Oktober dan Hal-hal yang Dilakukan Pertama Kali

Selamat tanggal 1 November!

Secara khusus aku menulis post blog ini sebelum ngantor -- di rumah tentu saja. Bukan tanpa apa-apa, melainkan secara khusus aku ingin merayakan terlewatinya Oktober dan banyak hal yang diputuskan pertama kali pada bulan itu.

Setahun lalu di bulan Oktober, aku, atau lebih tepatnya kami, memutuskan untuk akan menikah. Aku lupa tepatnya tanggal berapa, tapi yang jelas itu di Oktober. Lalu secara mendadak kami mempersiapkan cincin kawin, lamaran, vendor, dan menentukan hari baik. Bulan April tahun berikutnya kami resmi jadi suami istri.

Pada bulan yang sama juga di tahun itu, kami memutuskan membeli kendaraan pertama kami. Sebuah mobil ganteng yang secara religius kuinginkan sejak pertama kali lihat. Kubilang secara religius, sebab memang sedemikian aku merasa yakin bahwa itu akan jadi punyaku. Bagi sebagian orang, memiliki kendaraan seperti mobil, apalagi juga mobil-mobil SUV dari Honda mungkin adalah sesuatu yang biasa aja, bahkan mungkin sebagian nyinyir atau benci karena menambah macet dan polusi. Tapi enggak buatku.


Setidaknya begitu ingat aku sekarang punya kendaraan sendiri, aku terbebas dari perasaan mau nangis dan marah seperti ketika pagi-pagi harus kuliah, tapi di Jogja sedang hujan badai lalu terpaksa aku harus naik motor kesayanganku dan memakai jas hujan, tapi tetep aja sampai kelasnya udah krembis. Kadang-kadang bahkan basah karena rembesan air :')

Atau misalnya ketika aku mau ke luar kota, lalu tiba-tiba hujan dan ibuku mesti susah payah nganterin aku naik motor ke agen dengan jas hujan yang sharing. Kubayangkan setelah aku naik travel dan berangkat ke tempat tujuan, ibuku mesti menempuh sekali lagi perjalanan pulang hujan-hujanan. Pun ketika kondisi panas menyengat kondisinya tidak jauh lebih baik.

Di waktu terburuk, kadang-kadang bahkan aku harus berpanas-panasan ke kampus pada pagi harinya, lalu begitu pulang di sore hari, helmku [kadang jaketku juga] basah kuyup karena UGM tidak menyediakan kanopi untuk parkir motor mahasiswanya --part ini paling asu sih wkwk. Atau misalnya ketika aku sangat buru-buru untuk meeting tapi semua orderan taksi onlineku dicancel karena cuaca buruk, macet, atau alasan-alasan tidak masuk akal lainnya.

Perjalanan memperoleh kendaraan sendiri, bagiku seperti perjalanan religius yang kuniatkan untuk menghapus kemarahan-kemarahan dan menghibur diri-sendiri atas keapesan yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya. Juga perasaan puas atas wujud kerja [tidak terlalu] keras yang dilakoni bertahun-tahun sejak aku kuliah. Meski kata orang pas pandemi kita nggak perlu mobil karena lebih sering di rumah. Meski kata orang cost operasional punya mobil lebih mahal daripada naik taksi. Aku cuma mau bilang, "Dah lah."

***

Setelah melewati setahun dengan cicilan [dan hampir setahun menikah], tampaknya bulan Oktober tahun ini, juga akan menjadi kali pertama kami memutuskan untuk membeli properti; sebuah rumah mungil di BSD yang sekarang masih rata dengan tanah tapi aku udah suka banget dengan fasad di rumah contohnya. Wkwk.

Nggak tahu apa yang ada di pikiranku membeli properti dengan harga semahal itu [buat kami] dan apa pula yang ada di pikiran bank mau kasih pinjaman ke kami sebanyak itu. Benar kata Hilman di Arsitektour, kalau bapakmu bukan orang kaya, satu-satunya cara untuk jump up ke level finansial yang mapan adalah bikin bank sebagai bapakmu.

Kepada suami, aku udah bilang dan menekankan berkali-kali bahwa hidup dengan orang kayak aku memang segininya berisiko, tapi ya gimana lagi? Maka dengan modal bismillah dan wani perih, kami yakin untuk beli. Xixi. Doakan kami survive sampai rumahnya jadi yaaa.

Tentang Menikah dan Hal-hal Setelahnya

Ketika gue menulis post ini ada sebuah perubahan besar yang menyeluruh dalam diri gue karena gue sekarang udah menikah. Selama bulan-bulan pertama menikah, tidak seperti kebanyakan pasangan yang menikmati bulan-bulan madu, bagi kami ini adalah bulan-bulan dengan cicilan yang tidak berkesudahan. 

Sederet PR sudah menghantui kami [atau minimal menghantui gue sih] tentang bagaimana relasi ini akan dipertahankan ke depannya --dengan beban finansial yang ternyata masyaallah banyaknya. Hehe. Tapi tentu saja kami masih berpikir positif ini semua akan baik-baik aja selama gue dan suami masih sehat dan mampu bekerja keras seperti sekarang.

Bagaimanapun kami juga harus banyak bersyukur karena di tengah pandemi ini kami justru berkesempatan mengumpulkan aset berikut dengan keberuntungan-keberuntungan yang datang bertubi-tubi. Misalnya saja beberapa waktu sebelum kami menikah, gue malah dikabarin sales yang kemarin bantuin gue beli mobil kalo gue menang grand prize akhir tahun. It was like.. ya Tuhan, baik bener, mau kawin malah dikadoin mobil baru [lagi]. Selain itu, gue dan suami juga dapat kerja baru dengan gaji baru dan segalanya yang baru, yang lebih baik.

Selama masa-masa membangun fondasi rumah tangga, ada beberapa hal yang menjadi pembelajaran, at least buat gue sendiri, yakni tentang berkompromi. Kompromi, kompromi, dan kompromi. Nggak cuma ke pasangan, tapi juga ke semua orang.

Jika ada satu hal yang paling gue takutin dalam pernikahan sejak dulu [dan mungkin sampai sekarang] adalah tentang keluarga besar. Dan gue rasa ketakutan ini valid, karena nggak cuma gue yang worry, tapi juga suami.

Kita semua adalah menantu yang tidak diidamkan oleh keluarga masing-masing.

Aku selalu berkata pada suami bahwa mungkin dia bukan tipe menantu yang diimpikan oleh orang tuaku. Ya iyalah, semua orang ingin berbesan dengan bangsawan yang punya warisan untuk 7 turunan. "Tapi kan kamu nggak," kataku.

Namun, dia juga bilang kalau sebenarnya ibunya mungkin menginginkan tipikal menantu seperti mantan pacar sepupunya --yang secara karakter dan segalanya bertolak-belakang denganku. Pada beberapa detik setelahnya aku cukup mikir. Wow bahkan ibu mertuaku punya kriteria menantu.. like.. seriously?

Mau tidak mau aku mesti jujur mengatakan bahwa sebaiknya orang tua kita paham ada pre-requisite untuk memiliki requirement pada calon menantunya, yakni, mengutip Ayah Ojak, ngaca dulu kaliikk.

Jauh sebelum aku menikah, aku sudah mewanti-wanti Bapak dan Ibu bahwa suami yang gue butuhkan bukan suami yang orang tuanya kaya raya, tapi suami yang pintar, yang selevel. Ya minimal secara edukasi kita setara, secara pekerjaan kita sebanding, sehingga kita memenuhi syarat 'sekufu' yang sering dibilang orang-orang agamis. Terlalu jauh gapnya, either gap ke atas atau ke bawah, gue rasa nggak baik. Sementara mengenai hal-hal yang di luar dari individu itu sendiri, sebaiknya penilaiannya dibuat sekunder atau bahkan tersier karena tidak penting. 

Pertama, gue rasa sebagai orang tua, mereka nggak punya trade-off untuk itu. Kedua, dan yang paling penting, gue nggak pengen berhubungan terlalu dekat dengan keluarga besar. Baik di sisi gue maupun suami. That's why gue memutuskan tinggal jauh dari siapa-siapa. Bukan tidak rukun, hanya menghindari konflik sebisa mungkin.

Sebagai kaum terpelajar, gue rasa kami (gue dan suami) paham bahwa bekal organisasi yang kokoh adalah independensi. Kami mau seindependen mungkin dalam membangun keluarga, termasuk di dalamnya secara finansial, religi, moral, dan sosial. Semua nilai itu harus atas penentuan kami dan tidak dipengaruhi siapa-siapa.

Akhirnya perjalanan ini dimulai juga. Kata orang, semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin berhembus. Kami paham itu. Tapi kami juga yakin, akar yang kokoh akan melindungi pohon dari sekencang apapun badai yang ada.

Lagipula, jauh sebelum ini, kami sudah memutuskan untuk mengikuti ke mana angin akan berhembus, meski di Jakarta sering terjadi badai.