Di Bali dan Bangkok pada Suatu Hari

source: unsplash.com

Di Bali, Setahun Setelah Hari Itu

Tadinya aku berpikir kedatanganku ke tempat ini akan disambut sedikit meriah. Bukan oleh siapa-siapa, cukup kenangan dan hal-hal lain yang tidak menyedihkan.

Paling tidak di kepalaku, ada beberapa hal yang mati-matian kuingat: adegan kesurupan di dalam mobil yang membawa rombongan, pesanan fast food pukul dua pagi, teman lelakimu yang ngotot merebus air untuk menghabiskan sisa gas di villa sebelum kita pindah tempat menginap, juga villa itu.. yang kita sewa di tengah hutan. Ah, apa namanya? Shit. Aku lupa bagian itu. Tapi sisanya aku hampir ingat semuanya.

Hari itu di ujung tempat tidurku, kamu menarik-narik selimut mencoba membangunkanku yang rasanya sudah tidak kuat membuka mata. “Ih ayo bangun. Apa gunanya sampai sini kalau cuma tidur?” ujarmu setengah berteriak. Tapi semakin kamu berteriak-teriak, aku semakin menggulung tubuhku di balik selimut.

“Ya kan tadi udah seharian bangun. Ini waktunya tidur. Udah lewat dini hari juga," kataku. Jujur aku tidak pernah paham energi apa yang kalian miliki untuk selalu aktif 24 jam. Kalaupun tidak bergerak, mulut kalian terus bergerak, bicara apa saja, menertawakan apapun.

“Nggak seru.”

“Udah tidur aja, Han. Mau sini?” Aku menawarkan tempat di sisiku tapi kamu malah melemparkan bantal karena kesal. Aku tersenyum sebelum akhirnya benar-benar pulas malam itu.

Sebenarnya sejak hari itu aku bertekad suatu hari nanti kita akan kembali ke sini berdua saja. Kita akan punya waktu lebih banyak berpelukan di kamar yang cantik ini sambil mendengarkan lagu-lagu indie kesukaanmu, lalu terlelap dalam dekapan satu sama lain. Terserah kamu mau bicara apa, aku akan selalu di sebelahmu untuk berkomentar seperlunya, mengangguk atau tertawa kadang-kadang.

Tentu semuanya kupikirkan jauh sebelum banyak hal terjadi pada kita —mengacaukan rencana yang telah kususun rapi dan matang— di kemudian hari.

Hhh.

Seandainya kamu —atau aku— sedikit lebih sabar, mungkin ceritanya tidak akan begini. Aku tidak tahu perasaan apa yang mengikatmu hingga sedemikian kamu ingin berontak. Bisa jadi kita berubah. Bisa jadi kamu. Bisa jadi aku.

“Sunscreen huh?”

Lamunanku pecah mendengar suara perempuan di depanku. Dengan tergagap aku menerima uluran botol kecil dari tangan perempuan itu. Sial. Bahkan pada adegan sepersekian menit ini, aku bisa ingat bagaimana kamu dulu selalu konsisten memaksaku menggunakan sunscreen setiap kali kita ke pantai.

“Bukan masalahnya hitamnya duh! Katanya pinter masa urusan kesehatan kulit aja mesti dijelaskan,” katamu.

“Iyaaaa. Pakein,” kataku sambil mengulurkan kedua tangan. Meski sedikit kesal, kamu toh masih sabar mengaplikasikan cairan lengket itu di kulitku. Selalu begitu sepanjang ingatanku mampu merekam bagaimana setelahnya kamu akan mengutuki air laut yang merusak rambut serta kulitmu.

Ada terlalu banyak hal yang bisa kuingat, seakan setiap butiran pasir di hamparan pantai ini menyimpan semua fragmen dan memori tentang apa saja yang pernah terjadi di antara kita —hal-hal yang membuatku gusar, sekaligus kadang sedih. Sebab sejauh apapun ingatanku mampu mengumpulkan semua kenangan yang pernah terjadi, waktu menghadapkanku pada kenyataan di saat ini ketika hal itu semua sebatas masa lalu dalam ingatanku.

Sungguh aku masih selalu berharap waktu akan mengulang banyak hal yang telah terjadi sembari memberiku kesempatan dan ruang-ruang untuk menurunkan sedikit saja ego sebagai laki-laki.

Di Bangkok, Tiga Tahun Setelah Hari Itu

Perjalanan pertamaku bulan ini dan entah kekuatan apa yang membuatku memutuskan pilihanku jatuh pada tempat ini. Sekuat tenaga aku menghalau apa yang telah terjadi pada kita sangat mempengaruhiku dalam mengambil keputusan, tetapi rasanya sia-sia.

Aku sedih, Han. Untuk pertama kalinya aku mengakui perasaan yang merundungku berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun ini.

Di Bangkok tidak ada yang spesial seperti yang selalu kamu katakan padaku setiap kali kita merencanakan bepergian ke sana. “Negaranya sama aja kayak di sini. Kenapa tidak sekalian ke Scotland atau Timur Tengah yang vibesnya totally beda?”

“Kamu nggak diizinin ke sana sama aku.”

“Ke mana aja nggak akan diizinin kalau kita cuma berdua.”

“Nggak usah minta izin kalau kamu udah jadi istriku.”

“Yee malu sama TA yang mulai aja belom.”

“Ih memangnya menikah harus menunggu TA-ku kelar gitu?”

“Iyalah. Kan kita mesti lulus dulu, kerja dulu, beres dulu urusannya sama diri-sendiri.”

“Bisa diurus sambil menikah sih itu."

“Nggaaak.”

Aku selalu tertawa melihat ekspresi wajahmu setiap kali kita membahas pernikahan. Rasanya saat itu lucu membayangkan kita sungguhan menikah. Dan lucu juga melihat bagaimana kamu mati-matian menolak setiap kali aku melontarkan ide bahwa sebaiknya kita menikah saja.

Aku sama sekali tidak berpikir bahwa hal-hal yang sedemikian lucu waktu itu, ternyata berubah menjadi momok yang menerorku. Apakah memang sejak dulu kamu tidak mencintaiku? Apa memang sejak saat itu, kamu tidak pernah yakin bahwa aku seserius itu ingin menikahimu?

Di Bangkok pikiranku tak tentu arah. Sejak kemarin aku hanya mengitari seisi kota dan mencoba apa saja yang terlihat memberikan rasa pada lidahku. Tapi aku sudah mati rasa, Han. Tidak peduli apakah ini di Bangkok atau di manapun.


Akan berlanjut —jika tidak malas menulisnya.