Senja di Bandung dan Jogjakarta


Ketika terbangun, aku merasa ada sesuatu dari dalam kepalaku yang baru saja dibongkar. Pelan-pelan. Sesuatu itu berputar. Memaksaku menyaksikan cuplikan-cuplikan kisah. Mengoyak ingatanku akan suatu hal di masa lalu. Sesuatu yang seharusnya sudah selesai bertahun silam. Sesuatu yang seharusnya tidak menghantuiku, bahkan sampai ke alam pikiran.

Aku menghela napas panjang. Mengapa potongan itu muncul kembali jadi bunga tidurku? Kukira, aku sudah lupa. Tapi ternyata, pikiranku belum mau lupa. Ada sesuatu dari bagian Id-ku yang menyimpan memori-memori itu. Ia seperti kenangan. Tak mampu menembus lapisan Ego, fragmen itu cukup datang lewat mimpi. Tapi sungguh mimpi yang menghantui. Mimpi yang tiba-tiba saja mengingatkanku akan sesuatu.

"Halo?"

***

Sebagai seorang yang sudah berumur 17 tahun, seharusnya aku mulai paham tidak semua orang itu jujur. Pembohong pasti ada dan berkeliaran di sekitarku. Hanya saja, aku tidak menyangka satu dari pembohong itu justru adalah orang yang sangat aku percayai. Yang padanya, aku mempercayakan banyak hal. Yang olehnya, aku diajari, bahwa orang baik tidak mungkin ingkar janji.

Hari sudah malam. Aku duduk di peron stasiun sendirian. Temanku memutuskan pulang, karena menunggu baginya adalah pekerjaan membosankan. Ah, iya, menunggu memang membosankan. Terlebih, menunggu dalam ketidakpastian.

Aku tak tahan melihat senja
Kututup daun pintu supaya tak tembus sinarnya
Saat paling baik adalah berada di kapal terbang 
yang menuju ke timur atau
sedang berada di kereta api sehingga
senja lekas terlewati.

Senja mengingatkan aku kepada perpisahan
yang diulur-ulur
dan kepada keraguan antara
kehadiran dan kemusnahan

Mengapa tidak sekaligus mati sehingga
orang tidak sempat meneteskan air mata
Aku terus menghindari senja
Senja yang membawa sedih selalu


Seharusnya senja tadi dia sudah muncul. Tapi hingga kereta terakhir datang, aku tak juga menjumpai batang hidungnya. Ia yang katanya orang baik dan menepati janji itu, kali ini ingkar. Bukan itu saja, setelah itu ia menghilang. Tanpa jejak. Seperti lenyap tertelan bumi. Sialnya aku masih menyimpan banyak sekali pertanyaan yang seharusnya ia jawab. Maka ia seperti banyak pemicu masalah-masalah pelik di sekelilingku; ketidaktuntasan. Atau bahkan tidak ada yang tidak tuntas? Sebab dimulai saja belum.

***

"Aku sekarang di Bandung loh. Padahal kamu to, yang menunggu kabar dari Bandung? Kenapa akhirnya malah ke Jogja? Jogja kan cerita lama.."

"Emm.. enggak tahu kenapa, aku masih selalu merasa yang aku cari ada di Jogja."

"Tapi nggak ada, kan? Kamu bisa mati penasaran loh."

"Kita lucu ya!"

"Kenapa?"

"Kamu menunggu kabar dari Jogja, tapi malah ke Bandung. Aku yang menunggu kabar dari Bandung, malah ke Jogja. Hahaha! Ayolah ke Jogja aja."

"Ada sesuatu yang dikangenin sih dari Jogja. Tapi ya gitu, keenggananku sama sepertimu yang enggan ke sini."

"Kita bicara kayak gini seolah Jogja-Bandung itu sejauh Jogja-Amsterdam! Hahahaha."

"Padahal kita cukup ke stasiun kereta dan memesan tiket ke sana."

"Atau sebenarnya ini cuma ambisi-ambisi kita yang tidak tuntas. Sementara, pikiran rasional kita menahan untuk melakukannya."

"Tapi kita perlu ketemu untuk sekadar jalan-jalan."

"Ayo, ke mana?"

"Semarang aja. Pulang."