Semalam di Jakarta


Semalam di Jakarta aku bertemu dengan seseorang.

Jakarta tak pernah sepi. Jakarta selalu bising. Orang-orang sibuk, tak punya waktu untuk sekedar menikmati trotoar-trotar yang becek disapu hujan. Mungkin mereka ditunggu keluarganya di rumah, mungkin juga mereka lapar.

Di halte bus semua orang menunduk. Ada yang berjalan buru-buru, ada yang berbicara dengan orang-entah-siapa melalui telepon genggamnya, ada pula yang hanya sekadar membunuh waktu. Sebab Jakarta di malam hari adalah waktu di mana semua berlalu begitu cepat, sekaligus melambat. Seolah-olah bayang-bayang subuh esok hari tinggal sebentar lagi, sekaligus waktu yang sangat lambat untuk sekadar memastikan mereka sudah sampai rumah.

***

Semalam di Jakarta aku bertemu dengan seseorang. Seseorang yang sepertinya sama sekali tidak kuduga akan kutemui di sini.

"Kamu?" katanya. "Kok bisa ada di sini?"

Aku tidak berkata apa-apa, tapi aku yakin sorot mataku tidak akan berubah meski bertahun-tahun tak pernah melihat wajahnya. Seperti perasaan, mata adalah ekspresi yang paling tidak bisa dimanipulasi.

Lihatlah bunga di sana bersemi
Mekar meski tak sempat kau semai
Dan suatu hari badai menghampiri
Kau cari ke mana, dia masih di sana


Tugu Kunstkring Paleis adalah nama baru yang diberikan pada gedung tua peninggalan Hindia Belanda di masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Frederick Idenburg ini. Dulunya ia bernama Gedung Kunstkring. Diresmikan sejak April 1914, bangunan tua yang sempat tak difungsikan ini, beberapa tahun lalu disulap menjadi sebuah restoran mewah dengan nuansa seni yang sangat tinggi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

"Kok bisa ada di sini?"
"Dibawa oleh semesta."

Perempuan itu tersenyum tulus meski terlintas sebuah kegetiran. Seharusnya dia marah padaku, bukan tersenyum seperti ini.

***

"Jadi, kamu sekarang seniman?"
"Sejak dulu, kamu aja yang nggak tahu."

Aku membatalkan semua rencana kunjunganku ke tempat-tempat yang kurindukan di Jakarta karena pertemuanku dengan perempuan ini.

Pukul 1 dini hari adalah waktu paling romantis menikmati Jakarta, terlebih di Cikini. Kami tidak melihat kemacetan, bising kendaraan, atau polusi yang mengganggu.

"Kamu belum menjawab, kenapa bisa di Jakarta? Kenapa bisa ke Kunstkring?"
"Dibawa oleh semesta."
"Aku serius."
"Aku juga," jawabku sungguh-sungguh. "Aku ke Jakarta untuk urusan bisnis, lalu malam ini aku cuma mau jalan-jalan sebelum balik lagi dengan pesawat besok pagi. Aku nggak tahu kenapa aku ke Kunstkring. Aku cuma mencari tempat yang enak di Menteng, lalu beberapa temanku menyarankan ke sana. And yah, we meet each other."
"Hahaha! It's so weird."
"Aku serius."
"Ya ya, aku tahu."

Kami lalu diam.

"Kenapa aku mau di sini ya? Dengan kamu yang baru beberapa jam lalu kutemui setelah bertahun-tahun aku bahkan tidak tahu kamu masih hidup atau tidak. Hahaha." Dia tertawa meski aku tahu sesekali terdengar nada getir dalam tawanya.

Seharusnya ia memang marah padaku. Seharusnya ia marah pada waktu yang terbuang percuma hanya karena kami saling diam. Bukan. Aku yang diam. Ia pernah bilang. Namun, aku tidak melihat matanya, sehingga aku tidak percaya. Maka kuabaikan pesan-pesannya, kulewatkan kabar-kabarnya begitu saja. Hingga hari ini ketika Jakarta mempertemukan kami kembali dan aku punya kesempatan untuk sekali lagi melihat matanya.

Dengarlah kawan di sana bercerita
Pelan dia berbisik, pelan dia berkata-kata
Dan hari ini takkan kau menangkan
Bila kau tak berani mempertaruhkan

"Aku minta maaf."
"Untuk?"
"Semuanya."
"Dimaafkan sejak lama."

Kami diam lagi.

"Apa ada yang berubah?" tanyaku. Dia tersenyum.
"Tentu saja," katanya. "Aku harus pulang. Terima kasih untuk waktu jalan-jalannya. Have a safe flight tomorrow."

Walau tak semua tanya
Datang beserta jawaban
Dan tak semua harapan terpenuhi
Ketika bicara juga sesulit diam
Utarakan, utarakan, utarakan


***

Fragmen yang ditulis sambil mendengarkan "Utarakan" milik Banda Neira. Sangat direkomendasikan untuk juga mendengarkan sambil membaca.