|
The Melancholy-Choleric
|
Ketika menonton ulang film Gie, tiba-tiba saya terpikir tentang sebuah pertanyaan mendasar mengapa ada orang yang secara natural ingin selalu melawan. Padahal jika dipikir-pikir, hidupnya mungkin nggak lebih susah dari banyak orang lainnya --yang toh lebih memilih untuk fine-fine aja daripada harus ribut.
Beberapa orang memilih untuk damai, tidak suka ribut, tidak suka berkelahi, menerima banyak hal dengan mengupayakan sebaik-baiknya; meski kadang hal tersebut pahit.
"Nggak bisa," ujar saya suatu hari pada pacar. "Kamu terlalu lame. Masa nggak pernah berantem sama orang sih?"
Dalam benak saya, entah kenapa saya nggak terima aja mengetahui fakta bahwa pacar saya setenang itu. Dia tidak suka keributan, tidak suka membuat masalah, bahkan sejak kecil. "Ya buat apa?" katanya.
Saya sebenarnya juga tidak paham buat apa. Sejak kecil rasanya saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk menantang dan menentang orang lain. Waktu SD saya pernah memukuli seorang kawan lelaki saya dengan gagang sapu karena menaruh tempat sampah di kepala saya. Saya marah habis-habisan mengetahui pekerjaan ujian saya dijadikan 'bahan contekan' untuk teman-teman saya yang bodoh ketika ujian SD.
Saya ribut dengan pembimbing OSN ketika SMP karena saya keluar dari program bimbingan dan memilih menulis naskah drama untuk pentas kelas. Saya menentang orang tua yang memaksa saya ikut program 'olimpiade' ketika SMA. Saya menentang guru SMA yang memaksa saya menggunakan jilbab putih untuk seragam OSIS sampai akhirnya diseret ke ruang kepala sekolah dan dipaksa membuat surat pernyataan. Saya menantang dosen dengan ekspresi datar ketika diancam diberi nilai C. Saya menantang pegawai akademik dengan nekat 'cabut' satu semester dari kampus tanpa status cuti, dan masih banyak lagi.
Ternyata seumur hidup, saya jarang sekali hidup baik-baik saja tanpa masalah --yang ternyata setelah saya pikir-pikir diakibatkan karena ulah saya sendiri yang selalu ingin melawan.
"Menurutku, aku cuma membela diri," ujar saya suatu hari.
***
Sebagai seorang lulusan psikologi, jika ada satu hal yang membuat saya selalu merasa gagal --selain gagal cumlaude, adalah juga gagal memahami diri sendiri.
Ada waktu di mana sepertinya saya adalah seorang sanguinis. Saya banyak teman dan disukai oleh society. Saya anak yang pintar, langganan juara 1, siswa teladan dengan segudang prestasi dari mulai lomba mengaji sampai cerdas-cermat.
Lalu tiba di mana suatu hari semua perkataan saya menjadi salah. Saya menjadi [tanpa sadar] melukai banyak orang dan berbondong-bondong setelah itu, mereka berkonsolidasi untuk membenci dan menjatuhkan saya. Bahkan ucapan untuk "jangan wudhu di sini" menjadi salah. Katanya, "Masa mau wudhu aja lho nggak boleh."
"Bukan nggak boleh, di sana airnya sedang mati. Kami semua perlu air untuk mandi dan lain-lain, kamu bisa ambil wudhu di tempat lain," jawab saya, tapi hanya dalam hati. Sebab pada orang yang sudah benci dan sakit hati, apa gunanya semua ucapan dan pembelaan? Toh di mata mereka saya akan tetap salah.
Sejak itu saya merasa saya tidak perlu memaksa orang menyukai saya. Kalau mereka tidak suka pada saya, saya tidak rugi. Pun jika mereka menyukai saya, tidak ada untungnya buat saya.
Saya menjadi sangat selektif dengan pertemanan, atau memilih menjadi lapisan demi lapisan untuk setiap orang yang saya temui. Ada orang yang mendapat bagian terluar dari diri saya, ada yang mendapat selapis lebih dalam, ada yang benar-benar sampai di inti --beberapa, dan kini bisa dihitung jari.
Awalnya saya pikir fase itu hanya sementara, namanya juga remaja. Tapi siapa sangka itu bertahan.. hingga kini dan sepertinya menjadi bagian dari personality saya sekarang --yang saya juga nggak ngerti harus gimana.
"Lu tipe C banget sih."
"Menurut gue lebih tipe D."
"Menurut gue dua-duanya."
***
The Melancholy-Choleric combination is driven by two temperament needs. The primary temperament need is to do things right. The secondary need is to get results. Either need may dominate behavior depending on the situation.
When the Melancholy and the Choleric natural tendencies are combined, it produces a detail-oriented person who pushes to get results. They have a strong drive to tell others what they know, and what to do. This combination naturally likes to teach or train others what they know.
The Melancholy-Choleric is a systematic and precise thinker. They follow self-imposed, strict procedures in both their business and personal lives. The Melancholy-Choleric has a firm, serious expressions, and they rarely smile.
They not only want to do things right and get results, they strive to figure out what is right. The Melancholy-Choleric is, therefore, more pushy and blunt than the other Melancholy combinations. They can be abrasive and offensive when communicating with others. The Melancholy-Choleric is attentive to details and push to have things done correctly according to their standards. They have high standards for themselves and others. They can be a perfectionist about some things. They will resist change until the reasons are explained, defended, and accepted.
They are sensitive and conscientious. They can behave in a diplomatic manner, except when it comes to deviating from their standards. The Melancholy-Choleric can be too forceful in insisting the right way (or their way) be followed.
They are not socially active, preferring work and privacy to being with people. The Melancholy-Choleric may have some difficulty in relationships because they are not flexible, and they have a brief, direct, sometimes blunt manner of communication.
The Melancholy-Choleric tends to make decisions slowly because of their need to collect and analyze information (several times) until they are sure of the right and best course of action. The Melancholy-Choleric is not a frequently found combination.