Tentang Mengapa Bukan Perokok


Meskipun bukan anggota 9cm, aku selalu berterus-terang pada dunia bahwa aku tidak menyukai perokok dan tidak pernah mentoleransi keberadaan mereka di sekitarku. Bukan aku melarang mereka merokok, tentu itu hak mereka.

Aku hanya melarang mereka ada di sekitarku. Dan, karena menyadari bahwa meminta perokok untuk mengembalikan hakku untuk bebas bau rokok adalah suatu hal yang sia-sia, aku lebih memilih mengontrol diriku sendiri; untuk menjauh, sejauh-jauhnya.

Maka yang kubersihkan pertama kali adalah orang-orang di sekitarku.

Suatu hari, ketika masih kuliah, seorang temanku yang pada waktu itu kebetulan bukan perokok, menanyakan, "Kenapa di Psikologi, setiap orang selesai diminta mengisi kuisioner, selalu diberi hadiah?"

"Itu etika sih," kataku.

"Lalu kalau hadiahnya rokok?"

"Mungkin dia sedang meneliti subjek perokok. Itung-itung ucapan terima kasih, kan?"

"Terus kenapa kamu nggak memberi hadiah rokok?"

Hmm aku berpikir sebentar merangkai kata-kata yang pas.

"Sebenarnya, terlepas dari bagaimana sikapku pada rokok, pada perokok, atau bahkan ideologi para perokok pun, aku cuma belum pernah membeli rokok sih. Jadi aku merasa aneh aja kalau tiba-tiba aku membeli rokok untuk kuberikan pada subjekku."

Rokok adalah sesuatu yang asing karena sejak kecil aku hampir tidak pernah melihat orang di sekitarku merokok. Laki-laki, perempuan, tidak ada yang kulihat mereka merokok di sekitarku.

Meski akhirnya beberapa kali aku mendapati Bapak mencoba-coba rokok, misalnya ketika srawung di hajatan tetangga, aku tidak melihatnya sebagai perokok. Meski begitu, sama sepertiku, Bapak tidak pernah melarang seseorang merokok.

Pernah suatu kali, ia mendapati adik laki-lakinya yang masih SMA merokok. Alih-alih melarang, dia cuma bilang, "Mau merokok ya silakan, tapi jangan pakai uangku."

Cukup adil karena pada waktu itu Bapak yang membiayai sekolahnya dan dari uang yang ia keluarkan itu, dibelikan rokok. Selebihnya tidak ada larangan-larangan secara khusus dan mungkin itu juga yang membentuk kami semua; baik aku maupun adik-adik laki-laki Bapak, akhirnya tidak ada satupun yang menyukai rokok.

Aku pikir Bapakku bukan orang dengan treatment kesehatan khusus yang menyukai gaya hidup sehat sehingga ia tidak merokok. Bapak sangat tidak sehat; malas olahraga, nggak doyan sayuran, jam tidur dan makan tidak teratur. Bapak juga bukan orang yang memiliki ideologi khusus sehingga baginya rokok haram. Ia hanya merasa, sebagai laki-laki, terlalu egois kalau merokok.

Padaku suatu hari ia bilang, "Kalau cari suami jangan yang perokok. Itu aja syaratnya."

"Kenapa?"

"Laki-laki perokok itu kan egois ya. Bayangkan kalau sehari Bapak beli rokok misalnya 15 ribu, rokok itu dihabiskan Bapak sendiri. Dengan uang yang sama, kalau 15 ribu itu diberi ke Ibumu, misal, bisa dibelikan lauk untuk makan orang serumah, sejelek-jeleknya masih dapat tempe, kita semua kenyang. Jadi, jangan mau sama perokok soalnya itu pasti laki-laki egois."

Bapak tidak bisa beretorika karena mungkin bacaannya nggak se-ndakik-ndakik orang sepertiku. Dia mungkin juga bukan feminis karena belum tahu banyak orang menganggap nilai kesetaraan soal siapa yang boleh merokok dan siapa yang memasak di rumah itu bukan perkara laki-laki atau perempuan, tapi dari kesederhanaan pikiran-pikirannya perihal perokok ini, bagaimanapun aku setuju.

***

Ketika aku dewasa, beberapa orang di sekitarku perokok. Tentu sekali lagi pada mereka semua aku tidak pernah memaksa mereka untuk berhenti merokok, tapi kubilang pada mereka, bahwa sepertimu yang berhak merokok, akupun berhak menjaga jarak dengan perokok.

"Jauhi semua orang yang merokok, laki-laki, perempuan, aku cuma nggak suka keberadaan mereka di dalam lingkaranmu yang otomatis berkaitan dengan lingkaranku atau aku yang mengeluarkan dan menjauhkanmu dari lingkaranku."

Hal ini sudah final dan tidak dapat diganggu-gugat.

***

Ketika mendapati seorang teman baikku terkena penyakit yang cukup serius berkaitan dengan paru-parunya, aku cukup kaget. Setauku dia bukan perokok.

"Memang bukan aktif, tapi pasif. Bapak, saudara, teman-temannya," kata temanku menimpali.

Aku tahu sakit bisa menimpa kapan saja dan siapa saja, bukan masalah apakah dia perokok, dikelilingi perokok, atau apapun itu. Tapi aku selalu berdoa, semoga bapaknya tidak merasa bersalah pada satu-satunya anak perempuannya.

Aku tidak menyukai perokok.

Mari berdoa yang baik untuk semua orang. Sabbe satta bhavantu sukhitatta.


Mengganti Ingatan


Ketika akhirnya aku menggunakan kembali tablet lamaku, aku merasa waktu berlalu sangat cepat. Aku sedang di Jogja; tempat yang akhirnya kutinggali untuk minimal empat tahun menyelesaikan studi dan juga akhirnya kutinggalkan, bersama Catur dan Rizal.

We had such a 'fancy' dinner di salah satu tempat makan yang kutemukan secara tidak sengaja dalam acara.. emm apa ya, kayaknya sih cuma jalan dan suwung aja dengan Angga, yang waktu itu, entah kenapa jadi satu-satunya 'teman main' di Jogja.

Perihal ini, aku sudah memprotes Cicik. Kenapa dia yang notabene masih ada di Jogja, even sampe saat ini, bisa-bisanya membiarkan aku sendirian dengan orang asing yang akhirnya hampir tiap akhir pekan menghabiskan waktunya sama aku?

Aku menyalahkan Cicik dan dia berkilah karena pada waktu itu kita sama-sama sibuk. Ya sih, aku sudah kerja, Cicik pun demikian. Dan kami sama-sama mengerjakan skripsi. Meskipun akhirnya dia lulus duluan, tapi kurang lebih di waktu-waktu itu, ada masa di mana kita memiliki kehidupan terpisah yang bahkan kayak susah banget ketemu padahal kami masih tinggal di seputaran Gejayan.

Anyway, aku akhirnya bertemu gadget lamaku, sebuah tablet Samsung 10 inch. Bertemu dengan barang yang lama sekali tidak kupakai, itu artinya bertemu dengan hal-hal di masa lalu yang entah kenapa untuk beberapa hari setelahnya mampu membawa pikiranku ke banyak yang pernah kualami. Rasanya cukup lucu.

***

Alun-Alun Kidul, 2013.

Untuk pertama kalinya sejak lulus SMA, kami memutuskan main ke Jogja. Aku sudah lama tidak 'main pagi' karena waktu itu aku tinggal di Kalasan yang dengan jarak segitu kayaknya nggak memungkinkan aku untuk main sampai pagi. But that time, teman-temanku anak tongkrongan Kopimiring yang kalau pulang main berani bertaruh dengan begal di wilayah Pamularsih, sedang di Jogja. Kami pun merencanakan banyak hal termasuk menyewa sebuah penginapan yang nanti akan menyelamatkan kami setelah teler main semalaman.

Aku lupa bagaimana kejadian persisnya, tapi singkat cerita, kami kemalingan. Atau lebih tepatnya kami terkena tindak kejahatan hasil kongkalikong orang-orang yang ada di Alun-Alun Kidul pukul 2 dini hari.

Sebuah tas kamera hilang.

***

Bagi kami semua, khususnya aku sih kayaknya karena di antara mereka cuma aku yang kuliah di Jogja, kejadian di Alkid itu cukup traumatis. Bukan cuma karena kerugian materiil, tapi juga rasa percayaku akan orang Jogja yang cukup baik, hilang sudah ketika kejadian tersebut. Ceritanya cukup rumit untuk diceritakan bagaimana usaha kami menemukan tas itu kembali, tapi intinya adalah.. orang Jogja nggak sebaik itu juga, apalagi orang-orang yang bertahan di Alkid sampai pukul 2 pagi.

Mereka nggak sebaik itu terhadap kalian mahasiswa-mahasiswa luar kota brengsek yang menjajah warga lokal dengan standar hidup kalian yang selalu bilang "Jogja apa-apa murah banget" ketika UMR Jogja bahkan cuma sekitar 1,5 juta. Kalian memang patut dibinasakan.

Singkat cerita, dari sekian banyak trauma yang kualami aku belajar beberapa hal:

  1. Jangan bohong sama orang tua kalau kamu mau main sampai pagi karena kebohongan akan membawa kesialan yang nggak terbayarkan.
  2. Jangan beli kamera sebelum gajimu dua digit dan ada fase hidup baru yang worth it untuk diabadikan karena apapun yang berkaitan dengan kamera itu mahal bajengaaan, bahkan tutup lensanya!
  3. Sayangi tablet yang alhamdulillah ditempatin di tas terpisah. Dia jadi satu-satunya yang nggak ilang hikss.
Dan begitu kira-kira kenapa menurutku ketika akhirnya di tahun 2019 aku menggunakan tablet ini kembali, rasanya ada begitu banyak ingatan yang memaksa ruang-ruang kosong di kepalaku untuk muncul lagi seperti film dokumenter yang diputar.

Aku ternyata pernah sangat rajin kuliah.
Paling nggak itu kelihatan dari berbagai slides, ebook, jurnal, dan catatan-catatan kuliah yang tersimpan rapi di tabletku. Aku lalu ingat di awal-awal masa perkuliahanku, aku memang lebih sering menggunakan tablet ini daripada laptop karena subhanallah laptopku bikin nangis kalau mau diingat-ingat performanya kayak apa.

Hal kedua terbanyak adalah perihal ke-Balairung-an.

Yasssh. I was the leader of open recruitment for the biggest Indonesian-made student press in the earth--pada waktu itu. Dan entah kenapa aku menyimpan banyak sekali dokumentasi soal B21; foto, tulisan, dokumen-dokumen penting macam surat-surat ke rektorat.

Sisanya adalah foto kepanitian di kampus pas awal-awal jadi maba rajin ngevent, foto SMA, foto SMA, dan foto SMA lagi.

***

Dari sekian banyak hal yang kutemukan, aku belajar sesuatu tentang memori bahwa melalui ingatan--hal-hal yang membawamu pada kenangan di mana segala hal yang terjadi pada waktu itu tidak kuketahui apa yang terjadi setelahnya-- aku tahu bahwa ternyata tidak semua hal berjalan sesuai rencana dan harapan-harapan kita.

Misalnya saja soal B21. Ternyata nggak lama setelah aku menjadi ketua rekrutmen, yang sejujurnya adalah posisi paling bergengsi dan strategis untuk mendapatkan jabatan struktural di Balairung, justru menjadi titik balik untuk aku muak dan akhirnya pergi dari B21.

Aku juga mengingat banyak rencana yang kutulis seperti kuliah S2 untuk belajar psikologi di Belanda, atau menjadi psikolog, atau aku.. bersama dengan seseorang yang aku tahu sekarang itu semua cuma jadi bagian dari ingatan-ingatan di masa lalu yang tidak relevan, dan masih banyak lagi.

Aku barangkali mengingat terlalu banyak dari hal-hal yang kusimpan ini, entah kenapa. Beberapa dari mereka terasa menyakitkan, namun jauh lebih banyak yang akhirnya membawaku pada sikap bersyukur atas semua hal yang telah terlewati. Bahkan dari perasaan paling sakit hati sekalipun.

***

Ternyata ada banyak hal di luar prediksi kita yang terjadi dengan begitu saja dan tidak terencana. Misalnya sebuah pertemuan di sebuah acara di University Club yang berujung dengan relasi-entah-apa-ini-namanya-but-it-works-for-more-than-two-years.

Jika aku boleh bilang dengan sangat jujur, aku bahkan nggak pernah berpikir ceritaku akan seperti ini.

***

"Ini kamu cuy?"
"Iya cuy. Wkwk anjir bisa gitu ya bentukannya."
"Ini jaman kapan cuy?"
"Hmm SMA kayaknya, atau maba ya."
"Wagelaseh ini."

Untuk beberapa hari setelah akhirnya aku berhasil menghidupkan tablet tersebut dan mengupdate softwarenya agar paling tidak versi Jelly Bean ini bisa lebih 'normal' untuk dipakai, anak-anak Core Squad mungkin cukup terganggu dengan aku yang tiba-tiba ketawa sendiri atau cerita ngelantur.

But, well.. the show must go on. Setelah puas membaca, melihat, dan mengingat banyak hal, aku akhirnya harus menghapus sebagian besar dokumen di tablet itu untuk membantu meringankan beban kerja RAMnya yang seuprit agar tetap bisa dipakai nonton Netflix dan YouTube dengan normal.

Aku memutuskan untuk tidak memindahkannya ke Drive, selain karena emailku sekarang sudah sampai di edisi keempat, ternyata hal-hal ini memang waktunya untuk dihapus karena sudah tidak relevan.

Seperti tabletku, berbagai ingatan yang melekat di dalamnya juga akhirnya harus diupdate dengan peristiwa-peristiwa baru yang lebih relevan; lewat foto-foto, tulisan, atau apapun itu.

Tidak semua orang yang kutemui dan menjadi 'teman' ketika aku menggunakan tablet itu di tahun 2013an, sekarang masih ngomong sama aku apalagi menyadari bahwa kita masih 'teman' satu sama lain. Sebaliknya, ada orang-orang yang baru kutemui dalam 2 atau 3 tahun belakangan ini, justru menjadi support system yang menyenangkan setelah melalui proses seleksi ketat sebagai seorang dewasa yang membangun lingkaran pertemanan yang sempit dan selektif.

Karena, in the end, aku baru sadar, aku nggak perlu sekian banyak orang ataupun ingatan yang memenuhi hidupku yang sudah cukup suntuk ini. Aku cuma butuh sedikit yang berkualitas untuk memastikan, sebagai seorang yang sebentar lagi 24 tahun, aku sudah berada di tempat yang tepat, tempat yang seharusnya.