Meski di Jakarta Sering Terjadi Badai


"Bagaimana seseorang bisa menjadi seorang pembunuh? Apakah memang mereka dilahirkan sebagai pembunuh atau takdir yang membuat mereka jadi pembunuh?"

"Kamu pikir mereka lahir untuk menjadi pembunuh? Jika kita tahu lebih awal, mereka tidak akan banyak merepotkan orang seperti kita. Cukup kita penjara saja sejak kecil agar mereka tidak jadi membunuh."

--petikan dialog serial di Netflix yang aku lupa judulnya apa.

***

Sebagian besar dari kita mungkin ada yang percaya bahwa mesin waktu itu sungguhan ada. Beberapa dari kita, mungkin berharap mesin waktu itu tersedia untuk diperjualbelikan, atau paling tidak disewakan. Mungkin dia bisa dimiliki oleh negara atau institusi berwenang, untuk sewaktu-waktu dipakai oleh orang-orang yang dianggap memerlukan.

Dalam hidup kita ada banyak sekali kesalahan yang rasanya setelah kita melewatkannya, kita jadi paham, seandainya hal itu tidak terjadi, atau paling tidak diubah sedikit dari yang terlanjur terjadi, hidup kita sedikit berubah.

Aku percaya hukum sebab-akibat. Karena itu rasa-rasanya kalaupun mesin waktu sungguhan ada, dan aku bisa menggunakannya, aku pun bingung, bagian mana lagi yang perlu kuubah? Hidupku lengkap. Jika pun ada beberapa hal yang kurang menyenangkan, ya aku pikir itu salah satu bagian dari bagaimana alam menjaga keseimbangan energinya di hidupku.

Aku pernah bertemu dengan seseorang yang sangat menyesali satu hal buruk yang terjadi di hidupnya. Yang bahkan setelah lewat bertahun-tahun sejak hal tersebut berlangsung, masih ada harapan tipis di benaknya bahwa sesuatu mungkin bisa mengubah takdirnya akan hal tersebut --sehingga sebagai konsekuensinya hari ini akan benar-benar berbeda dengan apa yang telah terjadi sesungguhnya.

Lucunya pertemuan kami ada justru karena andil hal kurang menyenangkan tersebut. Dan jika kemudian selama masa-masa ini, ternyata dia menyesalinya, lalu apakah aku juga bagian dari penyesalan tersebut?

Untuk tiga detik aku tidak bisa bicara.

***

Bagaimana cara manusia mengukur seberapa pantas hidup mereka seharusnya? Mengapa dalam garis takdir yang diberikan pada kita, manusia-manusia ini, masih ada perasaan bahwa kita seharusnya pantas menerima lebih?

Apakah setidakbahagia itu? Apakah tidak ada satu pun, sesimpel bagaimana kita masih menghirup napas yang segar, menjadi sesuatu yang mestinya kita rasakan sebagai hal yang 'pantas' diberikan pada kita; tidak kurang, tidak lebih?

***

Seperti halnya semua orang, aku juga kadang khawatir dengan masa depan.

Ada banyak sekali hal yang membuatku sebagai manusia kadang-kadang bingung, apakah ini sudah benar, atau ada yang lebih benar --hal-hal yang mungkin akan membawaku pada sesuatu yang lebih baik lagi dan tidak perlu ada yang disesali kemudian hari?

Aku tidak tahu.

Yang aku paham adalah bahwa ternyata, dari sekian banyak hal yang mungkin aku pernah menyesal atau tidak ingin terjadi, nyatanya masih banyak hal lain yang jauh lebih menyenangkan --yang semuanya tidak masuk dalam rencanaku.

Seseorang pernah bilang padaku, bahwa mungkin dalam Matematika kita, semua hal terbatas dan ada hal-hal yang tidak mungkin. "Tapi Matematika Tuhan tuh nggak kayak kita, Erv," katanya.

Aku percaya.

***

"So?" kataku.

Di Jogjakarta angin bertiup semilir menemani kami menghirup aroma kopi joss yang dijajakan di sepanjang Jalan Mangkubumi menuju Stasiun Tugu.

"Ikutin ke mana angin berhembus aja deh.. ya.. meski di Jakarta sering terjadi badai."


Menuju Seperempat Abad


Meski tidak sepenuhnya senang bahwa ternyata saya masih semuda ini, nyatanya saya cukup merasa senang, oh bukan senang, lebih tepatnya merasa cukup rileks. Oh iya, saya masih umur segini, rasa-rasanya perjalanan masih sangat jauh meski siapapun di antara kita tidak ada yang tahu umurnya sampai berapa lama.

Mari menyemogakan semesta masih bersahabat untuk kita hidup lama-lama di bumi tanpa terlalu banyak perasaan susah dan menderita.

Bagi saya yang tahun ini 24 tahun, ya, beberapa bulan lalu lebih tepatnya, ada beberapa hal yang kemudian saya pikirkan lagi sebagai bagian dari perjalanan-perjalanan saya. Pertama adalah keharusan untuk berpikir ulang bahwa selama ini saya terlalu buru-buru. Kedua adalah tentang menikmati apapun proses yang saya alami di waktu-waktu ini. Ketiga adalah tentang keyakinan bahwa Tuhan Maha Baik dan Ia memberikan saya orang-orang terpilih untuk melewati tahun-tahun saya ke depan dan seterusnya.

Mari kita menghela napas dalam-dalam.. dan lepaskan dengan perlahan.

Beberapa hari ini saya sedang disibukkan dengan kegiatan baru, yakni meditasi selepas kerja. Biasanya di kamar kost saya yang atmosfernya asik sekali untuk tidur, saya cuma berbaring. Saya menemukan sebuah aplikasi yang memandu saya melakukan meditasi selain ingatan pada percakapan-percakapan saya dengan teman-teman.

"Kamu kalo salatnya khusyu' juga rasanya sama seperti meditasi," katanya suatu waktu. Aku mengamini, tapi sungguh setan apa yang bercokol di diri saya, bahkan ketika salat pun saya terpikirkan hal-hal buruk.

***

Pada waktu-waktu belakangan ini, saya seringkali dilanda cemas. Saya cemas pada diri saya, pada orang-orang di sekitar saya, pada orang-orang yang mungkin akan hadir di hidup saya, pada setiap kemungkinan dan bayangan-bayangan di kepala saya. Semua hal hadir bergantian dan rasanya semenyeramkan itu.

Seperti laiknya orang depresi, malam hari terasa lama dan panjang sekali. Saya mencoba mencari pertolongan tapi saya pun tidak tahu bagian apa dalam diri saya yang mesti ditolong. Rasanya hanya semuanya kosong, lalu saya kerap berpikir, bagaimana seandainya saya tidak di sini, bagaimana seandainya hal-hal traumatis bertahun lalu dan di tahun-tahun kemarin tidak pernah terjadi di hidup saya? Akankah semua hal baik-baik saja? Apakah saya akan di sini? Apakah saya akan bertemu orang-orang ini?

Saya tidak tahu.

Seseorang bilang pada saya bahwa dalam hidupnya, jika ada satu hal yang ingin sekali diubah dalam hidupnya adalah bagian yang cukup mengacau dalam dirinya, yang bercokol sekian lama sejak ia hadir di dunia hingga saat ini.

Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah jika tanpa hal-hal buruk itu, kita tidak bertemu? Apakah hingga sekarang, kamu masih menganggap saya adalah bagian dari mimpi buruk yang masih menghantuimu sampai saat ini? Bagaimana bisa?

***

"Apakah menurutmu kamu setangguh itu?"
"We are."

Lalu ia memberi kecupan manis.

Mengapa saya tidak bisa melihat hidup kita seperti naik wahana ekstrem di Dunia Fantasi; menakutkannya hanya ketika dibayangkan dan disaksikan dari jauh. Ketika kita mulai melangkah dalam antrian, lalu akhirnya terduduk dan diikat sabuk pengaman, kita bisa apa?

Tentu sebagai makhluk beriman saya tidak boleh menyalahkan Tuhan. Paling-paling saya menganggap-Nya suka bercanda.



Dari Mana Datangnya Asmara? — Pertanyaan Kedua


Seperti Sukab, aku potong dini hari ini seukuran kartu pos. Tentu agar kamu melihatnya sendiri tanpa aku harus susah-susah bercerita.




Di Jakarta udara lembab dan sedikit anyir. Tidak ada darah, hanya anyir yang aneh dan menusuk hidung. Dari kejauhan, kulihat geliat orang-orang di balik kaca-kaca jendela apartemen. Sebagian dari mereka bangun untuk bekerja, sebagian lagi bangun dari bekerja. Jakarta memuat banyak hal yang sebelumnya tidak kupahami sebagai realitas. Sebab sebagai anak yang tumbuh dengan sangat normal dan baik-baik saja, aku tidak pernah diajari hal-hal begini.

Di benakku banyak hal asing dari Jakarta yang mengakrabiku baru-baru ini. Banyak hal seperti cerita-cerita tidak tuntas dan banyak episode random perihal ingatan tentang kota yang pernah kusinggahi.

Oh, sejak kemarin aku meringkuk di kamarku yang berantakan. Kutanyai satu-satu; bantal, perabot keramik, selimut tempatku bergulung-gulung, “Dari mana? Dari mana datangnya asmara?”

Tapi seperti semua benda mati, mereka diam.


Bagiku, kamu adalah seorang flâneur.

Berapa kali aku sudah mengatakan itu di depanmu? Aku lupa.

Dulu di abad ke-16, flâneur menunjukkan sebuah kebiasaan orang-orang yang gemar menyusuri jalan. Mereka menikmati udara senja atau pucuk bunga yang mulai merekah di musim panas. Kata ini berkonotasi dengan aktivitas untuk kaum aristokrat yang kebanyakan waktu — nyelo macam orang-orang kaya penuh privilege yang kerap kita nyinyiri di percakapan kita akhir-akhir ini.

Namun, belakangan, kata ini menjadi ambivalen. Ada campuran arti antara cita rasa orang yang melakukan perjalanan untuk memenuhi keingintahuan dan keinginan mempelajari budaya setempat. Hal ini pun kemudian memberikan penafsiran dan makna yang sama sekali berbeda ketika dulu flâneur diartikan sebagai pengelana yang berjalan ke mana saja dan tanpa tujuan. Menyaksikan flâneur seperti melihat gambaran bergerak dari sebuah kehidupan urban.

Perihal ini aku paling suka pandangan Charles Baudelaire. Katanya, bahwa keramaian dalam perjalanan adalah rumah bagi flâneur; seperti ikan dengan airnya. Kegairahan dan pekerjaannya melebur menjadi satu di dalam keramaian.

Seorang flâneur akan terus mencari, dan membangun rumah di dalam aliran dan gerakan perpindahan. Dia merasa telah meninggalkan rumah, tetapi berhasil membangun sebuah rumah di dalam perjalanannya.

Kau adalah seorang flâneur. Dan kau, menolak untuk berumah pada apapun yang kau singgahi hingga hari ini.


Bertahun lalu ketika kau pertama kali menyapaku, bagiku hari itu sangat ganjil. Mengapa Tuhan membuat garis waktu kita bertemu?

Aku perempuan patah hati yang mencari jawaban melalui mimpi. Kamu pengelana yang kehilangan arah dan tidak punya tujuan pun jalan kembali.

Aku tidak ingat apapun selain penolakan, aroma kopi, kepulan asap dari rokok yang kau hisap dengan frustasi atau sesekali tenggakan bir dari dua orang yang sama-sama patah hati.

“Aku tidak mencarimu,” katamu berulang kali.

“Aku juga tidak mau bertemu denganmu.”

Aku kekeuh. Meski di dalam hati aku punya sebuah rahasia kecil yang diam-diam mengantarku pada penyesalan. Sungguh aku memang mencari sesuatu selama ini, dan salahku adalah tidak pernah mempertegas apa yang sesungguhnya aku cari.

Maka ketika akhirnya pencarianku justru bermuara pada dipertemukannya dua orang patah hati ini pada suatu konflik yang chaos, aku cuma menggumam, “Ya Tuhan, aku koreksi, boleh?”


Kau tertawa setiap kali kubilang betapa tidak serasinya kita. Kita adalah dua polar yang saling bertolak belakang namun celakanya, tidak bisa menolak satu sama lain; seperti magnet kutub utara dengan kutub selatan.

Pada hari-hari yang ganjil ketika aku kerap menyesal sekaligus bersyukur pada satu waktu, aku hanya tahu, kita tidak mungkin bertemu untuk sebuah kejanggalan. Pasti ada sesuatu yang mau Ia ceritakan. Pasti ada sesuatu yang mau Ia sentuh dari kisah rumit kita yang bahkan hingga hari ini masih sulit kucerna.

Maka berjalanlah waktu dan episode demi episode akhirnya kita lewati — meski dengan babak-belur.


“Seorang flâneur tidak berumah, kamu tahu, kan?” tanyaku lagi.

“Aku bukan flâneur,” katamu.

“Kalau iya?”

“Kalau iya, aku tidak di sini,” ujarmu lagi, lalu mengecup bibirku. Di lantai sebelas apartemen ini aku kembali mengakrabi aroma tubuh yang dalam dua tahun belakangan ini kucoba untuk lupakan. Barangkali ini keputusan yang berat. Sebab setelah hari ini, aku, kami, tidak akan ke mana-mana lagi.

Laki-laki itu kekeuh tidak mau pergi. Sekali lagi, kedatangannya sangat ganjil sebab ia begitu saja ada dan tiba-tiba.

I’ve been wandering but now I know I’m home
Kata orang, mencintai berarti membersamai untuk apapun yang terjadi di antara mereka. Hidup bersama adalah tentang memiliki tujuan-tujuan serupa. Bertahun-tahun kucari tujuan itu, namun tak juga kutemukan apa. Pertanyaanku masih selalu sama, “Dari mana datangnya asmara?”

Love is talked about frequently, but it’s so hard to define.

Tentang Mengapa Bukan Perokok


Meskipun bukan anggota 9cm, aku selalu berterus-terang pada dunia bahwa aku tidak menyukai perokok dan tidak pernah mentoleransi keberadaan mereka di sekitarku. Bukan aku melarang mereka merokok, tentu itu hak mereka.

Aku hanya melarang mereka ada di sekitarku. Dan, karena menyadari bahwa meminta perokok untuk mengembalikan hakku untuk bebas bau rokok adalah suatu hal yang sia-sia, aku lebih memilih mengontrol diriku sendiri; untuk menjauh, sejauh-jauhnya.

Maka yang kubersihkan pertama kali adalah orang-orang di sekitarku.

Suatu hari, ketika masih kuliah, seorang temanku yang pada waktu itu kebetulan bukan perokok, menanyakan, "Kenapa di Psikologi, setiap orang selesai diminta mengisi kuisioner, selalu diberi hadiah?"

"Itu etika sih," kataku.

"Lalu kalau hadiahnya rokok?"

"Mungkin dia sedang meneliti subjek perokok. Itung-itung ucapan terima kasih, kan?"

"Terus kenapa kamu nggak memberi hadiah rokok?"

Hmm aku berpikir sebentar merangkai kata-kata yang pas.

"Sebenarnya, terlepas dari bagaimana sikapku pada rokok, pada perokok, atau bahkan ideologi para perokok pun, aku cuma belum pernah membeli rokok sih. Jadi aku merasa aneh aja kalau tiba-tiba aku membeli rokok untuk kuberikan pada subjekku."

Rokok adalah sesuatu yang asing karena sejak kecil aku hampir tidak pernah melihat orang di sekitarku merokok. Laki-laki, perempuan, tidak ada yang kulihat mereka merokok di sekitarku.

Meski akhirnya beberapa kali aku mendapati Bapak mencoba-coba rokok, misalnya ketika srawung di hajatan tetangga, aku tidak melihatnya sebagai perokok. Meski begitu, sama sepertiku, Bapak tidak pernah melarang seseorang merokok.

Pernah suatu kali, ia mendapati adik laki-lakinya yang masih SMA merokok. Alih-alih melarang, dia cuma bilang, "Mau merokok ya silakan, tapi jangan pakai uangku."

Cukup adil karena pada waktu itu Bapak yang membiayai sekolahnya dan dari uang yang ia keluarkan itu, dibelikan rokok. Selebihnya tidak ada larangan-larangan secara khusus dan mungkin itu juga yang membentuk kami semua; baik aku maupun adik-adik laki-laki Bapak, akhirnya tidak ada satupun yang menyukai rokok.

Aku pikir Bapakku bukan orang dengan treatment kesehatan khusus yang menyukai gaya hidup sehat sehingga ia tidak merokok. Bapak sangat tidak sehat; malas olahraga, nggak doyan sayuran, jam tidur dan makan tidak teratur. Bapak juga bukan orang yang memiliki ideologi khusus sehingga baginya rokok haram. Ia hanya merasa, sebagai laki-laki, terlalu egois kalau merokok.

Padaku suatu hari ia bilang, "Kalau cari suami jangan yang perokok. Itu aja syaratnya."

"Kenapa?"

"Laki-laki perokok itu kan egois ya. Bayangkan kalau sehari Bapak beli rokok misalnya 15 ribu, rokok itu dihabiskan Bapak sendiri. Dengan uang yang sama, kalau 15 ribu itu diberi ke Ibumu, misal, bisa dibelikan lauk untuk makan orang serumah, sejelek-jeleknya masih dapat tempe, kita semua kenyang. Jadi, jangan mau sama perokok soalnya itu pasti laki-laki egois."

Bapak tidak bisa beretorika karena mungkin bacaannya nggak se-ndakik-ndakik orang sepertiku. Dia mungkin juga bukan feminis karena belum tahu banyak orang menganggap nilai kesetaraan soal siapa yang boleh merokok dan siapa yang memasak di rumah itu bukan perkara laki-laki atau perempuan, tapi dari kesederhanaan pikiran-pikirannya perihal perokok ini, bagaimanapun aku setuju.

***

Ketika aku dewasa, beberapa orang di sekitarku perokok. Tentu sekali lagi pada mereka semua aku tidak pernah memaksa mereka untuk berhenti merokok, tapi kubilang pada mereka, bahwa sepertimu yang berhak merokok, akupun berhak menjaga jarak dengan perokok.

"Jauhi semua orang yang merokok, laki-laki, perempuan, aku cuma nggak suka keberadaan mereka di dalam lingkaranmu yang otomatis berkaitan dengan lingkaranku atau aku yang mengeluarkan dan menjauhkanmu dari lingkaranku."

Hal ini sudah final dan tidak dapat diganggu-gugat.

***

Ketika mendapati seorang teman baikku terkena penyakit yang cukup serius berkaitan dengan paru-parunya, aku cukup kaget. Setauku dia bukan perokok.

"Memang bukan aktif, tapi pasif. Bapak, saudara, teman-temannya," kata temanku menimpali.

Aku tahu sakit bisa menimpa kapan saja dan siapa saja, bukan masalah apakah dia perokok, dikelilingi perokok, atau apapun itu. Tapi aku selalu berdoa, semoga bapaknya tidak merasa bersalah pada satu-satunya anak perempuannya.

Aku tidak menyukai perokok.

Mari berdoa yang baik untuk semua orang. Sabbe satta bhavantu sukhitatta.


Mengganti Ingatan


Ketika akhirnya aku menggunakan kembali tablet lamaku, aku merasa waktu berlalu sangat cepat. Aku sedang di Jogja; tempat yang akhirnya kutinggali untuk minimal empat tahun menyelesaikan studi dan juga akhirnya kutinggalkan, bersama Catur dan Rizal.

We had such a 'fancy' dinner di salah satu tempat makan yang kutemukan secara tidak sengaja dalam acara.. emm apa ya, kayaknya sih cuma jalan dan suwung aja dengan Angga, yang waktu itu, entah kenapa jadi satu-satunya 'teman main' di Jogja.

Perihal ini, aku sudah memprotes Cicik. Kenapa dia yang notabene masih ada di Jogja, even sampe saat ini, bisa-bisanya membiarkan aku sendirian dengan orang asing yang akhirnya hampir tiap akhir pekan menghabiskan waktunya sama aku?

Aku menyalahkan Cicik dan dia berkilah karena pada waktu itu kita sama-sama sibuk. Ya sih, aku sudah kerja, Cicik pun demikian. Dan kami sama-sama mengerjakan skripsi. Meskipun akhirnya dia lulus duluan, tapi kurang lebih di waktu-waktu itu, ada masa di mana kita memiliki kehidupan terpisah yang bahkan kayak susah banget ketemu padahal kami masih tinggal di seputaran Gejayan.

Anyway, aku akhirnya bertemu gadget lamaku, sebuah tablet Samsung 10 inch. Bertemu dengan barang yang lama sekali tidak kupakai, itu artinya bertemu dengan hal-hal di masa lalu yang entah kenapa untuk beberapa hari setelahnya mampu membawa pikiranku ke banyak yang pernah kualami. Rasanya cukup lucu.

***

Alun-Alun Kidul, 2013.

Untuk pertama kalinya sejak lulus SMA, kami memutuskan main ke Jogja. Aku sudah lama tidak 'main pagi' karena waktu itu aku tinggal di Kalasan yang dengan jarak segitu kayaknya nggak memungkinkan aku untuk main sampai pagi. But that time, teman-temanku anak tongkrongan Kopimiring yang kalau pulang main berani bertaruh dengan begal di wilayah Pamularsih, sedang di Jogja. Kami pun merencanakan banyak hal termasuk menyewa sebuah penginapan yang nanti akan menyelamatkan kami setelah teler main semalaman.

Aku lupa bagaimana kejadian persisnya, tapi singkat cerita, kami kemalingan. Atau lebih tepatnya kami terkena tindak kejahatan hasil kongkalikong orang-orang yang ada di Alun-Alun Kidul pukul 2 dini hari.

Sebuah tas kamera hilang.

***

Bagi kami semua, khususnya aku sih kayaknya karena di antara mereka cuma aku yang kuliah di Jogja, kejadian di Alkid itu cukup traumatis. Bukan cuma karena kerugian materiil, tapi juga rasa percayaku akan orang Jogja yang cukup baik, hilang sudah ketika kejadian tersebut. Ceritanya cukup rumit untuk diceritakan bagaimana usaha kami menemukan tas itu kembali, tapi intinya adalah.. orang Jogja nggak sebaik itu juga, apalagi orang-orang yang bertahan di Alkid sampai pukul 2 pagi.

Mereka nggak sebaik itu terhadap kalian mahasiswa-mahasiswa luar kota brengsek yang menjajah warga lokal dengan standar hidup kalian yang selalu bilang "Jogja apa-apa murah banget" ketika UMR Jogja bahkan cuma sekitar 1,5 juta. Kalian memang patut dibinasakan.

Singkat cerita, dari sekian banyak trauma yang kualami aku belajar beberapa hal:

  1. Jangan bohong sama orang tua kalau kamu mau main sampai pagi karena kebohongan akan membawa kesialan yang nggak terbayarkan.
  2. Jangan beli kamera sebelum gajimu dua digit dan ada fase hidup baru yang worth it untuk diabadikan karena apapun yang berkaitan dengan kamera itu mahal bajengaaan, bahkan tutup lensanya!
  3. Sayangi tablet yang alhamdulillah ditempatin di tas terpisah. Dia jadi satu-satunya yang nggak ilang hikss.
Dan begitu kira-kira kenapa menurutku ketika akhirnya di tahun 2019 aku menggunakan tablet ini kembali, rasanya ada begitu banyak ingatan yang memaksa ruang-ruang kosong di kepalaku untuk muncul lagi seperti film dokumenter yang diputar.

Aku ternyata pernah sangat rajin kuliah.
Paling nggak itu kelihatan dari berbagai slides, ebook, jurnal, dan catatan-catatan kuliah yang tersimpan rapi di tabletku. Aku lalu ingat di awal-awal masa perkuliahanku, aku memang lebih sering menggunakan tablet ini daripada laptop karena subhanallah laptopku bikin nangis kalau mau diingat-ingat performanya kayak apa.

Hal kedua terbanyak adalah perihal ke-Balairung-an.

Yasssh. I was the leader of open recruitment for the biggest Indonesian-made student press in the earth--pada waktu itu. Dan entah kenapa aku menyimpan banyak sekali dokumentasi soal B21; foto, tulisan, dokumen-dokumen penting macam surat-surat ke rektorat.

Sisanya adalah foto kepanitian di kampus pas awal-awal jadi maba rajin ngevent, foto SMA, foto SMA, dan foto SMA lagi.

***

Dari sekian banyak hal yang kutemukan, aku belajar sesuatu tentang memori bahwa melalui ingatan--hal-hal yang membawamu pada kenangan di mana segala hal yang terjadi pada waktu itu tidak kuketahui apa yang terjadi setelahnya-- aku tahu bahwa ternyata tidak semua hal berjalan sesuai rencana dan harapan-harapan kita.

Misalnya saja soal B21. Ternyata nggak lama setelah aku menjadi ketua rekrutmen, yang sejujurnya adalah posisi paling bergengsi dan strategis untuk mendapatkan jabatan struktural di Balairung, justru menjadi titik balik untuk aku muak dan akhirnya pergi dari B21.

Aku juga mengingat banyak rencana yang kutulis seperti kuliah S2 untuk belajar psikologi di Belanda, atau menjadi psikolog, atau aku.. bersama dengan seseorang yang aku tahu sekarang itu semua cuma jadi bagian dari ingatan-ingatan di masa lalu yang tidak relevan, dan masih banyak lagi.

Aku barangkali mengingat terlalu banyak dari hal-hal yang kusimpan ini, entah kenapa. Beberapa dari mereka terasa menyakitkan, namun jauh lebih banyak yang akhirnya membawaku pada sikap bersyukur atas semua hal yang telah terlewati. Bahkan dari perasaan paling sakit hati sekalipun.

***

Ternyata ada banyak hal di luar prediksi kita yang terjadi dengan begitu saja dan tidak terencana. Misalnya sebuah pertemuan di sebuah acara di University Club yang berujung dengan relasi-entah-apa-ini-namanya-but-it-works-for-more-than-two-years.

Jika aku boleh bilang dengan sangat jujur, aku bahkan nggak pernah berpikir ceritaku akan seperti ini.

***

"Ini kamu cuy?"
"Iya cuy. Wkwk anjir bisa gitu ya bentukannya."
"Ini jaman kapan cuy?"
"Hmm SMA kayaknya, atau maba ya."
"Wagelaseh ini."

Untuk beberapa hari setelah akhirnya aku berhasil menghidupkan tablet tersebut dan mengupdate softwarenya agar paling tidak versi Jelly Bean ini bisa lebih 'normal' untuk dipakai, anak-anak Core Squad mungkin cukup terganggu dengan aku yang tiba-tiba ketawa sendiri atau cerita ngelantur.

But, well.. the show must go on. Setelah puas membaca, melihat, dan mengingat banyak hal, aku akhirnya harus menghapus sebagian besar dokumen di tablet itu untuk membantu meringankan beban kerja RAMnya yang seuprit agar tetap bisa dipakai nonton Netflix dan YouTube dengan normal.

Aku memutuskan untuk tidak memindahkannya ke Drive, selain karena emailku sekarang sudah sampai di edisi keempat, ternyata hal-hal ini memang waktunya untuk dihapus karena sudah tidak relevan.

Seperti tabletku, berbagai ingatan yang melekat di dalamnya juga akhirnya harus diupdate dengan peristiwa-peristiwa baru yang lebih relevan; lewat foto-foto, tulisan, atau apapun itu.

Tidak semua orang yang kutemui dan menjadi 'teman' ketika aku menggunakan tablet itu di tahun 2013an, sekarang masih ngomong sama aku apalagi menyadari bahwa kita masih 'teman' satu sama lain. Sebaliknya, ada orang-orang yang baru kutemui dalam 2 atau 3 tahun belakangan ini, justru menjadi support system yang menyenangkan setelah melalui proses seleksi ketat sebagai seorang dewasa yang membangun lingkaran pertemanan yang sempit dan selektif.

Karena, in the end, aku baru sadar, aku nggak perlu sekian banyak orang ataupun ingatan yang memenuhi hidupku yang sudah cukup suntuk ini. Aku cuma butuh sedikit yang berkualitas untuk memastikan, sebagai seorang yang sebentar lagi 24 tahun, aku sudah berada di tempat yang tepat, tempat yang seharusnya.



Jakarta Dini Hari Tadi

Langitnya masih gelap. Jakarta yang pekat tidak pernah ramah pada tubuh dan mental yang kelelahan. Rasa-rasanya, setiap orang memiliki kesempatan untuk mengutuki Jakartanya yang bising setiap hari, setiap saat, setiap kali rindunya dipancang jarak dengan segala ketidakmungkinan yang timbul-tenggelam pada hati masing-masing; pada yang sedang jatuh cinta, paling sering yang patah hati.

Jakarta mestinya mengajarinya tentang bagaimana bersikap tak acuh pada apapun, termasuk pada perasaan yang coba dibunuhnya pelan-pelan.

Pukul empat pagi.

Tidak ada yang bisa diajak berbincang.



Jakarta lelap di antara tukang-tukang sayur yang berangkat ke pasar atau kuli-kuli di pelabuhan. Di apartemennya yang sunyi, seseorang terpekur. Diam dan dihantui oleh pikiran-pikirannya sendiri.

Dari jendela kau lihat bintang-bintang sudah lama tanggal.
Lampu-lampu kota bagai kalimat selamat tinggal.
Kau rasakan seseorang di kejauhan menggeliat dalam dirimu.
Kau berdoa: semoga kesedihan memperlakukan matanya dengan baik.

Sebab padanya, kesedihan sangat kejam bersekongkol dengan tumpukan pekerjaan yang tidak mau menunggu esok hari. Kantong matanya semakin menghitam. Tubuh depresi cuma butuh tidur dan lalu lupa pada kesepiannya sendiri.

Kadang-kadang kau pikir akan lebih mudah mencintai semua orang,
daripada melupakan satu orang.

Dalam hidupnya, mungkin cinta cuma bisa disematkan pada sebuah perasaan agung yang dimiliki pada seorang yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Perasaan yang disimpannya bertahun-tahun, perasaan yang dengan sabar ia pelihara; hanya karena ia terlalu agung untuk diobral pada sembarang orang.

Ia jauh namun dekat. Ada, namun terus dicari dalam ketidakyakinannya pada apapun.

Jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh isi jantungmu,
mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.
Dirimu tidak pernah utuh.
Sementara kesunyian adalah buah yang menolak dikupas.
Jika kaucoba melepas kulitnya,
hanya akan kau temukan kesunyian yang lebih besar.

Jakarta yang pengap mengubur ingatannya. Ia pernah tahu bagaimana rasanya; sekali saja. Setelah itu sudah.

*fiksi ini terinspirasi dari puisi M. Aan Mansyur berjudul Pukul 4 Pagi


365 Halaman Tentang Sabar

Ibarat sebuah buku, 2019 adalah sekuel dari sebuah roman panjang yang belum tuntas di 2018. Dalam sekuel itu, ada banyak cerita baru yang mungkin tidak ditemukan di 2018. Namun, bisa jadi hal tersebut juga sebagai implikasi dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya.

Ah ya. Aku tidak tahu mengapa, tapi kupikir 2018 menyisakan banyak sekali borok dan luka-luka yang menunggu untuk sembuh.


Masih dengan orang-orang yang sama, kupikir 2019 adalah waktu di mana masa krisis usia 20anku harusnya mulai selesai. Aku akan 24 tahun di tahun ini, which means aku beberapa tingkat lebih dewasa dari yang selama ini kupikir --hmm, aku selalu mikir aku masih 17 tahun.

Di 2019, aku tidak berharap banyak selain perasaan sabar untuk tetap berjuang pada apapun yang masih bisa diperjuangkan.

Tapi sabar itu tidaklah pasif.
Sabar bukan berarti membiarkan apapun menyapu bersih wajahmu sebagai bagian dari "takdir" yang digariskan akan kita semua terima sebagai manusia. Tapi sabar semestinya lebih dari itu.

Sabar adalah berhenti mengeluh. Sabar adalah usaha untuk tetap mampu mengontrol tindakan dan ucapan atas semua hal yang membuatmu babak belur.

Ada 365 halaman buku tentang sabar dan ini baru terbaca secuil tentang pembukaan. Hari masih panjang. Perjalanannya masih sangat jauh.