Meski di Jakarta Sering Terjadi Badai


"Bagaimana seseorang bisa menjadi seorang pembunuh? Apakah memang mereka dilahirkan sebagai pembunuh atau takdir yang membuat mereka jadi pembunuh?"

"Kamu pikir mereka lahir untuk menjadi pembunuh? Jika kita tahu lebih awal, mereka tidak akan banyak merepotkan orang seperti kita. Cukup kita penjara saja sejak kecil agar mereka tidak jadi membunuh."

--petikan dialog serial di Netflix yang aku lupa judulnya apa.

***

Sebagian besar dari kita mungkin ada yang percaya bahwa mesin waktu itu sungguhan ada. Beberapa dari kita, mungkin berharap mesin waktu itu tersedia untuk diperjualbelikan, atau paling tidak disewakan. Mungkin dia bisa dimiliki oleh negara atau institusi berwenang, untuk sewaktu-waktu dipakai oleh orang-orang yang dianggap memerlukan.

Dalam hidup kita ada banyak sekali kesalahan yang rasanya setelah kita melewatkannya, kita jadi paham, seandainya hal itu tidak terjadi, atau paling tidak diubah sedikit dari yang terlanjur terjadi, hidup kita sedikit berubah.

Aku percaya hukum sebab-akibat. Karena itu rasa-rasanya kalaupun mesin waktu sungguhan ada, dan aku bisa menggunakannya, aku pun bingung, bagian mana lagi yang perlu kuubah? Hidupku lengkap. Jika pun ada beberapa hal yang kurang menyenangkan, ya aku pikir itu salah satu bagian dari bagaimana alam menjaga keseimbangan energinya di hidupku.

Aku pernah bertemu dengan seseorang yang sangat menyesali satu hal buruk yang terjadi di hidupnya. Yang bahkan setelah lewat bertahun-tahun sejak hal tersebut berlangsung, masih ada harapan tipis di benaknya bahwa sesuatu mungkin bisa mengubah takdirnya akan hal tersebut --sehingga sebagai konsekuensinya hari ini akan benar-benar berbeda dengan apa yang telah terjadi sesungguhnya.

Lucunya pertemuan kami ada justru karena andil hal kurang menyenangkan tersebut. Dan jika kemudian selama masa-masa ini, ternyata dia menyesalinya, lalu apakah aku juga bagian dari penyesalan tersebut?

Untuk tiga detik aku tidak bisa bicara.

***

Bagaimana cara manusia mengukur seberapa pantas hidup mereka seharusnya? Mengapa dalam garis takdir yang diberikan pada kita, manusia-manusia ini, masih ada perasaan bahwa kita seharusnya pantas menerima lebih?

Apakah setidakbahagia itu? Apakah tidak ada satu pun, sesimpel bagaimana kita masih menghirup napas yang segar, menjadi sesuatu yang mestinya kita rasakan sebagai hal yang 'pantas' diberikan pada kita; tidak kurang, tidak lebih?

***

Seperti halnya semua orang, aku juga kadang khawatir dengan masa depan.

Ada banyak sekali hal yang membuatku sebagai manusia kadang-kadang bingung, apakah ini sudah benar, atau ada yang lebih benar --hal-hal yang mungkin akan membawaku pada sesuatu yang lebih baik lagi dan tidak perlu ada yang disesali kemudian hari?

Aku tidak tahu.

Yang aku paham adalah bahwa ternyata, dari sekian banyak hal yang mungkin aku pernah menyesal atau tidak ingin terjadi, nyatanya masih banyak hal lain yang jauh lebih menyenangkan --yang semuanya tidak masuk dalam rencanaku.

Seseorang pernah bilang padaku, bahwa mungkin dalam Matematika kita, semua hal terbatas dan ada hal-hal yang tidak mungkin. "Tapi Matematika Tuhan tuh nggak kayak kita, Erv," katanya.

Aku percaya.

***

"So?" kataku.

Di Jogjakarta angin bertiup semilir menemani kami menghirup aroma kopi joss yang dijajakan di sepanjang Jalan Mangkubumi menuju Stasiun Tugu.

"Ikutin ke mana angin berhembus aja deh.. ya.. meski di Jakarta sering terjadi badai."


Share: