Tentang Sekolah Lagi dan Menjadi 'Master'

Seperti halnya semua mahasiswa Psikologi UGM, aku pernah punya cita-cita untuk langsung menempuh pendidikan master segera setelah lulus. Tahun 2018, aku menargetkan ke Belanda atau ke Inggris untuk mengambil master di bidang humanities atau studi psikologi sosial lainnya. Tapi serapi-rapinya matematika kita, tetep tidak akan bisa memprediksi matematika Tuhan yang luar biasa.

Di tengah-tengah proses kuliahku yang tadinya baik-baik aja, muncul masalah keluarga yang membuatku terlihat sangat egois kalau mau kekeuh untuk sekolah lagi segera setelah lulus. Pada waktu itu aku bahkan hanya berpikir studiku harus segera selesai, aku bisa punya uang sendiri, bertahan hidup sendiri, dan lain-lain --beberapa hal yang membawaku pada keputusan kerja bahkan sebelum aku lulus.


Pada akhirnya aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk bekerja lebih awal pada saat itu. Aku mengubah "road map" dari semua hal yang kususun dengan baik ketika pertama kali aku masuk UGM. Sobat PPSMB pasti paham kan, tentang peta hidup 20 tahun ke depan yang diminta katingmu buat bikin waktu kamu OSPEK? WKWK. Aku juga punya.

Terlalu banyak yang berubah dalam tahun-tahun perkuliahan. Sesuatu yang kini kupahami sebagai dinamika kehidupan mahasiswa. Pada akhirnya kuliah S1 itu adalah sebuah "jeda" untuk berpikir dan menyusun kembali tujuan hidup. Hence, kamu perlu dukungan environment yang tepat agar kamu tidak keliru, atau paling tidak, nggak bingung ketika lulus.

Kembali pada tujuan sekolah lagi.

Biar aku jelaskan bahwa sebagai mantan 'inteleque' muda penghuni B21, aku sangat mengagumi isi pikiran seseorang. Aku melihat senior-seniorku menempuh studi dan menulis dengan sangat berkelas dan heroik. Logikanya tersusun rapi, cerdas, dan aduh pokoknya keren lah.

Jauh dalam pikiranku, ada sebuah ekspektasi yang 'lebih' pada mereka yang bergelar master. Because ya.. they are 'master' kan ya?

Dalam pikiran naifku, bergelar master akan sedikit mengubah perspektifku tentang suatu hal yang selama ini kupahami secara general. Katakanlah aku yang sekarang S.Psi, aku menyukai psikologi sosial, aku menyukai studi gender dan isu-isu seputar perempuan. Mungkin ketika aku studi master soal ini, aku akan sangat 'ndakik-ndakik' bicara ihwal topik tersebut. Bisa karena aku ketemu profesor-profesor baru, buku-buku baru, jurnal-jurnal baru, yang selama ini masih terbatas sebab yeah.. I'm just undergraduate gituh. Otomatis, dengan segala upgrading 'master' tersebut, segala hal yang kumiliki saat ini juga ikut terupgrade; cara berpikir, cara bekerja, kehidupan profesional, gaji?

Tadinya aku berpikir begitu.

"Kau tahu, studi master tidak seistimewa itu. Kalau tidak percaya, tinggallah dan bekerja di Jakarta."
Bagi orang-orang sepertiku, pendidikan adalah privilege. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan sekolah yang bagus. Karenanya, orang-orang sepertiku memiliki ekspektasi yang lebih pada mereka yang sekolah lebih tinggi.

Namun, di Jakarta tidak begitu. Di sini banyak orang hidup dengan privilege sejak lahir. Jangankan buat sekolah sampe dapat gelar master ah elaaah, ibaratnya mereka pilek aja bisa kliniknya di Singapore gituh. Sejak kecil, orang-orang yang hidup dengan privilege mendapatkan banyak kemudahan dalam hidupnya, termasuk soal studi. Namun, dari sini, value dari menjadi seorang master itu tiba-tiba tergerus.

Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi kayaknya performa kerjanya B aja, banyak.
Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi logikanya kacau balau, banyak.
Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi goblok setengah mati, ya ada.

Simply because bagi mereka master ya adalah cuma master. Mau yang dalam negeri, luar negeri, banyak. Makanya ketika di Jakarta, aku lebih suka untuk menanyakan sesuatu dengan lebih detail. Misalnya, si A lulusan luar negeri. Luar negeri mana? Lebih jauh, kampusnya apa? Studi apa di sana? Atau kalau kepo banget aku akan nanya dulu tesisnya apa dan bagaimana metode penelitiannya.

Ada loh orang bergelar master degree dari salah satu universitas di Inggris yang tesisnya pakai metodologi yang bahkan di kampusku S1 ngajuin kayak gitu, buat beberapa dosen yang high level, mereka nggak ngebolehin karena terlalu sederhana dan datanya rawan bias. Ya jangan lah berekspektasi untuk mendapatkan analisis yang mendalam atau publikasi yang ciamik di jurnal internasional, lah level lulusnya aja sebatas yang-penting-lulus gitu.

So, it's not about the degree. Instead, it's all about yourself as an individual.

Aku belajar satu hal yang sangat mahal dari pertemuanku dengan 'orang-orang bergelar master' ini: sebelum sekolah lagi, tetapkan tujuan yang jelas mengapa mau sekolah lagi.

Gaesss. Studi master bukan karena kamu lulus S1 dan jobless berbulan-bulan lalu karena tertekan sama society kamu memilih sekolah lagi. Bukan juga karena kamu kerja tapi kok kayaknya B aja trus berharap dengan sekolah lagi akan membuat kariermu membaik. No, no, no.

"Jadi, lu nggak mau ambil master?" tanya seseorang akhirnya.
"Ya maulah pasti. Gila lu gamau haha. Tapi.."
"Tapi?"
"Tapi ada perhitungannya. Because I am on the right track being professional."

Yeah, I am a junior manager right now and my professional career is still growing. Melihat perhitungan pekerjaanku saat ini, naif kalau aku bilang aku akan melakukan apapun untuk mendapat gelar master.

"Eventho dapet beasiswa?"
"Iya. Unless itu beasiswa dari kantor mungkin, ya. Yang terus abis selesai sekolah gue dapet promosi jabatan gitu ya masuk sih itung-itungannya."
"Hmm ya juga ya."
"Iyalah. Kalau udah capek-capek kuliah, bayar mahal, tapi ujung-ujungnya harus memulai karier dari nol banget ya nyesek dong anjaay. ROI minus."

Return on Investment (ROI) menjadi bahan bercandaan yang paling santer aku dengar di kalangan teman-temanku. Maklum, sobat missqueen kayak kami yang di UGM kuliahnya cukup mengandalkan UKT bersubsidi masih menganggap biaya pendidikan kayak bentuk investasi. Ujung-ujungnya aku (dan mungkin teman-teman sepergaulan missqueenku) nggak menampik kalau tujuan bersekolah tinggi agar kemampuannya tinggi dan kemudian dihargai lebih tinggi.

Somehow aku masih percaya kalau kemampuan berpikir seseorang itu berbanding lurus dengan performa kariernya. Kan nggak lucu juga kalau tukang soto dipaksa jadi seniman mural atau tukang kayu dipaksa menjahit. Semua kemampuan ada porsi dan tempatnya masing-masing.

But again, it's not about the degree. It's about yourself as an individual.

Akhirnya aku percaya bahwa terlepas dari gelar apapun yang dimiliki seseorang, kualitas individu tetap tidak bisa berbohong. Mau nggak ada gelar apapun kalau emang basicnya udah ok ya bakal keliatan ok. Sebaliknya, mau gelarnya sepanjang apapun kalau otaknya B aja ya bakalan B aja dan itu keliatan kok di orang yang sudah dewasa.

"Jadi.. master udah nggak sakral?"
"Masih dong.."
"Lah bentukane 'itu' juga master loh.."

Wqwqwq.

Sekolah lagi masih menjadi keinginanku selain enhancing karier dan menjadi profesional di bidang bisnis digital saat ini. Entah untuk bergelar master, PhD, atau apapun, aku masih mencita-citakan sekolah lagi dan belajar hal baru sebagai sebuah tujuan dan proses sepanjang masa yang harus selalu dikejar dan diupayakan.