pada apapun, termasuk pada perasaan yang coba dibunuhnya pelan-pelan.<br />
<br />
Pukul empat pagi.<br />
<br />
<i>Tidak ada yang bisa diajak berbincang.</i><br />
<i><br /></i>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjG8GWy7NiGVSlDjhLDxtCAwHDi6TBO-w_hwCXN5ZOPal6sMIakxAGmxRQbULCiN5X9XAcT5AsNwZac3rDRK_vEWy-0xUoGFjluAw-kcTVhS9zxk3Bvx2g5Cik_swYRMDX4YHLVzFCvysQz/s1600/sad-505857_1920.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="902" data-original-width="1600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjG8GWy7NiGVSlDjhLDxtCAwHDi6TBO-w_hwCXN5ZOPal6sMIakxAGmxRQbULCiN5X9XAcT5AsNwZac3rDRK_vEWy-0xUoGFjluAw-kcTVhS9zxk3Bvx2g5Cik_swYRMDX4YHLVzFCvysQz/s1600/sad-505857_1920.jpg" /></a></div>
<i><br /></i>
Jakarta lelap di antara tukang-tukang sayur yang berangkat ke pasar atau kuli-kuli di pelabuhan. Di apartemennya yang sunyi, seseorang terpekur. Diam dan dihantui oleh pikiran-pikirannya sendiri.<br />
<br />
<i>Dari jendela kau lihat bintang-bintang sudah lama tanggal.</i><br />
<i>Lampu-lampu kota bagai kalimat selamat tinggal.</i><br />
<i>Kau rasakan seseorang di kejauhan menggeliat dalam dirimu.</i><br />
<i>Kau berdoa: semoga kesedihan memperlakukan matanya dengan baik.</i><br />
<br />
Sebab padanya, kesedihan sangat kejam bersekongkol dengan tumpukan pekerjaan yang tidak mau menunggu esok hari. Kantong matanya semakin menghitam. Tubuh depresi cuma butuh tidur dan lalu lupa pada kesepiannya sendiri.<br />
<br />
<i>Kadang-kadang kau pikir akan lebih mudah mencintai semua orang,</i><br />
<i>daripada melupakan satu orang.</i><br />
<br />
Dalam hidupnya, mungkin cinta cuma bisa disematkan pada sebuah perasaan agung yang dimiliki pada seorang yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Perasaan yang disimpannya bertahun-tahun, perasaan yang dengan sabar ia pelihara; hanya karena ia terlalu agung untuk diobral pada sembarang orang.<br />
<br />
Ia jauh namun dekat. Ada, namun terus dicari dalam ketidakyakinannya pada apapun.<br />
<br />
<i>Jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh isi jantungmu,</i><br />
<i>mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.</i><br />
<i>Dirimu tidak pernah utuh.</i><br />
<i>Sementara kesunyian adalah buah yang menolak dikupas.</i><br />
<i>Jika kaucoba melepas kulitnya,</i><br />
<i>hanya akan kau temukan kesunyian yang lebih besar.</i><br />
<i><br /></i>
Jakarta yang pengap mengubur ingatannya. Ia pernah tahu bagaimana rasanya; sekali saja. Setelah itu sudah.<br />
<br />
<span style="font-size: x-small;"><i>*fiksi ini terinspirasi dari puisi M. Aan Mansyur berjudul Pukul 4 Pagi</i></span><br />
<span style="font-size: x-small;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: x-small;"><i><br /></i></span>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-52495690904477196052019-01-05T14:39:00.000+07:002019-01-05T14:41:14.367+07:00365 Halaman Tentang SabarIbarat sebuah buku, 2019 adalah sekuel dari sebuah roman panjang yang belum tuntas di 2018. Dalam sekuel itu, ada banyak cerita baru yang mungkin tidak ditemukan di 2018. Namun, bisa jadi hal tersebut juga sebagai implikasi dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya.<br />
<br />
Ah ya. Aku tidak tahu mengapa, tapi kupikir 2018 menyisakan banyak sekali borok dan luka-luka yang menunggu untuk sembuh.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMNZG3CD7HTDtpLY15i0xMqwCjg3gAQOY0sDMS3QU-OkP_TpBrm33KS_s7W_Rvqs6PbftFawaFi3vysjRIkREWfhHyYDUz85pCQf7R_Xg7prWCfKwGPbeR__5wYyc0zduPadK9LFzXuiad/s1600/blur-blurred-book-46274.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1065" data-original-width="1600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMNZG3CD7HTDtpLY15i0xMqwCjg3gAQOY0sDMS3QU-OkP_TpBrm33KS_s7W_Rvqs6PbftFawaFi3vysjRIkREWfhHyYDUz85pCQf7R_Xg7prWCfKwGPbeR__5wYyc0zduPadK9LFzXuiad/s1600/blur-blurred-book-46274.jpg" /></a></div>
<br />
Masih dengan orang-orang yang sama, kupikir 2019 adalah waktu di mana masa krisis usia 20anku harusnya mulai selesai. Aku akan 24 tahun di tahun ini, which means aku beberapa tingkat lebih dewasa dari yang selama ini kupikir --hmm, aku selalu mikir aku masih 17 tahun.<br />
<br />
Di 2019, aku tidak berharap banyak selain perasaan sabar untuk tetap berjuang pada apapun yang masih bisa diperjuangkan.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Tapi sabar itu tidaklah pasif.</blockquote>
Sabar bukan berarti membiarkan apapun menyapu bersih wajahmu sebagai bagian dari "takdir" yang digariskan akan kita semua terima sebagai manusia. Tapi sabar semestinya lebih dari itu.<br />
<br />
Sabar adalah berhenti mengeluh. Sabar adalah usaha untuk tetap mampu mengontrol tindakan dan ucapan atas semua hal yang membuatmu babak belur.<br />
<br />
Ada 365 halaman buku tentang sabar dan ini baru terbaca secuil tentang pembukaan. Hari masih panjang. Perjalanannya masih sangat jauh.<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-73892678798087833502018-12-31T19:58:00.000+07:002019-01-04T12:56:33.966+07:00Proposal di Tahun 2018<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Ini menjadi tahun baru kedua di Jakarta. Yang pertama dua tahun lalu, di Tebet, diiringi ceramah dari masjid di sekitar rumah tentang bahaya meniru orang kafir dengan ikut-ikutan meniup terompet dan sebuah tekad kuat untuk lulus kuliah.<br />
<br />
Setahun setelahnya aku sungguhan lulus. Masih mengerjakan revisi, tapi setidaknya aku beneran lulus. Aku di Jogja. Lupa apa yang kukerjakan, tapi seingatku aku memang tidak begitu menikmati tahun baru semenjak perayaan menyambut kedatangan Bakuh ke Jogja berbuntut petasan yang mengenai pelipisku. Sejak saat itu aku tidak pernah merayakan tahun baru dengan semarak. Seperlunya aja.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrn1eXJFJJjFTSrK3xYZ0BCfxDxeOg7BdhHEKtCu9WAG1i1H-b4We6Pko-KVnDhqb4GXp6RYDylrWeC84zIXtHtR7HGbfOU1cwPyAtbD92YKxMi3I2hNJrbUsbasruvzW-1_1CTn8u2yLN/s1600/jakarta-2664059_1920.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrn1eXJFJJjFTSrK3xYZ0BCfxDxeOg7BdhHEKtCu9WAG1i1H-b4We6Pko-KVnDhqb4GXp6RYDylrWeC84zIXtHtR7HGbfOU1cwPyAtbD92YKxMi3I2hNJrbUsbasruvzW-1_1CTn8u2yLN/s1600/jakarta-2664059_1920.jpg" /></a></div>
<br />
Tahun ini aku tidak menyangka aku memutuskan tinggal di tempat yang kukutuk selama bertahun-tahun hidupku. Mungkin untuk beberapa tahun ke depan hidupku akan di sini; pekerjaanku, masa depan karierku, tinggal itu yang berharga. Di rumah ada keluarga yang paling tidak setahun sekali kukunjungi ketika lebaran dan sebulan sekali mulai 2019, besar kemungkinan aku akan bolak-balik Jakarta-Jogja.<br />
<br />
Aku mungkin akan rindu Jogja seperti tahun-tahun di Semarang. Lalu sekelebat pernyataan Mbak Nina tentang Jogja terngiang di kepalaku. Katanya, "Jogja itu cocoknya buat liburan aja. Buat dikangen-kangenin kayak gini. Kalau udah tinggal di sini ya biasa aja."<br />
<br />
Aku hampir membenarkan kata-kata Nina, tapi kemudian aku ingat bahwa empat tahunku yang berharga di Jogja ternyata lebih dari sekadar rutinitas kuliah dan menghabiskan hidup sehari-hari. Jogja ternyata seberharga itu, baik ketika ditinggal maupun ditinggali. Karenanya meski akhirnya aku memutuskan tinggal di Jakarta setelah lulus, aku masih punya keinginan suatu hari nanti kembali saja ke Jogja. Pas udah lelah dan mau hidup lebih selo.<br />
<br />
***<br />
<br />
Tahun 2018 tidak menyisakan banyak kenangan yang membekas selain karena akhirnya aku wisuda. Aku hampir tidak punya cerita pertemanan yang mengesankan karena seingatku ini adalah waktu di mana aku sungguh merasa tidak punya teman di sekitarku.<br />
<br />
Maka hari-hari di 2018 lebih banyak tentang beban pekerjaan yang segimanapun aku mencoba santai dan menikmati, ternyata mengurangi berat badanku cukup drastis. I got my 40's weight after years. Tidak pernah sadar sampai satu per satu orang mulai mengomentari aku terlalu kurus dan melihat potret diriku sendiri satu atau dua tahun lalu.<br />
<br />
But I am okay as long as aku nggak jatuh sakit. Bagian paling tidak menyenangkan dari hidup seorang diri adalah ketika sedang sakit. Dan karenanya aku tidak suka sakit. Saking aku parno dengan semua bentuk sakit, aku sering mengalami kejadian berlebihan seperti misalnya periksa ke dokter penyakit dalam karena keracunan makanan.<br />
<br />
I spent a lot of money for this, tapi paling tidak, perkara sakit-sakit ini harus kuatasi untuk meyakinkan diri sendiri that I don't need someone else to live in Jakarta. Life is tough. Dan beginilah kupikir sikapku. Paling tidak sampai aku menuliskan catatan ini.<br />
<br />
***<br />
<br />
Selama 23 tahun hidup, aku merasa aku tidak pernah memikirkan orang lain. Aku tidak peduli apa kata mereka, aku tidak pernah punya rasa kasihan atau empati --ini menghancurkan masa depanku sebagai psikolog pada awalnya, dan aku mungkin terlalu egois karena selalu memusatkan dunia ini cuma atas perspektifku.<br />
<br />
Pada mulanya adalah keinginan untuk belajar berkompromi dengan orang lain. Berbulan-bulan. Mungkin bertahun-tahun. Namun, paling tidak sampai aku menulis catatan ini, aku merasa kami masih jauh api dari panggang. Jauh dari kata saling berkompromi.<br />
<br />
Some people told me, that's because of too much differences between us. Hal-hal yang bertolak-belakang, saling tidak diterima, dan beberapa hal yang tidak dapat ditoleransi. Tapi, bukankah begitu halnya orang berkompromi? Sebab jika semuanya sudah sama, tidak ada gunanya berkompromi?<br />
<br />
Hal lain yang mengganggu adalah karena rasa percaya itu ibarat sebuah cermin kaca. Sekali ia dihancurkan, maka sekuat apapun diperbaiki, tetap akan cacat. Dan aku kehilangan banyak kepercayaanku pada orang yang berkali-kali merusak keyakinanku akan sesuatu. Mungkin pada sebuah prinsip, mungkin pada janji yang dibuatnya sendiri, mungkin juga pada rasa welas asih dan kebaikhatian, pada sabar yang makin lama makin tidak ada artinya.<br />
<br />
Lalu pada sebuah titik, aku mempertanyakan, "Apakah alasan terbesar orang pergi karena ia punya alasan untuk pergi, atau cukup karena ia tidak punya alasan untuk tetap di sini?"<br />
<br />
Ternyata aku tidak ke mana-mana. Tidak beranjak pergi tapi juga tidak memutuskan untuk pulang.<br />
<br />
***<br />
<br />
Di antara banyak hal yang kukutuk sepanjang tahun aku hidup di Jakarta, nyatanya aku masih bersyukur memiliki beberapa hal lain yang luar biasa. Ingat tentang daftar cita-cita untuk menjadi manager sebelum usia 25 tahun, menjadi PR di perusahaan, menjadi penulis, dsb?<br />
<br />
I got all of those above. Literally. And I should be very very grateful for them.<br />
<br />
Aku bahkan tidak tahu apa lagi yang mesti aku sedihkan dalam 23 tahun hidupku yang ternyata luar biasa ini selain pada sebuah kompensasi bahwa ini menjauhkanku dari seseorang yang ideal untuk memiliki relasi personal yang manis.<br />
<br />
Tuhan adil meski adil tidak selalu artinya sama. "Kamu cuma kurang bersyukur," kata beberapa orang yang akhirnya selalu kubalas dengan senyum getir kayak karet yang direnggangin susah payah.<br />
<br />
***<br />
<br />
"Lulus udah. Kerja okelah."<br />
"Karier tertata rapi. Aman."<br />
"Masak bisa, tinggal dijalanin. Kurang apa nih?"<br />
"Nikah!"<br />
"Hahahaha!"<br />
<br />
Di tengah gempuran gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, semua orang seusiaku berseloroh ihwal pernikahan yang sebenarnya kami semua takuti.<br />
<br />
Orang tidak akan pernah bisa yakin untuk menikah selama ia masih berpikir dunia harus memahaminya sebab ia begini, begitu, dan seterusnya. Orang tidak akan pernah bisa yakin untuk menikah selama satu-satunya alasan untuk menikah hanya karena menginginkan "pasangan" untuk dirinya sendiri, sementara ia tidak berpikir bahwa orang yang menjadi pasangannya juga menginginkan "pasangan" untuk dirinya sendiri juga.<br />
<br />
Dua orang egois tidak akan menikah. Dan tidak seharusnya pula menikah.<br />
<br />
Sebab ketika dua orang menikah, akan ada orang ketiga, keempat, dan seterusnya, yang tidak pernah meminta untuk lahir di dunia yang bodoh ini. Apalagi dilahirkan dari dua orang bodoh yang masih berpikir urusan perutnya masing-masing, yang masih tidak rela berbagi makanannya, uangnya, tempat tidurnya. Apalagi berbagi hidup? Membagi hal yang masih bisa dicari saja susah dan harus melalui perdebatan yang panjang untuk mengukur untung ruginya.<br />
<br />
It will not work. Hence, I still have no idea of marriage. We don't have any idea of marriage.<br />
<br />
***<br />
<br />
Ketika aku berumur 18 tahun, yang kupikirkan tentang hari ini adalah studi master di bidang humaniora atau psikologi gender.. <strike>dengan suami yang mas-mas enjiner.</strike><br />
<br />
Damn.<br />
<br />
Aku nggak ngerti kenapa waktu itu pikiranku sesederhana itu. It was like, hidupku semuanya baik-baik saja sampai aku masuk usia 20an dan banyak hal mau tidak mau berubah dari rencana. Aku tidak jadi studi, aku tidak jadi menikah muda, dan orang yang selalu kupikirkan sebagai jodohku, ternyata bukan.<br />
<br />
Aku seperti orang yang memegang peta tapi tersesat di hutan belantara penuh rawa-rawa. But yeah, I still survive. Dan kemudian, sampai usiaku segini, aku baru nyadar ini bagian dari semesta yang berkonspirasi. Tidak ada suatu kejadian yang tidak direncanakan. Kalo tidak olehku, paling tidak oleh-Nya.<br />
<br />
Ibaratnya, semua hal yang kupikirkan, kuhitung masak-masak, dan kulakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan adalah segepok proposal untuk hidup yang aku juga tidak tahu kapan akhirnya. Dan seperti halnya proposal; beberapa ditolak, beberapa diterima tanpa revisi, beberapa diterima setelah direvisi berkali-kali.<br />
<br />
Akhirnya aku harus bilang terima kasih atas semua perjalanan panjang dan menyenangkan. Jakarta akan menyenangkan, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Bagiku akhirnya di Jakarta tidak ada lagi hal yang patut kupertanyakan sebab semuanya sudah cukup. Keluarga yang baik, teman-teman yang menyenangkan, pekerjaan yang menjanjikan dengan keyakinan di atas rata-rata, dan semuanya.<br />
<br />
It was great of 2018 and I am so thankful.<br />
<br />
Terima kasih. Terima kasih.<br />
<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-57994087937827391062018-11-08T11:12:00.000+07:002018-11-08T11:12:40.295+07:00Melengkapi Fragmen Jakarta<section class="section section--body" name="95cb"><div class="section-divider">
<i>Aku merangkum kembali seluruh ingatanku tentang mengapa aku mau ke tempat ini.</i></div>
<div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p graf--hasDropCapModel graf--hasDropCap" name="ffb9">
<span class="graf-dropCap"><br /></span></div>
<div class="graf graf--p graf--hasDropCapModel graf--hasDropCap" name="ffb9">
<span class="graf-dropCap">D</span>alam benakku Jakarta adalah segala hal yang kita butuhkan untuk lupa. Pernah suatu hari aku sakit hati sebegitunya dan Jakarta adalah tempat sempurna untuk pergi, menenggelamkan diri dalam rutinitas padat dan menuntut berpikir ekstra. Aku lalu lupa.</div>
<div class="graf graf--p graf--hasDropCapModel graf--hasDropCap" name="ffb9">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="1883">
Di satu sisi Jakarta menawarkan hiburan yang meriah; konser murah, jam session gratisan, sampai pameran-pameran seni — dan semuanya bisa kamu nikmati seorang diri. Kamu mungkin tidak butuh orang lain untuk sekadar menikmati kelas-kelas di Bentara Budaya atau menonton konser di TIM.</div>
<div class="graf graf--p" name="1883">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRUaV_GAOm1Fvtnflf3DlacGsnr1MZpy0Sn-lvGFBN1RtDzntM3bUwM3UUAc8V2dD-ul7R__NWU6Si3CzWlJbv_DG_ATFaAZINLT311K81iTA97zRlIyr9PFSgpI_td4DO9fRGXVYeXs_H/s1600/47105.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1000" data-original-width="1600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRUaV_GAOm1Fvtnflf3DlacGsnr1MZpy0Sn-lvGFBN1RtDzntM3bUwM3UUAc8V2dD-ul7R__NWU6Si3CzWlJbv_DG_ATFaAZINLT311K81iTA97zRlIyr9PFSgpI_td4DO9fRGXVYeXs_H/s1600/47105.jpg" /></a></div>
<div class="graf graf--p" name="1883">
<br /></div>
</div>
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p" name="fa25">
Ini tahun pertamaku kembali lagi ke tempat ini. Dua tahun lalu ketika aku di sini emosiku melekat pada orang-orang yang kutemui; beberapa dari mereka mempengaruhi perspektifku hingga kini. Aku belajar banyak hal yang kini satu per satu ingin kuulangi.</div>
<div class="graf graf--p" name="fa25">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="889c">
Seingatku pertama kali aku bekerja secara profesional tahun 2014 dan waktu itu aku masih kuliah. Jadi aku ingat setiap pulang kampus aku ke kantor, menenteng laptop yang segede melon, begitu setiap hari bahkan di akhir pekan.</div>
<div class="graf graf--p" name="889c">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="e55e">
Karena aku tinggal di Concat, maka sudah pasti aku melewati derita dunia lampu merah Gejayan yang aduhay. Beberapa waktu kemudian aku menemukan sebuah kedai kopi di dekat kantor tempatku akhirnya banyak membaca buku-buku Ayu Utami dan beberapa penulis kenamaan lainnya. Maka aku memutuskan menghabiskan waktu senja di sana, menunggu Maghrib terlewat, bahkan sampai malam, hanya untuk bisa motoran dengan tenang.</div>
<div class="graf graf--p" name="e55e">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="c971">
<em class="markup--em markup--p-em">Yes. Motoran sendiri.</em> Sebelumnya ketika aktif di persma aku bahkan pulang melewati ringroad utara yang konon banyak <em class="markup--em markup--p-em">klitih</em>-nya seorang diri pukul satu dini hari. Saking seringnya aku pulang pukul satu ini, aku sampai punya sebuah prosa tentang sepasang roh yang berjalan-jalan pukul satu dini hari.</div>
<div class="graf graf--p" name="c971">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="fcfd">
Setelahnya aku tidur dan besoknya kuliah setengah delapan pagi. Begitu setidaknya aku menghabiskan sepanjang tahun perkuliahan hingga awal 2016 aku memutuskan untuk resign untuk fokus KKN, skripsi — dan membuat startup wkwk.</div>
<div class="graf graf--p" name="fcfd">
<br /></div>
<blockquote class="graf graf--blockquote graf--startsWithDoubleQuote" name="9867">
<span class="markup--strong markup--blockquote-strong">“Aku mau seproduktif dulu sih, tapi dengan vibes Jakarta. Kayaknya asik deh. Soalnya di sini orang gerak serba cepat,” ujarku pada seorang kolega di kantor.</span></blockquote>
<div class="graf graf--p" name="376a">
Maka dimulailah rutinitas ke kantor sebelum pukul sembilan.</div>
<div class="graf graf--p" name="376a">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="ac9b">
Aku tetap pulang malam seperti biasa. Tapi paling tidak sekarang tidak pernah dugem atau pulang pagi — sudah setahun ini sepertinya, aku menghindari tempat-tempat beralkohol, dan juga teman-teman perokok.</div>
<div class="graf graf--p" name="ac9b">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="06e4">
Satu langkah progresif karena beberapa hari ini aku konsisten dengan tidak tidur pagi.</div>
</div>
</div>
</section><section class="section section--body" name="134f"><div class="section-divider">
</div>
<div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p" name="67c1">
<strong class="markup--strong markup--p-strong"><em class="markup--em markup--p-em"><br /></em></strong></div>
<div class="graf graf--p" name="67c1">
<span class="markup--strong markup--p-strong"><span class="markup--em markup--p-em">***</span></span></div>
<div class="graf graf--p" name="67c1">
<strong class="markup--strong markup--p-strong"><em class="markup--em markup--p-em"><br /></em></strong></div>
<div class="graf graf--p" name="67c1">
<strong class="markup--strong markup--p-strong"><em class="markup--em markup--p-em">Apa yang membuat seseorang berubah?</em></strong></div>
<div class="graf graf--p" name="67c1">
<strong class="markup--strong markup--p-strong"><em class="markup--em markup--p-em"><br /></em></strong></div>
<div class="graf graf--p" name="87f6">
Aku tidak tahu. Di pikiranku aku pernah melihat versi lebih baik dari diriku sendiri. Kini aku 20an tahun dan aku mungkin hampir punya segala hal yang menjadi standar apa saja yang harus dimiliki orang seumuranku; aku lulus dari kampus ternama, punya pekerjaan bagus, mandiri secara finansial, karierku progresif dan prospektif dalam beberapa tahun ke depan, teman-temanku baik, keluargaku menyenangkan, dan aku masih bisa ngereceh di Twitter — ini anugerah terbesar dalam hidup.</div>
<div class="graf graf--p" name="87f6">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="bb1e">
Satu-satunya yang kupikirkan memburuk adalah belakangan aku merasa aku terlepas dari otoritas akan diriku sendiri. Mungkin akhirnya aku menyadari aku terlalu bergantung pada orang lain.</div>
<div class="graf graf--p" name="bb1e">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="2dca">
“Nggak seindependen dulu,” komentar teman yang kukenal sejak SMA.</div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="2dca">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="72cc">
Akupun mulai berpikir hari-hari di mana aku hanya fokus pada belajar dan bekerja tanpa banyak drama yang bikin <em class="markup--em markup--p-em">ambyarr</em> semuanya.</div>
<div class="graf graf--p" name="72cc">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="5bf9">
“I have seen you better. Kamu orang yang di kafe sendirian, berjam-jam dengan laptop sama buku, ke mall sendirian, belanja sendirian, kamu blogger receh yang produktif, dan kamu sangat easy going,” katanya.</div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="5bf9">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="fca3">
Ia meneruskan, “Kamu bahkan dicari temenmu pukul satu pagi untuk diajak ke burjo karena dia galau, dan kamu mau! You’re such a good friend! Di tengah vibes Jogja yang serba <em class="markup--em markup--p-em">selo</em> kamu bisa gerak cepet, temenmu cuma kuliah kamu udah milih kerja, temenmu di level LM kamu udah melenggang ke FORMAD. What does happen with you?”</div>
<div class="graf graf--p" name="fca3">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="187a">
“Hmm nggak tahu.”</div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="187a">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="187a">
***</div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="187a">
<br /></div>
</div>
</div>
</section><section class="section section--body" name="be67"><div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p" name="3ec7">
Di benakku soal Jakarta kemarin-kemarin adalah sebuah upaya untuk lupa, sebuah tempat sempurna untuk hilang ingatan. Namun belakangan aku mulai membuka-buka kembali ingatan tentang mengapa sejak dulu kupikir tempat ini ideal untuk mendidikku ketika aku sudah cukup dewasa — membentukku dalam sebuah pribadi yang utuh.</div>
<div class="graf graf--p" name="3ec7">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="e5b5">
Jakarta bergerak serba cebat dengan logikanya sendiri. Ia hampir tidak menyisakan ruang untuk semua rasa baper dan hal-hal yang tidak logis atasnya. Aku ingat tentang lelucon <strong class="markup--strong markup--p-strong">lebih baik tinggal di bekas kuburan tapi murah karena di Jakarta lebih serem nggak punya uang daripada ketemu setan.</strong></div>
<div class="graf graf--p" name="e5b5">
<strong class="markup--strong markup--p-strong"><br /></strong></div>
<blockquote class="graf graf--pullquote graf--startsWithDoubleQuote" name="ab5d">
<span class="markup--strong markup--pullquote-strong">“Di sini tuh kalau kamu cuma mau cari uang, asalkan kamu mau kerja, kamu akan punya uang — sesederhana itu. Dan kamu, kamu punya privilege untuk lebih dari sekadar punya uang dan kerja, kamu bisa mikir, otakmu encer. Yang penting jangan males!” — Kak Bachtiar dalam sesi habis Maghrib di kantor.</span></blockquote>
<div class="graf graf--p" name="e9e6">
Terlepas dari banyaknya pandangan negatif yang kudengar soal mantan bossku itu — eh, ada banyak sekali hal yang ia katakan sangat relevan untukku pada akhirnya. Jangan males. Jakarta tidak punya ruang untuk orang males. Itu salah satu yang ternyata menarikku ke sini lagi.</div>
<div class="graf graf--p" name="e9e6">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="2f33">
Kedua — masih yang ia katakan dalam sesi habis Maghrib — adalah selalu berpikir logis pada apapun yang kita lakukan. Jakartan menerapkan itu dan sesederhana itu sebenarnya untuk menjalani segala hal lebih mudah di sini.</div>
<div class="graf graf--p" name="2f33">
<br /></div>
<div class="graf graf--p graf--startsWithDoubleQuote" name="996d">
“Kamu di rapat dimaki-maki karena kerjaanmu buruk tapi habis itu makan siang bareng, dan ya udah, profesional kok.”</div>
</div>
</div>
</section><section class="section section--body" name="5294"><div class="section-divider">
</div>
<div class="section-content">
<div class="section-inner sectionLayout--insetColumn">
<div class="graf graf--p" name="9e39">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="9e39">
***</div>
<div class="graf graf--p" name="9e39">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="9e39">
Gerak serba cepat, logis, dan selalu mengedepankan profesionalitas tanpa baper yang berlebih mungkin pada akhirnya menjadi alasan terbesar mengapa dulu aku mau ke sini. Pikirku akhirnya hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang untuk bertahan dari segala apapun yang tidak menyenangkan.</div>
<div class="graf graf--p" name="9e39">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="26cf">
Aku hampir punya semua hal yang menyenangkan — bagaimanapun harus disyukuri. Dan menurutku bentuk rasa syukur paling nyata adalah berupaya sebisa-bisanya, sebaik-baiknya untuk tetap menjadi versi terbaik dari diri-sendiri.</div>
<div class="graf graf--p" name="26cf">
<br /></div>
<div class="graf graf--p" name="5ca2">
Bagiku akhirnya cara melengkapi fragmen Jakarta ini bukan dengan mengutuk kotanya yang kejam atau lalu-lintasnya yang buruk. Tempat ini mendidik orang untuk jadi setangguh mungkin mencapai versi terbaiknya tanpa harus bergantung pada orang lainnya. Kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri, atas kebahagiaan, atas semua masalah — yang harus diperjuangkan. Segala hal diperhitungan logis dan tidak banyak baper yang menguras emosi.</div>
<div class="graf graf--p" name="5ca2">
<br /></div>
<blockquote class="tr_bq">
<b><span class="markup--strong markup--blockquote-strong">I do my thing and you do your thing. </span></b><b><span class="markup--strong markup--blockquote-strong">I am not in this world to live up to your expectations, </span></b><b><span class="markup--strong markup--blockquote-strong">and you are not in this world to live up to mine. </span></b><b><span class="markup--strong markup--blockquote-strong">You are you, and I am I, </span></b><b><span class="markup--strong markup--blockquote-strong">and if by chance we find each other, it’s beautiful. </span></b><b><span class="markup--strong markup--blockquote-strong">If not, it can’t be helped. </span></b><b>— Gestalt prayer.</b></blockquote>
</div>
</div>
</section>Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-17663861699408138782018-10-09T18:44:00.000+07:002018-10-09T19:11:36.802+07:00Tentang Sekolah Lagi dan Menjadi 'Master'<i>Seperti halnya semua mahasiswa Psikologi UGM, aku pernah punya cita-cita untuk langsung menempuh pendidikan master segera setelah lulus. Tahun 2018, aku menargetkan ke Belanda atau ke Inggris untuk mengambil master di bidang humanities atau studi psikologi sosial lainnya. Tapi serapi-rapinya matematika kita, tetep tidak akan bisa memprediksi matematika Tuhan yang luar biasa.</i><br />
<i><br /></i> <i>Di tengah-tengah proses kuliahku yang tadinya baik-baik aja, muncul masalah keluarga yang membuatku terlihat sangat egois kalau mau kekeuh untuk sekolah lagi segera setelah lulus. Pada waktu itu aku bahkan hanya berpikir studiku harus segera selesai, aku bisa punya uang sendiri, bertahan hidup sendiri, dan lain-lain --beberapa hal yang membawaku pada keputusan kerja bahkan sebelum aku lulus.</i><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgv8Yh0ZlLFReNWMyZKXc7s80ODWKNsO908axeGphbbAZ-PthRgmtSC_W_Bzp6mhsJ2jUclB2uXBrqU_M8i_vj_rYUfVCBHrRTWLlvKcGs2EHoJSg02VyJ5ZEjQe0ia6wsWWV-njyHXHZnz/s1600/graduation-cap-3430714_1280.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="853" data-original-width="1280" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgv8Yh0ZlLFReNWMyZKXc7s80ODWKNsO908axeGphbbAZ-PthRgmtSC_W_Bzp6mhsJ2jUclB2uXBrqU_M8i_vj_rYUfVCBHrRTWLlvKcGs2EHoJSg02VyJ5ZEjQe0ia6wsWWV-njyHXHZnz/s640/graduation-cap-3430714_1280.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Pada akhirnya aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk bekerja lebih awal pada saat itu. Aku mengubah "road map" dari semua hal yang kususun dengan baik ketika pertama kali aku masuk UGM. Sobat PPSMB pasti paham kan, tentang peta hidup 20 tahun ke depan yang diminta katingmu buat bikin waktu kamu OSPEK? WKWK. Aku juga punya.<br />
<br />
Terlalu banyak yang berubah dalam tahun-tahun perkuliahan. Sesuatu yang kini kupahami sebagai dinamika kehidupan mahasiswa. Pada akhirnya kuliah S1 itu adalah sebuah "jeda" untuk berpikir dan menyusun kembali tujuan hidup. Hence, kamu perlu dukungan environment yang tepat agar kamu tidak keliru, atau paling tidak, nggak bingung ketika lulus.<br />
<br />
Kembali pada tujuan sekolah lagi.<br />
<br />
Biar aku jelaskan bahwa sebagai mantan 'inteleque' muda penghuni B21, aku sangat mengagumi isi pikiran seseorang. Aku melihat senior-seniorku menempuh studi dan menulis dengan sangat berkelas dan heroik. Logikanya tersusun rapi, cerdas, dan aduh pokoknya keren lah.<br />
<br />
Jauh dalam pikiranku, ada sebuah ekspektasi yang 'lebih' pada mereka yang bergelar master. Because ya.. they are 'master' kan ya?<br />
<br />
Dalam pikiran naifku, bergelar master akan sedikit mengubah perspektifku tentang suatu hal yang selama ini kupahami secara general. Katakanlah aku yang sekarang S.Psi, aku menyukai psikologi sosial, aku menyukai studi gender dan isu-isu seputar perempuan. Mungkin ketika aku studi master soal ini, aku akan sangat 'ndakik-ndakik' bicara ihwal topik tersebut. Bisa karena aku ketemu profesor-profesor baru, buku-buku baru, jurnal-jurnal baru, yang selama ini masih terbatas sebab yeah.. I'm just undergraduate gituh. Otomatis, dengan segala upgrading 'master' tersebut, segala hal yang kumiliki saat ini juga ikut terupgrade; cara berpikir, cara bekerja, kehidupan profesional, gaji?<br />
<br />
Tadinya aku berpikir begitu.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
"Kau tahu, studi master tidak seistimewa itu. Kalau tidak percaya, tinggallah dan bekerja di Jakarta."</blockquote>
Bagi orang-orang sepertiku, pendidikan adalah privilege. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan sekolah yang bagus. Karenanya, orang-orang sepertiku memiliki ekspektasi yang lebih pada mereka yang sekolah lebih tinggi.<br />
<br />
Namun, di Jakarta tidak begitu. Di sini banyak orang hidup dengan privilege sejak lahir. Jangankan buat sekolah sampe dapat gelar master ah elaaah, ibaratnya mereka pilek aja bisa kliniknya di Singapore gituh. Sejak kecil, orang-orang yang hidup dengan privilege mendapatkan banyak kemudahan dalam hidupnya, termasuk soal studi. Namun, dari sini, value dari menjadi seorang master itu tiba-tiba tergerus.<br />
<br />
Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi kayaknya performa kerjanya B aja, banyak.<br />
Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi logikanya kacau balau, banyak.<br />
Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi goblok setengah mati, ya ada.<br />
<br />
Simply because bagi mereka master ya adalah cuma master. Mau yang dalam negeri, luar negeri, banyak. Makanya ketika di Jakarta, aku lebih suka untuk menanyakan sesuatu dengan lebih detail. Misalnya, si A lulusan luar negeri. Luar negeri mana? Lebih jauh, kampusnya apa? Studi apa di sana? Atau kalau kepo banget aku akan nanya dulu tesisnya apa dan bagaimana metode penelitiannya.<br />
<br />
Ada loh orang bergelar master degree dari salah satu universitas di Inggris yang tesisnya pakai metodologi yang bahkan di kampusku S1 ngajuin kayak gitu, buat beberapa dosen yang high level, mereka nggak ngebolehin karena terlalu sederhana dan datanya rawan bias. Ya jangan lah berekspektasi untuk mendapatkan analisis yang mendalam atau publikasi yang ciamik di jurnal internasional, lah level lulusnya aja sebatas yang-penting-lulus gitu.<br />
<br />
So, it's not about the degree. Instead, it's all about yourself as an individual.<br />
<br />
Aku belajar satu hal yang sangat mahal dari pertemuanku dengan 'orang-orang bergelar master' ini: sebelum sekolah lagi, tetapkan tujuan yang jelas mengapa mau sekolah lagi.<br />
<br />
Gaesss. Studi master bukan karena kamu lulus S1 dan jobless berbulan-bulan lalu karena tertekan sama society kamu memilih sekolah lagi. Bukan juga karena kamu kerja tapi kok kayaknya B aja trus berharap dengan sekolah lagi akan membuat kariermu membaik. No, no, no.<br />
<br />
"Jadi, lu nggak mau ambil master?" tanya seseorang akhirnya.<br />
"Ya maulah pasti. Gila lu gamau haha. Tapi.."<br />
"Tapi?"<br />
"Tapi ada perhitungannya. Because I am on the right track being professional."<br />
<br />
Yeah, I am a junior manager right now and my professional career is still growing. Melihat perhitungan pekerjaanku saat ini, naif kalau aku bilang aku akan melakukan apapun untuk mendapat gelar master.<br />
<br />
"Eventho dapet beasiswa?"<br />
"Iya. Unless itu beasiswa dari kantor mungkin, ya. Yang terus abis selesai sekolah gue dapet promosi jabatan gitu ya masuk sih itung-itungannya."<br />
"Hmm ya juga ya."<br />
"Iyalah. Kalau udah capek-capek kuliah, bayar mahal, tapi ujung-ujungnya harus memulai karier dari nol banget ya nyesek dong anjaay. ROI minus."<br />
<br />
Return on Investment (ROI) menjadi bahan bercandaan yang paling santer aku dengar di kalangan teman-temanku. Maklum, sobat missqueen kayak kami yang di UGM kuliahnya cukup mengandalkan UKT bersubsidi masih menganggap biaya pendidikan kayak bentuk investasi. Ujung-ujungnya aku (dan mungkin teman-teman sepergaulan missqueenku) nggak menampik kalau tujuan bersekolah tinggi agar kemampuannya tinggi dan kemudian dihargai lebih tinggi.<br />
<br />
Somehow aku masih percaya kalau kemampuan berpikir seseorang itu berbanding lurus dengan performa kariernya. Kan nggak lucu juga kalau tukang soto dipaksa jadi seniman mural atau tukang kayu dipaksa menjahit. Semua kemampuan ada porsi dan tempatnya masing-masing.<br />
<br />
But again, it's not about the degree. It's about yourself as an individual.<br />
<br />
Akhirnya aku percaya bahwa terlepas dari gelar apapun yang dimiliki seseorang, kualitas individu tetap tidak bisa berbohong. Mau nggak ada gelar apapun kalau emang basicnya udah ok ya bakal keliatan ok. Sebaliknya, mau gelarnya sepanjang apapun kalau otaknya B aja ya bakalan B aja dan itu keliatan kok di orang yang sudah dewasa.<br />
<br />
"Jadi.. master udah nggak sakral?"<br />
"Masih dong.."<br />
"Lah bentukane 'itu' juga master loh.."<br />
<br />
Wqwqwq.<br />
<br />
Sekolah lagi masih menjadi keinginanku selain enhancing karier dan menjadi profesional di bidang bisnis digital saat ini. Entah untuk bergelar master, PhD, atau apapun, aku masih mencita-citakan sekolah lagi dan belajar hal baru sebagai sebuah tujuan dan proses sepanjang masa yang harus selalu dikejar dan diupayakan.<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-7636202030792742952018-09-03T23:31:00.001+07:002018-09-15T22:06:51.873+07:00Pertemanan Sehat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_eA3LXxhmgLcbr5VM6KyPEpYNt-q43FPPrm5ZPboCPws81-PlwS1iZIjBIAg1zGjiyIrDQE-f8_vXlYHZ9oSy2VnepnXSlHVWXQDPEEdTpSXoCtdJU88pqRvTllYcoJ-fzkvOiyGcqzRb/s1600/bonding-1985863_1920.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="882" data-original-width="1600" height="352" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_eA3LXxhmgLcbr5VM6KyPEpYNt-q43FPPrm5ZPboCPws81-PlwS1iZIjBIAg1zGjiyIrDQE-f8_vXlYHZ9oSy2VnepnXSlHVWXQDPEEdTpSXoCtdJU88pqRvTllYcoJ-fzkvOiyGcqzRb/s640/bonding-1985863_1920.jpg" width="640" /></a></div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kepada adik-adik saya, satu hal yang selalu saya ajarkan sejak mereka kecil dan bergumul dengan peer groupnya adalah kalo punya temen tuh pilih-pilih. Bukan mengajarkan sombong, tetapi lebih kepada kamu memfilter lingkaran sosialmu agar membentuk dirimu seideal mungkin ke depannya.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Saya belajar banyak soal bagaimana lingkaran pertemanan ini berpengaruh sekali, misal pada abang saya di Jogja yang sejak dulu kukagumi lingkaran pertemanannya atau ketika di kerjaan sendiri saya melihat founder mendapatkan berbagai kesempatan bisnis ya dari orang-orang di sekitar, dari teman-temannya, dari circle terdekatnya. Therefore, I believe that #pertemanansehat works dan itu kemudian juga menjadi satu prinsip yang saya yakini sampai sekarang.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Saya bersyukur kuliah di UGM dan tinggal di Jogja selama bertahun-tahun. Bergaul dengan banyak orang yang meskipun "terbatas" namun bisa saya pastikan sangat berkualitas. Saya tidak punya banyak teman dari jurusan. Instead, saya membangun pertemanan saya justru dari anak-anak Fisipol, Hukum, hingga Ilmu Komputer. Dari mereka, tidak hanya kesempatan mengembangkan karier dan belajar hal-hal baru yg saya dapat, namun juga membentuk kepribadian saya untuk jadi orang yang lebih terbuka dan adaptif --dan tentu saja berkembang dari waktu ke waktu.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Saya bertemu orang berumur 27 tahun dan clueless kenapa urusan pertemanan menjadi sepenting ini; mengapa bergaul dengan mereka yg di usia 30an tapi tidak menampakkan peforma karier yang signifikan itu bahaya, atau kenapa bergaul dengan bapak-bapak yg punya anak perempuan peminum alkohol dibiarkan itu tidak baik. Ini soal pola pikir. Berada di suatu environment akan membentuk pola-pikir seseorang. Mungkin tidak disadari secara langsung, tapi pasti terbentuk. Entah dari perspektif melihat sesuatu, atau paradigma berpikir akan suatu fenomena.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Lebih dari itu, pertemanan menentukan pula penilaian orang terhadap kita. Setuju atau tidak, terserah. Pilihan masing-masing. Tapi, paling tidak sekarang paham kan, kenapa dalam setiap konflik yg bergesekan dengan teman-teman, saya mengedepankan mereka?</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Karena teman-teman bagi saya adalah aset. Saat ini mungkin mereka hanya sebatas konco suwung ataupun teman yang dicari ketika buntu soal kerjaan atau hal-hal semacamnya. Namun, 10 tahun dari sekarang who knows kita akan punya bisnis bersama? Atau salah satu dari mereka adalah pemegang kebijakan? Atau malah investor yang akan membantu bisnis kita? Nobody knows about future tapi saya percaya pada proyeksi dari hal-hal yang terjadi pada masa kini. Terlebih proyeksi dari bagaimana pola pikir seseorang, bagaimana habit seseorang, dan lain sebagainya.<br />
<br />
<br /></div>
Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-71059467373035077592018-08-06T16:45:00.001+07:002018-08-06T17:08:40.856+07:00Tentang Relasi dan Perempuan yang Gagal Memaknai Hidupnya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfdoaHuNUKu5_fLToRY6DYgoa-7qT51mvrDAjubG8Y7xu7jAcxwP_Id-f7ScC5Y3DJqbmtIpTovLT8FDLqbhNgf4BqReVJSPy2Z_6UPwJxcTLuwUJpx7uWb8hmMP3pZ8X_0lR9kYLMnE9-/s1600/heartbreak-1209211_1920.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfdoaHuNUKu5_fLToRY6DYgoa-7qT51mvrDAjubG8Y7xu7jAcxwP_Id-f7ScC5Y3DJqbmtIpTovLT8FDLqbhNgf4BqReVJSPy2Z_6UPwJxcTLuwUJpx7uWb8hmMP3pZ8X_0lR9kYLMnE9-/s640/heartbreak-1209211_1920.jpg" width="640" /></a></div>
<b><br /></b> <b>Fragmen Pertama</b><br />
<br />
Ketika mendengar selentingan bahwa si Bunga --bukan nama sebenarnya-- memiliki suatu "romantisme" terlarang dengan --sebut saja-- Joko, hari itu aku cuma menganggapnya angin lalu. Meski di depan mataku sendiri, aku pernah menyaksikan "sikap tidak biasa" yang dilakukan oleh dua orang yang sudah sama-sama dewasa. Bagaimanapun, aku perempuan 20an tahun, aku bertahun-tahun kuliah psikologi, dan yang terpenting, aku pernah jatuh cinta dan memiliki suatu relasi intim dan romantis dengan lawan jenis. Aku bisa melihat dengan sangat jelas; ya, mereka memiliki relasi yang tidak biasa. Tapi.. masa sih? Bukannya si Joko sudah beristri dan punya anak?<br />
<br />
"Memang gitu sisss!" Si pemilik informasi terlengkap di sana membuka suara. Hari itu kami sedang di jalan untuk makan malam di dekat kampus.<br />
"Kamu serius?" tanyaku. Masih tidak percaya.<br />
"Astaga! Ngapain aku bohong sama kamu tuh buat apa? Faedahnya apa buat aku tuh apa?"<br />
<br />
Sepanjang makan malam kemudian, topik obrolan kami hanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang bahkan sampai sekarang, lebih dari setahun berlalu semenjak hari itu, masih belum terjawab.<br />
<br />
Sejujurnya, sebagai perempuan berumur 23 tahun, aku sampai sekarang bertanya-tanya, sebenarnya, bagaimana sih masa depan yang dibayangkan perempuan berumur 20an seperti kami, belum menikah, berpendidikan tinggi, dan memiliki pekerjaan yang membuat kami bisa bertahan hidup sebagai perempuan terhormat, memilih menyukai pria yang sudah berpasangan?<br />
<br />
"Kira-kira apa ya, yang dipikirin orang-orang seperti Bunga itu? Jujur aja aku penasaran, karena logikaku sama sekali nggak masuk," ujarku jujur waktu itu.<br />
"Entah."<br />
<br />
***<br />
<br />
<b>Fragmen Kedua</b><br />
<br />
Sejujurnya aku bersimpati dengan perempuan-perempuan yang menyukai lelaki milik orang. Kau tahu kenapa? Sebab laki-laki tidak mau disalahkan. Baginya, hal-hal yang seperti Bunga-Joko itu tidak akan terjadi kalau si perempuan tidak memulai duluan. Pada beberapa kasus, kadang lelakinya yang bangsat, namun, bahkan pada lelaki paling baik-baik sekalipun, hal itu bisa terjadi.<br />
<br />
"Masa sih ceweknya yang mulai duluan?"<br />
"Iya. Orang cowoknya ngebiarin aja kok. Nggak ngerespons."<br />
"Braaay. Paham nggak sih, kalo ngebiarin aja itu berbeda dengan 'melarang dengan tegas' hm? Sekarang pertanyaanku, apakah si cowok sudah dalam usaha melarang dengan tegas?"<br />
<br />
Orang di depanku diam saja. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa posisi perempuan selalu serba salah seperti ini.<br />
<br />
Dear lelaki, jika sampai kalian membaca tulisan ini, kalian masih tidak paham bagaimana psikologis perempuan seumuran kami. Begini, biar aku jelaskan.<br />
<br />
Pertama-tama, kalian sudah bukan remaja. Jadi, itu yang harus kalian pahami. Ketika kalian sudah beranjak dewasa, percayalah relasi-relasi kalian akan semakin menyempit. Maka, sudah tentu kalian memahami dengan betul, bagaimana habit dari masing-masing orang di sekitar kalian.<br />
<br />
Ketika kalian dewasa, ada dua jenis lingkaran pertemanan yang kalian punya. Satu jenis teman-teman yang memang sudah terikat waktu saking lamanya kalian berteman. Kedua, adalah teman-teman baru kalian yang kalian temui di tempat kerja. Dan tentu saja kalian tahu ya, relasi kolega itu "semestinya" seperti apa dan relasi pertemanan kalian yang sudah kelewat lama itu "normalnya" seperti apa.<br />
<br />
Maka, ketika ada <b>hal-hal yang tidak biasa</b>, tolong <b>jangan naif</b>. Sudah tentu individu tersebut menaruh ekspektasi yang berbeda.<br />
<br />
Bicara perihal ekspektasi inilah yang membahayakan. Dengar perdebatanku dengan orang barusan? Dibiarkan.<br />
<br />
Sebagian laki-laki cukup baik dengan tidak menggubris hal-hal seperti ini, ketika mereka memiliki pasangan. Namun, demikian, jika tidak ditegaskan, itu artinya, kesempatan masih terbuka.<br />
<br />
Ingat loh, ada perbedaan yang sangat besar antara "membiarkan tanpa menggubris" dengan "melarang dengan tegas" yang kemudian ditangkap oleh lawan jenis.<br />
<br />
Dalam beberapa perbincanganku dengan teman-temanku, kami sepakat untuk menganggap manusia-manusia seperti ini sama sampahnya.<br />
<br />
Bagi Lamia, misalnya, perempuan yang menyukai lelaki milik orang, atau laki-laki yang membiarkan perempuan seperti itu berseliweran di sekitarnya, dua-duanya sama-sama tidak tahu diri dan tidak punya harga diri. Si laki-laki tidak paham komitmen, dan si perempuan gagal memaknai kehidupannya. Menurut kami tentu saja hal yang sama terjadi juga pada laki-laki yang menyukai pasangan orang. Keduanya sama-sama tidak punya harga diri.<br />
<br />
"Begitulah kalau tutup botol plastik dikasih nyawa."<br />
<br />
Aku tertawa mendengar komentar Lamia, tapi aku setuju. Permasalahannya memang hanya orang-orang seperti kami tidak paham jalan pikiran mereka. Pun aku tidak pernah mengerti motivasi di baliknya. Mungkin tidak seperti mereka, kami masih mampu memaknai kehidupan kami dengan baik.<br />
<br />
***<br />
<br />
<b>Fragmen Ketiga</b><br />
<br />
Dalam perbincangan menuju ke bandara. Sesaat sebelum kembali ke Jakarta.<br />
<br />
"Dalam relasi itu, ada laki-laki dan perempuan. Jika keduanya sudah sepakat untuk memiliki sebuah komitmen, maka keduanya wajib menjaga diri masing-masing, dan juga pasangannya. Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu akan tahu bagaimana caranya mempertahankan apa yang kamu miliki sebab itu hakmu. Percaya deh, sekeren-kerennya kamu menjadi perempuan, menjadi janda itu tetap bukan pilihan. Jadi menikah itu memang bukan sesuatu yang sederhana. Jangan sampai salah orang. Amit-amit."<br />
<br />
Hari itu di ufuk timur Bandara Ahmad Yani Semarang yang baru, matahari mulai malu-malu muncul. Lalu-lalang orang mulai memadati bandara sepertiku menunggu pesawat pagi.<br />
<br />
Sepanjang perjalanan dari Semarang ke Cengkareng, sampai di Menteng dan kembali ke kamar menyalakan AC dan melanjutkan tidur yang tertunda, aku berpikir keras. Benar juga ya. Menikah memang tidak sesederhana itu. Tetapi menjadi perempuan yang belum menikah juga ternyata tidak semudah itu.<br />
<br />
Aku belum menikah. Di pikiranku saat ini, tidak ada sedikit pun terlintas bayangan bahwa aku menyukai lelaki milik orang. Bahkan pada beberapa teman lelakiku, jika pasangannya merasa kurang nyaman dengan pertemanan kami, aku mengalah untuk kebaikan kami semua. Aku bersumpah pada diriku sendiri, sekeren apapun orang itu, jika dia sudah jadi milik orang, maka tidak sedikit pun aku berhak atasnya. Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari alasan mengapa harus begitu. Cukup pikirkan, bagaimana jika hal tersebut terjadi di kamu? Milikmu diambil orang, atau diganggu orang?<br />
<br />
Alasan lain adalah kupikir sebagai perempuan, aku berhak memiliki kehidupan yang lebih baik dengan tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Hal-hal yang kemudian bagi perempuan sepertiku, atau bahkan Lamia, diterjemahkan sebagai "pemaknaan atas hidup" kami yang harus diperjuangkan.<br />
<br />
Perempuan yang menyukai lelaki milik orang adalah perempuan yang gagal memaknai hidupnya. Dan begitupun laki-laki yang menyukai perempuan milik orang lain. Mungkin akan lebih adil jika kubilang, orang yang menyukai milik orang lain, adalah mereka yang gagal memaknai hidupnya. Sebab mereka terlalu tidak berharga untuk sekadar menjaga harga diri dan kehormatannya, untuk, paling tidak, jangan mengganggu ketenangan dan kebahagiaan orang lain.Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8667964368306065793.post-63003782311634180382018-08-03T12:50:00.000+07:002018-08-03T12:59:48.469+07:00Ada Satu Hari<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHQ8CQHauIFJskjYny7nZ69zvljxZAupAwqpa2RsoLVmC4XmaBg8G-V6gtYrSVl4KjdInkBMo7P4iy6CCKLfXX_tAW6bbSREZTFSuPEtDSmJnZBsPZ8CUQeqWEPiuOvUwyVjPAh-Ru5XsB/s1600/punclut.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="680" data-original-width="1024" height="424" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHQ8CQHauIFJskjYny7nZ69zvljxZAupAwqpa2RsoLVmC4XmaBg8G-V6gtYrSVl4KjdInkBMo7P4iy6CCKLfXX_tAW6bbSREZTFSuPEtDSmJnZBsPZ8CUQeqWEPiuOvUwyVjPAh-Ru5XsB/s640/punclut.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Ada satu hari di Bukit Ciumbuleuit. Waktu itu anginnya sejuk meski matahari terik membakar kulit. Kau dan aku duduk berdua, di bawah pohon rindang yang sesekali kita keluhkan daun-daun gugurnya. Tak jauh di sana, hamparan hijau sejuk dipandang mata. Kan, kubilang juga apa. Bandung jauh lebih menyenangkan daripada Jakarta.<br />
<br />
Kau dan aku duduk berdua. Kita diam saja dan tidak tahu mau apa. Tapi kita duduk saja, berdua. Meresapi setiap sajak yang pernah ditulis Sapardi dalam puisi-puisinya.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Kita berdua saja, duduk.<br />
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput.<br />
Kau entah memesan apa.<br />
Tapi kita berdua saja, duduk.</blockquote>
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga. Sampai suatu hari kita lupa untuk apa. "Tapi yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi.<br />
<br />
<br />Ervina Lutfihttp://www.blogger.com/profile/10921139965072989526noreply@blogger.com