Ingatan


Aku punya banyak sekali kisah tentang ingatan. Kisah-kisah yang kalau aku ingat-ingat dan ceritakan, kadang-kadang membuat bingung mengapa ada sedemikian banyak hal yang harus disimpan oleh tukang arsip di kepalaku --padahal menurutku itu tidak penting.

Misalnya saja aku masih ingat ketika SD ada seorang teman sekelasku yang aku lupa kenapa tiba-tiba [diam-diam] memukulku dari belakang. Seingatku sebelumnya memang aku bertengkar dan sedikit ribut di kelas, cuma aku pikir yaudah. Dan kenapa dia harus secara diam-diam memukulku? Dari belakang pula. Ohya, dia anak lelaki. Hingga kini aku masih ingat namanya meski aku lupa wajahnya dan aku masih bersumpah kalo suatu hari aku bertatap muka dengannya ingin aku sekali aku bilang sebaiknya dia memotong kemaluannya dan menjadi kasim --meski sepertinya kesempatan ini nggak akan pernah terjadi sih, karena satu-satunya yang kuingat cuma nama panggilan dan nama itu cukup pasaran. Aku lupa rumahnya di mana, siapa orang tuanya, dan aku bahkan lupa dia teman sekelasku di kelas berapa.

Tukang arsip di kepalaku kadang-kadang memang sangat menyebalkan. Pada hal yang aku sangat ingin disimpan, ia justru membakar semua memori itu tidak tersisa, dan pada hal-hal lain yang aku sangat ingin lupakan, diendapkannya potongan-potongan memori itu seperti ketika aku mengingatnya lagi, ada film dokumenter diputar di kepalaku.

Beberapa ingatan sangat mengganggu. Ingatan membuat kita menyalahkan masa lalu. Ingatan membuat kita bersedih atas sesuatu yang sudah terlewat. Ingatan membuat kita lupa pada apa yang sesungguhnya terjadi hari ini.

Namun, bukan tanpa sebab tukang arsip di kepalaku masih menyimpan semua itu. Barangkali melalui potongan-potongan ingatan itu, aku jadi diingatkan untuk selalu berhati-hati --karena semua hal yang buruk dan menyedihkan itu pernah terjadi. Ingatan memberiku kenangan tentang pedihnya kehilangan, sehingga ia menjadi pelajaran untuk lebih menghargai pada apa yang aku miliki pada saat ini.


Hal Kecil

small thing matters

Beberapa waktu lalu aku membuka 'tumpukan' email lama untuk mencari beberapa berkas. Secara tidak sengaja justru aku menemukan beberapa email yang mengawali semua perjalanan karierku hingga saat ini: melamar internship.

"Masa ya aku pernah ditolak intern Ruangguru!" kataku pada Angga.

"Aku juga pernah ditolak jadi Telemarketing di Ruangguru," jawabnya. Hahaha. Sontak aku tertawa. Pasalnya aku nggak ngebayangin gimana bentukan Angga melakukan pekerjaan telemarketing.. untuk Ruangguru pula.

Pada email-email yang lebih baru, aku menemukan surat pengunduran diriku dari kantor yang lama. Kira-kira setahun lalu aku menulisnya untuk manager, mentor, sekaligus teman ngobrol yang menyenangkan di kantor. Ada satu kalimat yang nggak tahu kenapa sangat menyentuhku di saat-saat seperti ini. Bunyinya kurang lebih, "Thank you for creating a climate that makes it a pleasure to work each morning and I think I will miss all of you in the team."

Untuk beberapa menit aku mulai merenungi apa hal-hal yang terjadi sejak hari pertama hingga 2,5 tahun kemudian kuhabiskan di sana.

***

Suatu hari di Jakarta sedang hujan badai. Aku tinggal di Setiabudi dan Angga masih tinggal di Pejaten; meski waktu itu dia udah kerja di Sudirman. Sejak sampai di kamar kosnya dia langsung meneleponku sebagai bagian dari rutinitas, dan nyerocos panjang-lebar tentang perjalanannya pulang kantor yang kurang menyenangkan --naik MRT sampai ke Cipete, tapi lalu nggak ada satupun ojek online yang mau mengambil pesanannya.

"Kenapa nggak naik mobil?"

"Mahal banget, beb!"

"Hmm iya juga sih."

Aku tahu dia sedang kesal, jadi daripada memperpanjang urusan dengan bahasan tukang ojek, aku pun mengalihkan dengan obrolan lain seperti, "Dulu waktu belum ada aku kalo jam segini dan kamu baru pulang gini ngapain?"

"Aku nggak pernah pulang jam segini kan aku belum kerja," jawabnya.

"Oh ya juga ya," kataku. Tapi tiba-tiba aku jadi berpikir soal diriku sendiri. Waktu aku belum punya Angga, kalau jam segini aku ngapain ya?

Sejak dulu aku lebih banyak suwungnya sih memang. Blogging, membaca buku, ngelamun di kedai kopi. Tapi apakah setiap hari? Hmm kenapa aku bisa benar-benar lupa ya.

***

Pada ingatan manusia yang sangat pendek, beberapa hal yang kita lihat kecil akan sangat mudah dilupakan. Manusia mengalami peristiwa, manusia mengingat, manusia mengalami peristiwa baru, lalu manusia melupakan ingatan lama dan menggantinya dengan ingatan baru. Seperti itu kurang lebih ilmu pengetahuan menjelaskan bagaimana otak kita didesain seperti lemari penyimpanan dengan tukang arsip yang bekerja siang-malam tanpa henti untuk memilih dan memilah mana arsip yang penting dan tidak penting untuk disimpan.

Sayangnya pada hampir semua hal kecil, tukang arsip kita selalu mengatakan itu tidak penting. Misalnya pada apa yang terjadi selama puluhan aplikasi internshipku ditolak, mengapa aku tetap kekeuh dan tidak merasa gentar atau sedih? Atau, apa yang terjadi di kantorku dulu, mengapa meski secara bersamaan aku harus bekerja fulltime, kuliah, dan mengerjakan project, aku masih bahagia-bahagia aja? Yang paling bikin aku heran adalah dulu sebelum Angga ada dan karenanya aku jadi punya beberapa rutinitas baru, apa yang biasa aku lakukan?

Kita sering lupa pada suatu hal yang kita pikirkan tidak terlalu penting atau bisa dibilang bukan hal-hal besar. Hal itu membuat kita sering abai pada banyak sekali hal yang mestinya bisa membuat senang, bisa disyukuri, bisa dijadikan sebagai alasan untuk tetap hidup dan merasa hidup kita berarti.


Dua Tipe

The Melancholy-Choleric

Ketika menonton ulang film Gie, tiba-tiba saya terpikir tentang sebuah pertanyaan mendasar mengapa ada orang yang secara natural ingin selalu melawan. Padahal jika dipikir-pikir, hidupnya mungkin nggak lebih susah dari banyak orang lainnya --yang toh lebih memilih untuk fine-fine aja daripada harus ribut.

Beberapa orang memilih untuk damai, tidak suka ribut, tidak suka berkelahi, menerima banyak hal dengan mengupayakan sebaik-baiknya; meski kadang hal tersebut pahit. 

"Nggak bisa," ujar saya suatu hari pada pacar. "Kamu terlalu lame. Masa nggak pernah berantem sama orang sih?"

Dalam benak saya, entah kenapa saya nggak terima aja mengetahui fakta bahwa pacar saya setenang itu. Dia tidak suka keributan, tidak suka membuat masalah, bahkan sejak kecil. "Ya buat apa?" katanya.

Saya sebenarnya juga tidak paham buat apa. Sejak kecil rasanya saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk menantang dan menentang orang lain. Waktu SD saya pernah memukuli seorang kawan lelaki saya dengan gagang sapu karena menaruh tempat sampah di kepala saya. Saya marah habis-habisan mengetahui pekerjaan ujian saya dijadikan 'bahan contekan' untuk teman-teman saya yang bodoh ketika ujian SD. 

Saya ribut dengan pembimbing OSN ketika SMP karena saya keluar dari program bimbingan dan memilih menulis naskah drama untuk pentas kelas. Saya menentang orang tua yang memaksa saya ikut program 'olimpiade' ketika SMA. Saya menentang guru SMA yang memaksa saya menggunakan jilbab putih untuk seragam OSIS sampai akhirnya diseret ke ruang kepala sekolah dan dipaksa membuat surat pernyataan. Saya menantang dosen dengan ekspresi datar ketika diancam diberi nilai C. Saya menantang pegawai akademik dengan nekat 'cabut' satu semester dari kampus tanpa status cuti, dan masih banyak lagi.

Ternyata seumur hidup, saya jarang sekali hidup baik-baik saja tanpa masalah --yang ternyata setelah saya pikir-pikir diakibatkan karena ulah saya sendiri yang selalu ingin melawan.

"Menurutku, aku cuma membela diri," ujar saya suatu hari. 

***

Sebagai seorang lulusan psikologi, jika ada satu hal yang membuat saya selalu merasa gagal --selain gagal cumlaude, adalah juga gagal memahami diri sendiri.

Ada waktu di mana sepertinya saya adalah seorang sanguinis. Saya banyak teman dan disukai oleh society. Saya anak yang pintar, langganan juara 1, siswa teladan dengan segudang prestasi dari mulai lomba mengaji sampai cerdas-cermat.

Lalu tiba di mana suatu hari semua perkataan saya menjadi salah. Saya menjadi [tanpa sadar] melukai banyak orang dan berbondong-bondong setelah itu, mereka berkonsolidasi untuk membenci dan menjatuhkan saya. Bahkan ucapan untuk "jangan wudhu di sini" menjadi salah. Katanya, "Masa mau wudhu aja lho nggak boleh."

"Bukan nggak boleh, di sana airnya sedang mati. Kami semua perlu air untuk mandi dan lain-lain, kamu bisa ambil wudhu di tempat lain," jawab saya, tapi hanya dalam hati. Sebab pada orang yang sudah benci dan sakit hati, apa gunanya semua ucapan dan pembelaan? Toh di mata mereka saya akan tetap salah.

Sejak itu saya merasa saya tidak perlu memaksa orang menyukai saya. Kalau mereka tidak suka pada saya, saya tidak rugi. Pun jika mereka menyukai saya, tidak ada untungnya buat saya.

Saya menjadi sangat selektif dengan pertemanan, atau memilih menjadi lapisan demi lapisan untuk setiap orang yang saya temui. Ada orang yang mendapat bagian terluar dari diri saya, ada yang mendapat selapis lebih dalam, ada yang benar-benar sampai di inti --beberapa, dan kini bisa dihitung jari.

Awalnya saya pikir fase itu hanya sementara, namanya juga remaja. Tapi siapa sangka itu bertahan.. hingga kini dan sepertinya menjadi bagian dari personality saya sekarang --yang saya juga nggak ngerti harus gimana.

"Lu tipe C banget sih."

"Menurut gue lebih tipe D."

"Menurut gue dua-duanya."

***

The Melancholy-Choleric combination is driven by two temperament needs. The primary temperament need is to do things right. The secondary need is to get results. Either need may dominate behavior depending on the situation.

When the Melancholy and the Choleric natural tendencies are combined, it produces a detail-oriented person who pushes to get results. They have a strong drive to tell others what they know, and what to do.  This combination naturally likes to teach or train others what they know.

The Melancholy-Choleric is a systematic and precise thinker. They follow self-imposed, strict procedures in both their business and personal lives. The Melancholy-Choleric has a firm, serious expressions, and they rarely smile.

They not only want to do things right and get results, they strive to figure out what is right. The Melancholy-Choleric is, therefore, more pushy and blunt than the other Melancholy combinations. They can be abrasive and offensive when communicating with others. The Melancholy-Choleric is attentive to details and push to have things done correctly according to their standards. They have high standards for themselves and others. They can be a perfectionist about some things. They will resist change until the reasons are explained, defended, and accepted.

They are sensitive and conscientious. They can behave in a diplomatic manner, except when it comes to deviating from their standards. The Melancholy-Choleric can be too forceful in insisting the right way (or their way) be followed.

They are not socially active, preferring work and privacy to being with people. The Melancholy-Choleric may have some difficulty in relationships because they are not flexible, and they have a brief, direct, sometimes blunt manner of communication.

The Melancholy-Choleric tends to make decisions slowly because of their need to collect and analyze information (several times) until they are sure of the right and best course of action. The Melancholy-Choleric is not a frequently found combination.


Di Bali dan Bangkok pada Suatu Hari

source: unsplash.com

Di Bali, Setahun Setelah Hari Itu

Tadinya aku berpikir kedatanganku ke tempat ini akan disambut sedikit meriah. Bukan oleh siapa-siapa, cukup kenangan dan hal-hal lain yang tidak menyedihkan.

Paling tidak di kepalaku, ada beberapa hal yang mati-matian kuingat: adegan kesurupan di dalam mobil yang membawa rombongan, pesanan fast food pukul dua pagi, teman lelakimu yang ngotot merebus air untuk menghabiskan sisa gas di villa sebelum kita pindah tempat menginap, juga villa itu.. yang kita sewa di tengah hutan. Ah, apa namanya? Shit. Aku lupa bagian itu. Tapi sisanya aku hampir ingat semuanya.

Hari itu di ujung tempat tidurku, kamu menarik-narik selimut mencoba membangunkanku yang rasanya sudah tidak kuat membuka mata. “Ih ayo bangun. Apa gunanya sampai sini kalau cuma tidur?” ujarmu setengah berteriak. Tapi semakin kamu berteriak-teriak, aku semakin menggulung tubuhku di balik selimut.

“Ya kan tadi udah seharian bangun. Ini waktunya tidur. Udah lewat dini hari juga," kataku. Jujur aku tidak pernah paham energi apa yang kalian miliki untuk selalu aktif 24 jam. Kalaupun tidak bergerak, mulut kalian terus bergerak, bicara apa saja, menertawakan apapun.

“Nggak seru.”

“Udah tidur aja, Han. Mau sini?” Aku menawarkan tempat di sisiku tapi kamu malah melemparkan bantal karena kesal. Aku tersenyum sebelum akhirnya benar-benar pulas malam itu.

Sebenarnya sejak hari itu aku bertekad suatu hari nanti kita akan kembali ke sini berdua saja. Kita akan punya waktu lebih banyak berpelukan di kamar yang cantik ini sambil mendengarkan lagu-lagu indie kesukaanmu, lalu terlelap dalam dekapan satu sama lain. Terserah kamu mau bicara apa, aku akan selalu di sebelahmu untuk berkomentar seperlunya, mengangguk atau tertawa kadang-kadang.

Tentu semuanya kupikirkan jauh sebelum banyak hal terjadi pada kita —mengacaukan rencana yang telah kususun rapi dan matang— di kemudian hari.

Hhh.

Seandainya kamu —atau aku— sedikit lebih sabar, mungkin ceritanya tidak akan begini. Aku tidak tahu perasaan apa yang mengikatmu hingga sedemikian kamu ingin berontak. Bisa jadi kita berubah. Bisa jadi kamu. Bisa jadi aku.

“Sunscreen huh?”

Lamunanku pecah mendengar suara perempuan di depanku. Dengan tergagap aku menerima uluran botol kecil dari tangan perempuan itu. Sial. Bahkan pada adegan sepersekian menit ini, aku bisa ingat bagaimana kamu dulu selalu konsisten memaksaku menggunakan sunscreen setiap kali kita ke pantai.

“Bukan masalahnya hitamnya duh! Katanya pinter masa urusan kesehatan kulit aja mesti dijelaskan,” katamu.

“Iyaaaa. Pakein,” kataku sambil mengulurkan kedua tangan. Meski sedikit kesal, kamu toh masih sabar mengaplikasikan cairan lengket itu di kulitku. Selalu begitu sepanjang ingatanku mampu merekam bagaimana setelahnya kamu akan mengutuki air laut yang merusak rambut serta kulitmu.

Ada terlalu banyak hal yang bisa kuingat, seakan setiap butiran pasir di hamparan pantai ini menyimpan semua fragmen dan memori tentang apa saja yang pernah terjadi di antara kita —hal-hal yang membuatku gusar, sekaligus kadang sedih. Sebab sejauh apapun ingatanku mampu mengumpulkan semua kenangan yang pernah terjadi, waktu menghadapkanku pada kenyataan di saat ini ketika hal itu semua sebatas masa lalu dalam ingatanku.

Sungguh aku masih selalu berharap waktu akan mengulang banyak hal yang telah terjadi sembari memberiku kesempatan dan ruang-ruang untuk menurunkan sedikit saja ego sebagai laki-laki.

Di Bangkok, Tiga Tahun Setelah Hari Itu

Perjalanan pertamaku bulan ini dan entah kekuatan apa yang membuatku memutuskan pilihanku jatuh pada tempat ini. Sekuat tenaga aku menghalau apa yang telah terjadi pada kita sangat mempengaruhiku dalam mengambil keputusan, tetapi rasanya sia-sia.

Aku sedih, Han. Untuk pertama kalinya aku mengakui perasaan yang merundungku berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun ini.

Di Bangkok tidak ada yang spesial seperti yang selalu kamu katakan padaku setiap kali kita merencanakan bepergian ke sana. “Negaranya sama aja kayak di sini. Kenapa tidak sekalian ke Scotland atau Timur Tengah yang vibesnya totally beda?”

“Kamu nggak diizinin ke sana sama aku.”

“Ke mana aja nggak akan diizinin kalau kita cuma berdua.”

“Nggak usah minta izin kalau kamu udah jadi istriku.”

“Yee malu sama TA yang mulai aja belom.”

“Ih memangnya menikah harus menunggu TA-ku kelar gitu?”

“Iyalah. Kan kita mesti lulus dulu, kerja dulu, beres dulu urusannya sama diri-sendiri.”

“Bisa diurus sambil menikah sih itu."

“Nggaaak.”

Aku selalu tertawa melihat ekspresi wajahmu setiap kali kita membahas pernikahan. Rasanya saat itu lucu membayangkan kita sungguhan menikah. Dan lucu juga melihat bagaimana kamu mati-matian menolak setiap kali aku melontarkan ide bahwa sebaiknya kita menikah saja.

Aku sama sekali tidak berpikir bahwa hal-hal yang sedemikian lucu waktu itu, ternyata berubah menjadi momok yang menerorku. Apakah memang sejak dulu kamu tidak mencintaiku? Apa memang sejak saat itu, kamu tidak pernah yakin bahwa aku seserius itu ingin menikahimu?

Di Bangkok pikiranku tak tentu arah. Sejak kemarin aku hanya mengitari seisi kota dan mencoba apa saja yang terlihat memberikan rasa pada lidahku. Tapi aku sudah mati rasa, Han. Tidak peduli apakah ini di Bangkok atau di manapun.


Akan berlanjut —jika tidak malas menulisnya.


Surat Pengantar Perjalanan Patah Hati

source: unplash.com

Seperti halnya kamu dan semua orang, aku juga pernah patah hati. Aku rasa benar, bahwa perjalanan-perjalanan jauh dan panjang adalah obat terbaik untuk semua perasaan benci dan kecewa yang sesaat segera setelah kamu patah hati, akan muncul. Lalu pelan-pelan tetapi pasti, perasaan itu berubah, bergumul dengan emosi-emosi lain dalam dirimu, menciptakan suatu hal yang aneh; aku tidak menemukan padanan lain yang tepat.

Rasanya seperti saat itu kamu bersedih, namun juga benci, marah, apapun itu. Rasanya seperti semua berkumpul, sesak memenuhi rongga dada, mengisi celah-celah syaraf di otakmu. Lalu sebentar-sebentar kamu limbung, menanyakan apa yang salah dengan dirimu, apa yang salah dengan keputusan-keputusan yang telah kamu buat, dan masih banyak lainnya.

Perjalanan adalah memang sebaik-baiknya obat. Percaya saja apa kataku, karena toh, kepadamu aku tidak pernah berbohong. Entah jika kamu terhadapku.

Sebab jika iya, aku semakin memahami bagaimana rasanya nyeri dan sesak di dadamu.

Aku tidak ke mana-mana; tidak sampai, tidak juga hilang. Sebab kau tahu, kita tahu, bersama setiap hening yang kau bangun di belakang rumahmu dalam sepersekian waktu perjalananmu melewati laut, pulau, dan samuderadan dalam setiap perihnya udara yang menyapu lembut wajahmu, akan selalu ada yang berusaha sekeras mungkin kamu ingat-ingat; dulu, saat itu.

Hanya saja dalam banyak hal, Matematika Tuhan memang berbeda dari perhitunganmu. Kamu salah. Kita salah. Namun, tak apa. Manusia memang tempat dari segala kesalahan bermula.

Biar kuberi tahu kau sesuatu, barangkali ini akan menjadi nasihat paling menarik sepanjang kau berkelana, "Mestinya kau bertemu dengan seseorang yang mencintaimu lebih dulu. Akan jauh lebih mudah seperti itu. Karena, kau tahu, mengatur perasaan orang lain terhadapmu, ternyata jauh lebih sulit daripada mengatur perasaan diri sendiri."

Semoga udara sendu di sepanjang Canggu memelukmu dengan hangat. Dan semoga, kesedihan memperlakukanmu dengan cukup baik.

Jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.


Privilege yang Membuat Tidak Relate dengan Banyak Hal


Suatu hari dalam obrolan dengan orang; entah di Twitter, entah di Instagram, entah secara langsung aku lupa, aku pernah nanya, "NKCTHI kok sampai difilmin emang bagus ya?"

Dan ada orang menjawab, "Nggak usah nonton deh. Nggak relate kamu." Lalu ia mengelaborasi ke-tidak-relate-anku dengan cerita di film itu yang digambarkan sebagai sebuah film yang menceritakan permasalahan keluarga kelas menengah di Jakarta yang orang sepertiku mungkin memang nggak relate.

Baru-baru ini ketika film itu muncul di Netflix dan aku mulai kehabisan tontonan, aku memutuskan menontonnya.. dan.. shit, beneran nggak relate ternyata.

***

Ini mungkin bukan kali pertama aku menumpahkan uneg-uneg tentang betapa aku nggak relate dengan permasalahan warga kelas menengah, terutama di Jakarta. Meski sebagian mengatakan dengan usiaku sekarang, pekerjaan, dan pergaulanku di Jakarta, aku mungkin jadi satu di antara mereka, tetep aja ada terlalu banyak hal yang aku nggak relate.

Dulu ketika aku SMA, ada seorang temanku yang cerita bahwa kakak kelas kami yang bapaknya baru ditangkap KPK suka update sedih karena puasa ini harus sahur tanpa bapaknya, lalu dia merasa kasihan. Tentu sebagai anak kost yang mau puasa atau nggak puasa makan tetep sendirian aku sama sekali nggak relate dengan perasaan kasihan itu. Apalagi dengan fakta bahwa bapaknya 'terpaksa' nggak bisa puasa di rumah karena ditangkap KPK. Who the hell can relate with these fucking people huh?

Baru-baru ini aku juga menyadari bahwa aku mengalami shock culture karena budaya mengirim parcel hampers pas lebaran.

"Kok orang-orang ini temen-temennya pada baik-baik banget ya kek bisa tiap hari ngasih-ngasih bingkisan ke temennya gitu? Ya sih cuma makanan, tapi itu mayan ga sih, harganya. Kan ga mungkin ngasih cuma ke satu orang?"
"Ya maintainnya juga mahal kali. Tapi bukannya temenmu banyak yang suka gitu, ya?"
"Iya, tapi aku kalo dikasih udah lebih dari 3, aku bungkus ulang, terus kukirim saling-silang gitu sih."

Jujur aku nggak relate dengan orang-orang yang mengirim hampers seperti beberapa orang nggak relate dengan ketabahanku yang setahun ini nggak pulang ke rumah.

***

Ketika menjadi anggota pers mahasiswa UGM, aku berkesempatan mewawancarai salah satu petinggi kampus. Saat itu, aku sempat melontarkan protes adanya iuran di luar UKT yang entah kenapa setiap semester ditagih oleh ketua angkatan di fakultas.

"UKT kita tuh udah mahal, Pak, masa masih mau ditambah iuran-iuran lagi," kataku.

Lalu dengan 'bijaknya' si Bapak menjawab, "Ya gimana, ya, Mbak? UKT ini sebenarnya kita tidak terlalu setuju juga. Wong dengan sistem sebelumnya setiap tahunnya sumbangan kita bisa jauh lebih banyak dari ini. Ya sekarang kamu bayangin, ada anak yang orang tuanya gaji 10 juta, bayar UKT sama dengan anak yang gaji orang tuanya 100 juta. Sementara di kampus kita, di angkatanmu itu, orang tua yang gajinya di atas 100 juta itu banyak jumlahnya."

Untuk beberapa detik aku harus diam mencerna jawaban si Bapak. Hmm pantesan aku sering nggak relate dengan teman-temanku, ternyata karena aku terlalu 'miskin' di kampus ini. Ckck.

***

Kepada pacarku, aku selalu bilang bahwa semua pilihan yang ia ambil ketika sekolah dan kuliah itu nggak ada cerdas-cerdasnya. Bodoh kalo boleh kubilang. Gimana enggak bodoh? Orang kalau merasa nggak punya uang ya kerja, bukan ngegeng, ngewibu, naik gunung, atau piknik.

"Kerja, ndes, kerja!"
"Iya, tapi dulu tuh aku nggak dibolehin kerja."
"Kecuali kamu akan dikasih warisan tambang batu bara atau perkebunan sawit, jangan percaya sama orang yang nyuruh kamu jangan kerja. Orang harus kerja, harus punya uang, kalo nggak cukup, ya berlebih. Nggak boleh kurang."

***

Setelah aku 25 tahun, aku baru menyadari salah satu penyebab terlalu banyak hal yang aku nggak bisa relate adalah karena aku merasa aku nggak punya banyak privilege dibanding beberapa orang di sekitarku.

Hidup ini seperti paradoks. Ketika aku berkesempatan sekolah di luar kota, aku mungkin jadi satu dari sekian orang paling berprivilege yang pernah kukenal dalam hidup. Teman-temanku tidak sedikit yang putus sekolah, menikah, melahirkan di usia muda, menggantungkan hidupnya pada laki-laki yang bekerja serabutan. Sementara, aku dapat memiliki kesempatan belajar di sekolah cukup elit, kuliah di kampus yang jadi idam-idaman dan mimpi banyak orang, bahkan di jurusan yang terkenal kehidupan makmurnya. Namun, pada titik itu juga aku menjadi orang yang paling tidak punya privilege.

Aku dulu sering berpikir, seandainya aku memiliki lebih banyak pilihan karena privilegeku, mungkin waktu SMA aku juga akan ikut program sister school di Aussie. Mungkin alih-alih kuliah di UGM, aku akan ambis untuk ikut program kuliah di Jerman atau di mana di luar negeri yang banyak diikuti teman-teman sekolahku.

Mungkin alih-alih memutuskan bekerja dan fokus membebaskan urusan finansial, aku bisa lebih fokus pada ambisi akademisku. Aku mungkin sudah menjuarai MUN, ikut banyak konferensi paper internasional karena aku suka menulis, atau mungkin ikut pertukaran mahasiswa, atau melanjutkan studi master ke luar negeri seperti yang selalu aku pikirkan sejak dulu?

Tapi itu semua kelewat karena pilihan yang aku miliki ternyata nggak sebanyak itu. Bahkan untuk mengulur-ulur waktu lulus aja aku nggak sebebas itu. Aku akhirnya lulus 9 semester setelah melewati perdebatan dan pertengkaran panjang dengan Bapak. Juga struggling yang luar biasa memaksa bekerja fulltime, mengambil project di luar kantor, sekaligus mengerjakan skripsi yang kutarget akan lolos di salah satu jurnal akademik berskala internasional.

***

Privilege itu nyata. Ia bahkan memiliki lapisan kelas dan menjelma seperti paradoks yang tadi kuceritakan. Ketika kamu melepas satu lapis ketidakberuntungan dan merasa memiliki privilege, akan ada lapisan ketidakberuntungan lain yang menunggu setelahnya. Mungkin itulah sebabnya setiap orang merasa, "Ah elah emang lo pikir karena gue punya privilege, gue jadi nggak punya masalah?"

Nah. Memang setiap orang akan menghadapi ketidakberuntungan dan masalah dalam kelasnya sendiri-sendiri. Sama seperti Angkasa bersaudara di NKCTHI, atau teman-teman kayaku di UGM atau di SMA. Mereka pasti punya masalah.

Tapi ya itu tadi, privilege 'hanya' memberi lebih banyak pilihan. Angkasa bersaudara mungkin 'sedih' dan 'kecewa' dengan sifat protektif dan kehipokritan si Ayah, tapi paling nggak, dia nggak pernah ngerasain kepikiran mesti lulus cepet-cepet karena udah nggak ada duit buat bayar UKT dan nggak tahu mesti minjem ke siapa lagi.

Angkasa dan adik-adiknya juga nggak kepikiran gimana sedihnya para sarjana yang orang tuanya udah jualan harta benda di kampung, tapi pas lulus ada pandemi corona dan mereka jadi makin susah dapat kerja. Intinya meski sama-sama 'malang' dan merasa sedih akan hidupnya, tingkatannya pasti beda.

Dan di usia segini, aku memutuskan untuk fokus aja pada kemalangan-kemalangan yang lebih bersahaja. Aku memutuskan percaya bahwa bekerja dan memiliki lebih banyak materi akan membawa lapisan privilege yang lebih banyak pada hidupku, pada hidup anak-anakku ke depannya nanti.

Paling nggak, aku ingin mereka nanti bisa relate dengan jenis kesedihan 'nggak bisa makan bersama keluarga' dibandingkan sedihnya orang 'nggak bisa makan'. Aku juga mau mereka sedih karena 'terpaksa jual mobil buat kuliah S2 di luar negeri' daripada mesti 'sedih' dan nangis-nangis minta dikuliahin setelah SMA.

Syukur-syukur kalau mereka bisa jadi motivator dan enterpreneur muda atau bisa bekerja untuk membuat impact alih-alih cuma mengumpulkan pundi-pundi Rupiah untuk menyambung hidup. Siapa tahu mereka bisa buat buku dan diundang ngisi seminar sambil menceritakan perjuangannya membangun bisnis? Lebih menarik kan, daripada orang-orang basic dengan siklus sekolah-kuliah-kerja-bertahan hidup-mati?


Sejauh dan Sedekat Kamar Saya

Saya nggak menyangka kalau keputusan untuk disiplin social distancing akan sebegininya. Hampir sebulan saya tidak bertemu teman-teman, tidak juga Angga, karena saya melarang keras semua jenis interaksi sejak Jakarta dinyatakan sebagai red-zone. Sebagai orang yang kebetulan kantornya punya privilege, kami semua kerja di rumah sejak awal Maret lalu.


Ada banyak hal yang membuat saya sedih, tetapi tidak sedikit juga yang masih saya syukuri. Termasuk dalam bekerja, industri dan posisi yang strategis, hingga teman-teman dan keluarga yang tidak henti-hentinya mendukung satu sama lain. Saya telah membatalkan seluruh rencana perjalanan, termasuk juga untuk mudik. Jadi lebaran ini untuk pertama kalinya saya tidak di rumah dan bertemu dengan banyak orang.

Kakek dari Bapak meninggal tahun ini dan itu berarti, seperti tahun-tahun sebelumnya, mestinya di hari ketigapuluh Ramadhan saya berziarah ke makam orang-orang yang mendahului saya dan melihat betapa hidup akhirnya cuma begitu saja. Saya sering melankoli setiap kali mengunjungi makam. Pertanyaan saya tak henti-hentinya seputar, "Bagaimana orang-orang ini berdamai dengan waktu jika, katakanlah, memang ada hari akhir di mana mereka mestinya akan dibangkitkan?"

***

Jika ada satu dari sekian banyak hal yang membuat saya masih bersyukur selama pandemi ini adalah saya akhirnya memasak. Investasi beberapa barang untuk membuat kosan rasa apartemen rasanya nggak percuma karena saya jadi lebih memahami lidah saya yang selama ini tidak cocok dengan segala makanan yang saya makan. Ini kurang asin, ini kurang pedas, ini daunnya terlalu layu, batangnya kurang matang, dan lain-lain.

Saya memulai perjalanan memasak yang selalu saya katakan hanyalah perihal skill bertahan hidup. Sekali gagal, dua kali membaik, seterusnya saya rasa lebih baik dari makanan-makanan yang sering saya beli.

"Nanti kalo pandeminya udah selesai, kalo weekend kita masak. Aku udah bisa masak enak!"
"Beb nanti kalo pandeminya udah kelar kita Bandung atau Jogja yuk!"

"Hmm habis ini kita nikah aja yuk?"

Tentu saya tidak berpikir ajakan menikah via Whatsapp ini serius. Angga terlalu sering mengajak saya menikah tapi selalu katakan bahwa mungkin saya akan membuat keputusan-keputusan besar dalam hidup saya setelah usia 25 tahun dan itu masuk akal.

Lagipula di tengah anjuran untuk tidak ke mana-mana seperti ini, seperti semua orang, saya pun merasakan kesepian yang luar biasa dan mulai mengganggu psikologis saya akhir-akhir ini. Namun, menikah bukan perkara cuma biar nggak kesepian, kan?

***

Selama berminggu-minggu di kamar, saya merasakan perjalanan yang jauh menembus dimensi-dimensi lain lewat beragam buku yang saya baca atau lewat film-film yang saya tonton. Rasanya belum pernah sedekat ini saya mengikuti perjalanan orang-orang asing yang tidak saya kenal.

Ke mana saja saya selama ini? Apakah pekerjaan ini benar-benar mengganggu?

Jakarta mengubah banyak hal dalam hidup saya. Lalu di masa pandemi ini, banyak hal yang membawa saya pada diri saya yang menghabiskan waktu seorang diri, membaca, menulis, menonton sinema, meresensi, mengapresiasi musik dan karya seni. Mengapa Jakarta menjauhkan saya dari diri saya sendiri? Atas nama pekerjaan dan menjadi dewasa?

***

Praktis setelah kami saling mengenal dan intens berkomunikasi, Angga mungkin jadi satu-satunya orang yang padanya saya tidak sungkan untuk menghubungi setiap waktu dan begitupun dia kepada saya. Saya tidak tahu apakah selama ini dia menghubungi orang-orang lain selain saya atau tidak, tapi saya tidak. Saya bisa menelepon dia jam 5 pagi, jam 10 malam, jam 1 dini hari, kadang-kadang saya menelpon dengan video. Saya menghubunginya untuk tertawa, untuk kesal, untuk menangis, dan apa saja. Dia pun begitu. Seperti semalam ketika dia menelepon saya tengah malam dari kamar mandi.

"Ngapain kamu?"
"Mandi."
"Yaudah mandi sana, aku dah mau tidur."
"Bubye. Bilang apa?"
"..."

Ingatan saya bekerja sangat keras mengingat apa yang biasa saya lakukan ketika saya belum mengenal dia. Ya, saya masih sibuk kuliah sepertinya. Sesekali saya bekerja part-time, freelance, tapi apa lagi? Seingat saya, satu-satunya laki-laki yang padanya saya mau berinvestasi waktu dan perasaan cuma seseorang di Bandung. Itupun tidak sesering itu kami berkomunikasi karena kami 'sibuk' membangun masa depan masing-masing. Teman saya tidak sebanyak sekarang di Jakarta ketika teman-teman SMA saya justru berkumpul di sini. Bertemu anak EDS pun baru pada medium 2016.

Lalu biasanya saya ngapain? Yang saya ingat ke mana-mana saya bisa pergi seorang diri. Saya bisa pulang dini hari melewati ringroad utara yang terkenal banyak klitih, saya ngopi sendirian dengan laptop sambil bekerja, belanja di mall sendiri, ke salon sendiri, apa-apa sendiri.

Bagaimanapun ingatan itu sangat related dengan apa yang saya alami selama masa isolasi. Apakah hidup memang sejatinya seorang diri seperti ini?

***

Seperti pertemuan saya dengan Angga yang mengubah banyak hal dalam hidup saya, setelah pandemi ini pun saya yakin ada diri berbeda yang akan saya hadapi dan menjadi rutin. Ada banyak perjalanan panjang selama berminggu-minggu saya diam sendiri. Beberapa hal yang akhirnya membuat saya untuk lebih belajar mengenal diri dan menyayangi orang-orang yang dimiliki.


2020 dan Semua Hal yang Bercanda di Umur 25

Bagian satu dari catatan-catatan pengingat menuju usia 25 tahun.

Beberapa tahun lalu gue pernah berjanji pada diri gue sendiri bahwa di umur segini gue harus jadi individu yang "selesai" dengan dirinya sendiri, sehingga gue bisa memutuskan hal-hal lebih besar yang berkaitan dengan orang lain.

Pekerjaan dan corona yang [kirain] sebatas bercanda aja

Biar gue inget-inget. Awal tahun gue dikabarin bakal punya boss baru. Hari itu — bukan bermaksud rasis — gue sedikit was-was karena si calon boss berasal dari Shanghai. I mean di sana lagi chaos-chaosnya ga sih?! Gimana kalau dia carrier? Wow.

Ternyata itu cuma pikiran di kepala gue — dan jokes anak-anak kantor soal corona — sampai akhirnya urusan pekerjaan menghajar kami hingga babak belur dan nggak nyisain sedikit pun panik kecuali pada target-target yang terancam nggak achieved. Literally, nggak achieved.. semuanya.

Belum pernah sesedih ini gue bekerja.
But life must go on. Paling nggak itu gue rasain sampai akhirnya pemerintah ngumumin udah dua orang positif corona dan VP gue nyaris batalin meeting untuk.. belanja. Meski begitu, gue masih sempet bercanda dengan Ageng soal kalopun kita mati kayaknya nggak ada yang nangisin.

Bercandaan yang menurut gue bener-bener nggak serius. Karena tiba-tiba untuk pertama kalinya gue ngerasain yang namanya khawatir.. bukan sama diri gue, tapi orang-orang lain. Gue khawatir karena Bapak nggak bisa stay di rumah karena mesti kerja, gue khawatir karena Ibu nggak sepenuhnya paham gimana cuci tangan, gimana social distance, gimana membatasi kontak dengan orang lain. Even gue khawatir karena Angga selalu commute naik busway dari kantor ke kosannya.

Di titik ini, gue tahu sepertinya ada yang berubah di psikologis gue, sebuah perubahan cukup mendasar karena ternyata gue bukan anak kecil ataupun kelompok dewasa muda lainnya yang hidupnya sebatas yang-penting-gue-aman.

Menjadi nakal yang tidak pernah membanggakan

Beberapa hal menyebalkan meski ada lebih banyak yang mesti disyukuri, salah satunya adalah umur gue hampir 25 tahun dan amazing. Gimana enggak? Gue lepas dari urusan financial yang mengganggu usia 20an gue menjadi nggak seceria anak-anak di kampus, punya kerjaan yang nyenengin, teman-teman menarik, dan pasangan yang manis —kan?

Semakin ke sini, gue semakin memasuki fase membenci orang-orang yang lebih muda. Oh bukan lagi millennial. Lebih tepatnya Gen Z yang di mata gue entah kenapa tololnya nggak habis-habis. Gue makin worry dengan masa depan jikalau misalnya gue punya anak dan gue ga bisa ngedidik mereka dengan bener.

Gue khawatir dengan cewek-cewek tolol yang bisa-bisanya mau diajak cuddling padahal baru kenal tadi siang di Twitter. Gue khawatir dengan predator yang bahkan memangsa anak-anak. Even gue makin parno dengan wibu berkat sebuah kasus di Jakarta kemarin! Can you imagine kalo orang-orang itu adalah orang terdekat lo hah?

Sejak kecil gue selalu dididik dengan baik, jadi anak olim matematika yang bikin masa remaja gue nyaris gapernah punya kisah romansa, ambis di banyak hal, disuruh ngaji dan beragama biar hidupnya bener. Lalu di umur 25 tahun ini gue bener-bener ngeliat di mana orang-orang dengan bangganya memaksa jadi nakal.

Mungkin ini waktu yang paling tepat untuk gue harus bilang bahwa gue bangga jadi anak pinter dan baik-baik. 
Paling nggak itu satu-satunya yang menolong gue di saat-saat terburuk —dan semoga terus ke depannya.

Murah, jangan?

Jangan.

Jangan pernah jadi murah. Jadilah yang mahal, berkelas, nggak gampang. Peristiwa dengan mantan rekan sekantor Angga dulu membuat gue punya sumpah dalam hati untuk gue dan perempuan-perempuan dalam keturunan gue ke depan jangan sampe jadi murah, apalagi sampai membalas chat lelaki dengan: ih kok nggak dibales sih, kzl.

Jangan. Pernah. Begitu.

Pun ketiga seorang teman gue cerita bahwa rekan sekantornya mencoba flirting padahal dia sudah beristri. "Jangan!" kata gue.
"Nggak mau mengganggu rumah tangga orang."

Bukan masalah mengganggu rumah tangga orang, tapi harga diri.
Prinsip untuk jangan pernah jadi lonte sama kuatnya dengan jangan pernah ada lonte di antara kita. Teman-teman gue tidak ada yang boleh jadi lonte.

Cukup mbaknya aja.


Anyway, ada yang sudah menikah akhirnya. Oya, ngomong-ngomong seberapa besar sih lo percaya sama wibu yang lo temuin dari Tinder? Hehe.

Laki-laki dan Perempuan di Awal Usia 20-an


Mulanya adalah rencana bertemu Tania di sebuah kedai kopi di Jalan Sabang, lalu akhirnya kami berpindah ke foodcourt di Sarinah karena satu dan lain hal; anak kecil si pemilik kedai sungguh berisik dan mereka mengganggu keintiman kami berbicara hal-hal rumit dan dalam.

Sembari menyantap menu hotplate KW-an PepperLunch seharga tiga puluh lima ribu, aku memutuskan perhatianku pada keranjang belanja e-commerce yang siap di-check-out.

"Er, kamu pernah bayangin nggak sih, waktu SMA dulu gitu, kalau ternyata pas umur segini, jam segini, kamu justru lagi nyari buku mewarnai dan pensil warna di e-commerce?"

Aku menengoknya sebentar dan dengan enteng menjawab, "Nggak. Dulu kayaknya aku bayangin di umur segini aku udah menikah dan bahagia dengan anak dan pasanganku."

Aku kembali memusatkan perhatian pada e-commerce.

***

Perihal rencana hidup, seingatku, aku benar-benar memutuskan ingin "menjadi apa" adalah sewaktu kelas 3 SMA. Saat itu kami sedang galau menentukan jurusan apa yang ingin diambil di perguruan tinggi. Di tengah ketidakpastian apakah orang bernilai pas-pasan kayak aku bakal lolos jalur undangan atau tidak, ada orang yang selalu bilang, "Allah knows best, Erv. Kalau kita usaha tuh pasti bisa."

Hmm secinta itu ya sepertinya aku sama laki-laki. Sampai-sampai apapun yang dia katakan aku hampir percaya seolah-olah dia wakil Tuhan yang ditugaskan menyampaikan wahyu untuk kaum tanpa harapan sepertiku.

Maka ketika akhirnya aku benar-benar mendapatkan pilihan pertamaku di jalur undangan masuk perguruan tinggi, nggak ada sedikit pun ragu untuk merasa.. Tuhan, bener ini kayaknya jodohku.

Namun, sepertinya laki-laki memang cenderung memutuskan untuk menyakiti orang yang sungguh-sungguh mencintainya di awal usia 20-an untuk kemudian (mungkin) menyesal. Sementara, perempuan memilih untuk bermuara.
Inilah kenapa aku tidak setuju dengan ide menyukai laki-laki seumuran. Di usia awal 20-an, laki-laki dan perempuan cenderung memiliki pemikiran yang benar-benar berbeda. Aku memvalidasi hal ini dari beberapa orang di sekitarku, termasuk pada Angga.

Di awal usia 20-annya, Angga juga memutuskan untuk cenderung menyakiti orang yang mencintainya dengan memilih pacaran beda agama. Seolah dengan keputusan itu, ia memberi harapan setinggi langit, keyakinan sekuat baja bahwa "sebegininya lho aku mencintaimu" lalu berakhir begitu saja ketika si perempuan memutuskan ingin bermuara.

Begitu juga dengan Tania. Kurasa Tania sebagai perempuan di awal usia 20-an juga mengalami kejadian mengerikan disakiti oleh laki-laki yang berusia di awal 20-an, yang seperti kataku tadi: memiliki kecenderungan untuk menyakiti orang yang benar-benar mencintainya, lalu (mungkin) menyesal.

Kubilang mungkin, karena aku baru mendapat pengakuan bahwa laki-laki itu menyesal dari mulut Angga. Bukan menyesal karena putus cinta, tetapi menyesal dengan keputusan-keputusan yang dibuatnya; termasuk memacari perempuan berbeda agama. "Padahal kita juga tahu ya, yang namanya pacaran beda agama itu perbuatan menyakiti diri-sendiri aja sih," katanya.

Tapi Angga tidak mengatakan itu pada perempuan yang disakitinya, meski ia mengatakannya padaku. Pun laki-laki yang pernah menyakitiku dulu. Ia juga tidak mengatakan apa-apa, meski aku berharap kepada pasangannya sekarang ia menceritakan hal yang sama seperti Angga bercerita padaku.

Dua Puluh Lima


Akhir-akhir ini terlalu banyak hal kurang relevan yang mengganggu pikiranku. Pertama-tama, terkait peristiwa di penghujung tahun kemarin dimana semua orang bahagia dengan pencapaian kerjanya. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba di permulaan tahun, semua hal berbanding terbalik. Terlepas dari kekecewaan yang menyelimuti banyak orang, aku merasa bersalah hmm sangat bersalah.

Mestinya beberapa project yang kupegang berjalan lebih baik. That was my bad.

Aku tidak tahu seberapa relevan hal ini harus ada di kepalaku, tapi itu baru yang pertama.

Berikutnya tentang hal-hal yang terjadi di sekitarku. Mestinya tahun ini aku rampung dengan segala urusan quarter life crisis menyusul usiaku yang akan segera 25 tahun pada beberapa bulan ke depan.

Aku perempuan, tinggal sendiri di Jakarta, berpenghasilan hampir USD20.000 setiap tahunnya, dan selalu yakin memiliki prospek karir yang baik di atas rata-rata ke depannya. Aku memiliki keluarga yang utuh, teman-teman yang meski sedikit namun teruji kualitasnya, serta pasangan yang meskipun belum menikah, mestinya menyayangiku dan kami terlihat baik-baik saja di tahun ketiga relasi ini didefinisikan.

Mestinya aku memiliki hampir semua hal yang selalu kuinginkan sejak dulu. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini ada terlalu banyak hal sengkarut kurang relevan yang bercokol di kepalaku. Misalnya, tentang seorang laki-laki di masa lalu yang aku sangat yakin kepadanya aku menyimpan dendam luar biasa.

"Karena aku tidak bisa memelihara kucing atau ikan sepertimu, aku akan memelihara dendam aja," selorohku pada seorang teman. Tapi kurasa, aku serius.

Dendam itu, kau tahu? Hidup. Tumbuh subur bertahun-tahun hingga belakangan ini sangat mengganggu pikiranku. Mestinya aku tahu ketika melihat laki-laki itu tidak bisa bekerja dengan layak saja, itu cukup membuat dendam ini tidak perlu dipikirkan lagi.

Aku mestinya sudah menang, sejak awal.

Rasanya terlalu banyak hal yang mengganggu, tapi aku tidak tahu itu apa. Kepada pasanganku, aku selalu berujar, "Kenapa aku membenci banyak hal?"

Aku membenci petugas tes golongan darah sewaktu SD yang mengatakan seorang yang tidak putih kulitnya macam aku mestinya tidak takut dengan jarum suntik.

Aku membenci tukang kebun sewaktu SD yang mengatakan mestinya aku mau memberikan contekan kepada teman-teman sekelasku untuk ujian nasional sebab aku yang paling pintar di kelas, di angkatan.

Aku membenci guruku SMP yang mengatakan temanku bisa bekerja di bank sementara aku cocoknya jadi guru TK. Atau guruku lainnya yang menanyakan anak 'bandel' sepertiku ingin jadi apa nantinya? Aku membenci guruku SMA yang menarikku seperti berandal ke ruang kepala sekolah karena warna jilbabku tidak sesuai aturan.

Aku membenci teman sekelasku di SD yang melemparkan tempat sampah ke kepalaku, atau mereka yang sering mengatakan aku seperti laki-laki.

Aku bahkan membenci orang yang sama sekali tidak kukenal atau mengenalku. Seperti misalnya orang-orang di masa lalu pasanganku; mereka yang menurutku sangat bodoh sehingga membuat banyak trauma terjadi padanya. Pada beberapa hal, itu semua sangat menyusahkan hidupku sekarang.

Kenapa aku membenci sebanyak ini orang?

Rasanya banyak hal yang sudah tidak relevan. Aku toh bisa menempuh studi yang jauh lebih baik daripada semua orang yang pernah kubenci dan menjadikannya benih dendam di kepalaku. Aku memiliki hidup yang lebih baik dari mereka, aku lebih pintar, pekerjaanku lebih bagus, karierku jauh di atas rata-rata mereka semua. Tapi mengapa dendam ini masih tumbuh subur, bahkan menggangguku akhir-akhir ini?