Dari Mana Datangnya Asmara? — Pertanyaan Kedua


Seperti Sukab, aku potong dini hari ini seukuran kartu pos. Tentu agar kamu melihatnya sendiri tanpa aku harus susah-susah bercerita.




Di Jakarta udara lembab dan sedikit anyir. Tidak ada darah, hanya anyir yang aneh dan menusuk hidung. Dari kejauhan, kulihat geliat orang-orang di balik kaca-kaca jendela apartemen. Sebagian dari mereka bangun untuk bekerja, sebagian lagi bangun dari bekerja. Jakarta memuat banyak hal yang sebelumnya tidak kupahami sebagai realitas. Sebab sebagai anak yang tumbuh dengan sangat normal dan baik-baik saja, aku tidak pernah diajari hal-hal begini.

Di benakku banyak hal asing dari Jakarta yang mengakrabiku baru-baru ini. Banyak hal seperti cerita-cerita tidak tuntas dan banyak episode random perihal ingatan tentang kota yang pernah kusinggahi.

Oh, sejak kemarin aku meringkuk di kamarku yang berantakan. Kutanyai satu-satu; bantal, perabot keramik, selimut tempatku bergulung-gulung, “Dari mana? Dari mana datangnya asmara?”

Tapi seperti semua benda mati, mereka diam.


Bagiku, kamu adalah seorang flâneur.

Berapa kali aku sudah mengatakan itu di depanmu? Aku lupa.

Dulu di abad ke-16, flâneur menunjukkan sebuah kebiasaan orang-orang yang gemar menyusuri jalan. Mereka menikmati udara senja atau pucuk bunga yang mulai merekah di musim panas. Kata ini berkonotasi dengan aktivitas untuk kaum aristokrat yang kebanyakan waktu — nyelo macam orang-orang kaya penuh privilege yang kerap kita nyinyiri di percakapan kita akhir-akhir ini.

Namun, belakangan, kata ini menjadi ambivalen. Ada campuran arti antara cita rasa orang yang melakukan perjalanan untuk memenuhi keingintahuan dan keinginan mempelajari budaya setempat. Hal ini pun kemudian memberikan penafsiran dan makna yang sama sekali berbeda ketika dulu flâneur diartikan sebagai pengelana yang berjalan ke mana saja dan tanpa tujuan. Menyaksikan flâneur seperti melihat gambaran bergerak dari sebuah kehidupan urban.

Perihal ini aku paling suka pandangan Charles Baudelaire. Katanya, bahwa keramaian dalam perjalanan adalah rumah bagi flâneur; seperti ikan dengan airnya. Kegairahan dan pekerjaannya melebur menjadi satu di dalam keramaian.

Seorang flâneur akan terus mencari, dan membangun rumah di dalam aliran dan gerakan perpindahan. Dia merasa telah meninggalkan rumah, tetapi berhasil membangun sebuah rumah di dalam perjalanannya.

Kau adalah seorang flâneur. Dan kau, menolak untuk berumah pada apapun yang kau singgahi hingga hari ini.


Bertahun lalu ketika kau pertama kali menyapaku, bagiku hari itu sangat ganjil. Mengapa Tuhan membuat garis waktu kita bertemu?

Aku perempuan patah hati yang mencari jawaban melalui mimpi. Kamu pengelana yang kehilangan arah dan tidak punya tujuan pun jalan kembali.

Aku tidak ingat apapun selain penolakan, aroma kopi, kepulan asap dari rokok yang kau hisap dengan frustasi atau sesekali tenggakan bir dari dua orang yang sama-sama patah hati.

“Aku tidak mencarimu,” katamu berulang kali.

“Aku juga tidak mau bertemu denganmu.”

Aku kekeuh. Meski di dalam hati aku punya sebuah rahasia kecil yang diam-diam mengantarku pada penyesalan. Sungguh aku memang mencari sesuatu selama ini, dan salahku adalah tidak pernah mempertegas apa yang sesungguhnya aku cari.

Maka ketika akhirnya pencarianku justru bermuara pada dipertemukannya dua orang patah hati ini pada suatu konflik yang chaos, aku cuma menggumam, “Ya Tuhan, aku koreksi, boleh?”


Kau tertawa setiap kali kubilang betapa tidak serasinya kita. Kita adalah dua polar yang saling bertolak belakang namun celakanya, tidak bisa menolak satu sama lain; seperti magnet kutub utara dengan kutub selatan.

Pada hari-hari yang ganjil ketika aku kerap menyesal sekaligus bersyukur pada satu waktu, aku hanya tahu, kita tidak mungkin bertemu untuk sebuah kejanggalan. Pasti ada sesuatu yang mau Ia ceritakan. Pasti ada sesuatu yang mau Ia sentuh dari kisah rumit kita yang bahkan hingga hari ini masih sulit kucerna.

Maka berjalanlah waktu dan episode demi episode akhirnya kita lewati — meski dengan babak-belur.


“Seorang flâneur tidak berumah, kamu tahu, kan?” tanyaku lagi.

“Aku bukan flâneur,” katamu.

“Kalau iya?”

“Kalau iya, aku tidak di sini,” ujarmu lagi, lalu mengecup bibirku. Di lantai sebelas apartemen ini aku kembali mengakrabi aroma tubuh yang dalam dua tahun belakangan ini kucoba untuk lupakan. Barangkali ini keputusan yang berat. Sebab setelah hari ini, aku, kami, tidak akan ke mana-mana lagi.

Laki-laki itu kekeuh tidak mau pergi. Sekali lagi, kedatangannya sangat ganjil sebab ia begitu saja ada dan tiba-tiba.

I’ve been wandering but now I know I’m home
Kata orang, mencintai berarti membersamai untuk apapun yang terjadi di antara mereka. Hidup bersama adalah tentang memiliki tujuan-tujuan serupa. Bertahun-tahun kucari tujuan itu, namun tak juga kutemukan apa. Pertanyaanku masih selalu sama, “Dari mana datangnya asmara?”

Love is talked about frequently, but it’s so hard to define.