"Aku pernah diputusin," kata temanku membuka pembicaraan. Dua orang di depannya menaruh minumannya masing-masing. Tampak wajah kami mulai serius. "Katanya aku perempuan nggak baik," katanya lagi.
"Nggak baik tuh ukurannya apa?" temanku akhirnya tidak tahan untuk tidak membuka mulut.
"Pertanyaan yang sama," jawabku.
"Mungkin karena kamu suka pulang malam," temanku lagi menimpali.
"Like we are doing right now?" tanyanya.
Hahahaha!
Kami serempak tertawa. Mungkin menertawakan dirinya masing-masing. Kisah dengan laki-laki tidak pernah tidak absurd dalam ingatan kami. Setidaknya begitu yang aku tahu sejak pertama kali kami kenal ketika SMA.
Temanku yang pertama.
Aku paham apa yang mencegahnya dari semua hubungan dengan laki-laki yang mencoba mendekat. "Aku suka dengan dia, dan aku mau kita stay kayak gini," ujarnya mantab suatu hari.
Hari itu adalah tahun kesekian ia menjalin relasi entah apa itu namanya, dengan seorang laki-laki yang kami kenal dalam suatu pameran di SMA. Laki-laki yang tidak buruk; ia tampan, terlihat cukup kaya, berasal dari keluarga baik-baik, dan diprediksi memiliki masa depan yang cukup bagus, terlebih setelah ia masuk di sebuah sekolah perminyakan milik salah satu BUMN. Temanku, pada saat itu, amatlah yakin, orang ini pantas untuk ditunggu. Dalam bahasa kami; worth it.
Beberapa kali dalam sebulan ia berkunjung ke kota kami. Kisah-kisah manis terjadi setelahnya. Dinner bersama, nonton film favorit, hal-hal yang aku yakin membuat temanku terjebak untuk tidak ke mana-mana, untuk yakin bahwa lelakinya adalah yang paling tepat. Ditepisnya semua jantan yang mendekat. Ia biarkan masa putih abu-abu hingga semester akhir di kampusnya datar tanpa kisah merah jambu khas remaja.
"Tapi, bukannya selama ini dia tidak menyatakan sesuatu?" kataku sanksi.
"Mungkin dia bukan tipikal lelaki yang mengungkapkan?" temanku masih membelanya dengan senang hati.
Aku senang melihat temanku senang. Tapi bagaimanapun, laki-laki baik tidak membiarkan sesuatu tergantung selama bertahun-tahun. Pada suatu hari di musim hujan, ketika kota kami tengah diguyur hujan yang sangat deras, lelaki itu mengatakan pada temanku bahwa ia tidak ingin berhubungan dengan perempuan dulu sebelum ia siap menikah.
It was like.. What? Lah selama ini kamu ngapain?
Apakah temanku patah hati? Tentu saja. Bayangkan jika mungkin dia selama ini memilih satu aja dari sekian banyak jantan yang mencoba mendekat. Mungkin dia sudah menikah, atau berkeluarga, atau dikenalkan keluarganya dan membina hubungan yang serius, atau apalah. Temanku tadi tidak. Ia tidak ke mana-mana. Hatinya ditawan bertahun-tahun untuk kemudian dibuang. Hancur berkeping-keping.
Yang lebih tidak kami semua pahami adalah tidak lama kemudian laki-laki itu menjalin hubungan dengan perempuan lain. Tentu saja, mereka tidak menikah, karena memang kami semua paham, mereka tidak siap untuk itu.
Laki-laki pertama ini, tidak bisa memegang omongannya sendiri. Seharusnya kemarin-kemarin dia cukup bilang bahwa dia bosan. Itu saja sudah cukup.
***
Temanku kedua.
Aku tidak pernah berpikir bahwa temanku bukanlah perempuan baik-baik. Kami semua perempuan baik-baik, kami tidak melakukan tindakan kriminal, kami tidak menyakiti perasaan orang, dan kami hormat pada orang tua. Aku rasa itu sudah cukup. Jika kemudian lingkungan membuat kami gemar nongkrong hingga larut malam, atau berteman dengan banyak lelaki, aku pikir itu tidak bisa jadi patokan bahwa perempuan ini tidak baik.
Temanku adalah yang terpintar dan kami memprediksikan dia yang akan menjadi terbaik. Lelaki yang dipilih dan memilihnya pun tidak asal. Keduanya sudah bersama-sama sejak SMA, saling bahu-membahu sampai kemudian kuliah, dan sekarang bekerja.
Beberapa waktu sebelum keduanya lulus, semua orang dapat memprediksikan bagaimana masa depan karier keduanya; seorang engineer yang sangat terampil dan strategist hebat untuk berbagai masalah bisnis yang kompleks. Dua orang yang gemar berpikir dan mendebat satu sama lain. Hubungan mereka manis hingga tiba-tiba lelaki itu mengatakan relasi itu harus selesai.
Tidak banyak hal yang dikatakan, namun temanku menyimpulkan ia dinilai kurang baik. Alasan yang sangat tidak logis, dan tentu saja tidak beralasan. Temanku menyangkal, tapi logikanya lebih dahulu jalan. "Relasi itu dibentuk dua orang. Kalau salah satu sudah tidak mau, apapun alasannya, ya sudah," katanya.
Lalu ia selesai. Apakah temanku sakit hati? Tentu saja. Berbulan-bulan ia mengurung diri, melewati hari-harinya yang tidak mudah, berusaha melupakan semua hal yang telah disusunnya berdua. Kini dua langkah itu harus berjalan-jalan sendiri, karena lelakinya tidak mau dengan perempuan yang kurang baik.
Yang lucu setahun berselang dan lelaki itu akhirnya telah memilih perempuannya.
"Ini pacarnya?" kataku.
"Iya."
"Kayak gini aja?"
"Iya."
"Hmm ternyata dia nggak nyari perempuan baik-baik."
"Iya. Dia cuma tidak mau disaingi oleh perempuannya. Dia butuh seseorang yang berada di bawahnya, secara akademis, secara pekerjaan, secara apapun; agar dia merasa lebih superior."
"Bagus lah kamu putus."
***
Bagaimana denganku?
Hahaha. Aku hampir tidak bisa berkata apa-apa selain menertawakan diriku sendiri beberapa waktu ini. Aku perempuan 23 tahun, dan percayalah ini bukan cerita cinta pertamaku. Sebelumnya aku pernah dengan laki-laki yang kuputuskan karena memintaku berhubungan seksual bahkan ketika aku belum berusia 17 tahun. Lalu pernah juga aku dengan laki-laki yang menyudahi relasi kami di tengah jalan karena baginya kami telah memilih jalan yang berbeda.
Apapun alasannya, aku hanya berpikir, aku belum bertemu orang yang tepat. Karenanya ketika aku bertemu sekali lagi dengan laki-laki yang ingin menjalin relasi "serius" denganku, kupikir dialah orang yang tepat.
Aku melihat ada banyak hal yang mesti kami usahakan bersama sebab lelakiku ini memiliki jalan hidup yang tidak mudah. Tadinya, aku berpikir bersamanya berarti menata sesuatu dari dasar, membangun pondasi yang kuat, merintis dari nol, dan berusaha sampai titik darah penghabisan.
Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan. Semuanya berjalanan sangat manis karena lelakiku adalah yang terbaik dalam hal mengusahakan apapun yang saat ini tidak dimilikinya. Bagiku, yang terpenting laki-laki harus memiliki effort. Apa yang saat ini tidak dimilikinya, kelak akan dipunyai, jika mau menaruh effort yang cukup.
Lelakiku adalah yang paling pandai mem-pukpuk perasaan orang dengan segenap janji manis, mengajakku sekuat hati bertahan dalam kondisi-kondisi kami yang buruk, bersamaku di saat senang dan susah, serta mengusahakan semua hal sebisa-bisanya, sebaik-baiknya.
Dulu.
Setahun berselang dan aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kami. Banyak hal yang kami tidak pahami, tetapi lelakiku berubah. Tentu setelah setahun lebih kami bersama, ada banyak hal yang mengubah kami. Kami lebih cerdas, karier kami membaik, kondisi finansial kami membaik, tetapi sikap kami satu sama lain; tidak.
Aku tidak ingin tahu siapa yang salah di antara kami, tetapi yang kulihat lelakiku kehilangan effort. Aku tidak paham apakah baginya "yang segini" sudah cukup, atau seperti lelaki teman pertamaku, ia hanya bosan.
"Itu manusiawi. Orang kan cepat bosan," kata temanku suatu hari, berusaha menengahi dengan bijak.
"Aku tahu. Hanya saja jika kami begini karena bosan, aku tidak berekspektasi cara kami seperti ini untuk menghalau rasa bosan."
Banyak hal terjadi beberapa waktu belakangan ini; semua hal yang aku tidak pernah bayangkan bahwa aku akan benar-benar mengalaminya. Aku jatuh bangun seorang diri, susah-susah sendiri, mati-matian bertahan sendiri juga, namun di situlah aku sungguhan sadar, aku benar-benar kuat ternyata; secara fisik, secara mental. Kelak suatu hari aku pasti akan sangat bangga dengan kekuatanku sendiri --yang ternyata ada.
Setelah melewati itu semua, bagiku kini semuanya sudah jelas. Aku berhadapan dengan dua orang yang berbeda. Lelaki itu bukan yang dulu kukenal atau membersamaiku di saat-saat terburuk, bukan yang pernah sekuat hati mengajakku bertahan, bukan. Tempat ini menjadikan dia sosok yang lain, menjadikan kami benar-benar berbeda. Dan aku, telah bersumpah, bahwa aku tidak akan menjadi perempuan yang mengemis-ngemis afeksi, jadi kukatakan padanya, "Aku tidak akan mengusirmu pergi, tapi aku juga tidak akan mengemis untuk memintamu tetap di sini."
Lebih tragis dari cerita dua orang temanku, kini aku berada di titik antara hitam dan putih yang membuatku tidak bisa ke mana-mana, namun juga tidak punya tempat untuk kembali.
"Menurutmu pilihan dia akan jatuh ke perempuan seperti apa?" tanya temanku.
"Mmm nggak tahu. Yang pasti tidak banyak menuntut," kataku.
"Hwaaaa. Apakah harus perempuan baik-baik???"
"Apakah dia hanya tidak mau pacaran kalau belum siap menikah??"
Hahahaha!
Kami tertawa sekali lagi.
***
Bagaimanapun, Jakarta mendidik kami untuk melupakan sesuatu dengan mudah. Pikirkan saja hal-hal yang konkret dan jelas menurut perhitunganmu. Di Jakarta semua hal yang sangat mudah dihitung; bahkan beberapa kali aku akhirnya mempercayai kasih sayang adalah hubungan timbal-balik. Ketika kamu membuat prioritas akan seseorang, ternyata kamu akan memiliki ekspektasi untuk orang tersebut memperlakukanmu serupa.
Patah hati lama-lama semestinya sudah lewat dari fase kami saat ini, sebab kami perempuan 23 tahun dan kami memilih rasional. Tidak boleh ada banyak waktu yang terbuang untuk sesuatu yang percuma.
Jadi malam ini, kami memutuskan untuk mengubur luka-luka itu tanpa sisa.
"Jadi.. menurutmu kita mesti gimana?"
"Hahahaha! Jangan pulang malem yang penting."
"Tapi tempat ini tutup jam 11."
"Yah. Yaudah pindah yang 24 jam gimana? Biar nggak pulang malem; subuh maksudnya! Hahaha."
"Pengen, tapi masih ada kerjaan."
"Sama!"
"Huhu yaudah kapan-kapan aja."