2020 dan Semua Hal yang Bercanda di Umur 25

Bagian satu dari catatan-catatan pengingat menuju usia 25 tahun.

Beberapa tahun lalu gue pernah berjanji pada diri gue sendiri bahwa di umur segini gue harus jadi individu yang "selesai" dengan dirinya sendiri, sehingga gue bisa memutuskan hal-hal lebih besar yang berkaitan dengan orang lain.

Pekerjaan dan corona yang [kirain] sebatas bercanda aja

Biar gue inget-inget. Awal tahun gue dikabarin bakal punya boss baru. Hari itu — bukan bermaksud rasis — gue sedikit was-was karena si calon boss berasal dari Shanghai. I mean di sana lagi chaos-chaosnya ga sih?! Gimana kalau dia carrier? Wow.

Ternyata itu cuma pikiran di kepala gue — dan jokes anak-anak kantor soal corona — sampai akhirnya urusan pekerjaan menghajar kami hingga babak belur dan nggak nyisain sedikit pun panik kecuali pada target-target yang terancam nggak achieved. Literally, nggak achieved.. semuanya.

Belum pernah sesedih ini gue bekerja.
But life must go on. Paling nggak itu gue rasain sampai akhirnya pemerintah ngumumin udah dua orang positif corona dan VP gue nyaris batalin meeting untuk.. belanja. Meski begitu, gue masih sempet bercanda dengan Ageng soal kalopun kita mati kayaknya nggak ada yang nangisin.

Bercandaan yang menurut gue bener-bener nggak serius. Karena tiba-tiba untuk pertama kalinya gue ngerasain yang namanya khawatir.. bukan sama diri gue, tapi orang-orang lain. Gue khawatir karena Bapak nggak bisa stay di rumah karena mesti kerja, gue khawatir karena Ibu nggak sepenuhnya paham gimana cuci tangan, gimana social distance, gimana membatasi kontak dengan orang lain. Even gue khawatir karena Angga selalu commute naik busway dari kantor ke kosannya.

Di titik ini, gue tahu sepertinya ada yang berubah di psikologis gue, sebuah perubahan cukup mendasar karena ternyata gue bukan anak kecil ataupun kelompok dewasa muda lainnya yang hidupnya sebatas yang-penting-gue-aman.

Menjadi nakal yang tidak pernah membanggakan

Beberapa hal menyebalkan meski ada lebih banyak yang mesti disyukuri, salah satunya adalah umur gue hampir 25 tahun dan amazing. Gimana enggak? Gue lepas dari urusan financial yang mengganggu usia 20an gue menjadi nggak seceria anak-anak di kampus, punya kerjaan yang nyenengin, teman-teman menarik, dan pasangan yang manis —kan?

Semakin ke sini, gue semakin memasuki fase membenci orang-orang yang lebih muda. Oh bukan lagi millennial. Lebih tepatnya Gen Z yang di mata gue entah kenapa tololnya nggak habis-habis. Gue makin worry dengan masa depan jikalau misalnya gue punya anak dan gue ga bisa ngedidik mereka dengan bener.

Gue khawatir dengan cewek-cewek tolol yang bisa-bisanya mau diajak cuddling padahal baru kenal tadi siang di Twitter. Gue khawatir dengan predator yang bahkan memangsa anak-anak. Even gue makin parno dengan wibu berkat sebuah kasus di Jakarta kemarin! Can you imagine kalo orang-orang itu adalah orang terdekat lo hah?

Sejak kecil gue selalu dididik dengan baik, jadi anak olim matematika yang bikin masa remaja gue nyaris gapernah punya kisah romansa, ambis di banyak hal, disuruh ngaji dan beragama biar hidupnya bener. Lalu di umur 25 tahun ini gue bener-bener ngeliat di mana orang-orang dengan bangganya memaksa jadi nakal.

Mungkin ini waktu yang paling tepat untuk gue harus bilang bahwa gue bangga jadi anak pinter dan baik-baik. 
Paling nggak itu satu-satunya yang menolong gue di saat-saat terburuk —dan semoga terus ke depannya.

Murah, jangan?

Jangan.

Jangan pernah jadi murah. Jadilah yang mahal, berkelas, nggak gampang. Peristiwa dengan mantan rekan sekantor Angga dulu membuat gue punya sumpah dalam hati untuk gue dan perempuan-perempuan dalam keturunan gue ke depan jangan sampe jadi murah, apalagi sampai membalas chat lelaki dengan: ih kok nggak dibales sih, kzl.

Jangan. Pernah. Begitu.

Pun ketiga seorang teman gue cerita bahwa rekan sekantornya mencoba flirting padahal dia sudah beristri. "Jangan!" kata gue.
"Nggak mau mengganggu rumah tangga orang."

Bukan masalah mengganggu rumah tangga orang, tapi harga diri.
Prinsip untuk jangan pernah jadi lonte sama kuatnya dengan jangan pernah ada lonte di antara kita. Teman-teman gue tidak ada yang boleh jadi lonte.

Cukup mbaknya aja.


Anyway, ada yang sudah menikah akhirnya. Oya, ngomong-ngomong seberapa besar sih lo percaya sama wibu yang lo temuin dari Tinder? Hehe.

Laki-laki dan Perempuan di Awal Usia 20-an


Mulanya adalah rencana bertemu Tania di sebuah kedai kopi di Jalan Sabang, lalu akhirnya kami berpindah ke foodcourt di Sarinah karena satu dan lain hal; anak kecil si pemilik kedai sungguh berisik dan mereka mengganggu keintiman kami berbicara hal-hal rumit dan dalam.

Sembari menyantap menu hotplate KW-an PepperLunch seharga tiga puluh lima ribu, aku memutuskan perhatianku pada keranjang belanja e-commerce yang siap di-check-out.

"Er, kamu pernah bayangin nggak sih, waktu SMA dulu gitu, kalau ternyata pas umur segini, jam segini, kamu justru lagi nyari buku mewarnai dan pensil warna di e-commerce?"

Aku menengoknya sebentar dan dengan enteng menjawab, "Nggak. Dulu kayaknya aku bayangin di umur segini aku udah menikah dan bahagia dengan anak dan pasanganku."

Aku kembali memusatkan perhatian pada e-commerce.

***

Perihal rencana hidup, seingatku, aku benar-benar memutuskan ingin "menjadi apa" adalah sewaktu kelas 3 SMA. Saat itu kami sedang galau menentukan jurusan apa yang ingin diambil di perguruan tinggi. Di tengah ketidakpastian apakah orang bernilai pas-pasan kayak aku bakal lolos jalur undangan atau tidak, ada orang yang selalu bilang, "Allah knows best, Erv. Kalau kita usaha tuh pasti bisa."

Hmm secinta itu ya sepertinya aku sama laki-laki. Sampai-sampai apapun yang dia katakan aku hampir percaya seolah-olah dia wakil Tuhan yang ditugaskan menyampaikan wahyu untuk kaum tanpa harapan sepertiku.

Maka ketika akhirnya aku benar-benar mendapatkan pilihan pertamaku di jalur undangan masuk perguruan tinggi, nggak ada sedikit pun ragu untuk merasa.. Tuhan, bener ini kayaknya jodohku.

Namun, sepertinya laki-laki memang cenderung memutuskan untuk menyakiti orang yang sungguh-sungguh mencintainya di awal usia 20-an untuk kemudian (mungkin) menyesal. Sementara, perempuan memilih untuk bermuara.
Inilah kenapa aku tidak setuju dengan ide menyukai laki-laki seumuran. Di usia awal 20-an, laki-laki dan perempuan cenderung memiliki pemikiran yang benar-benar berbeda. Aku memvalidasi hal ini dari beberapa orang di sekitarku, termasuk pada Angga.

Di awal usia 20-annya, Angga juga memutuskan untuk cenderung menyakiti orang yang mencintainya dengan memilih pacaran beda agama. Seolah dengan keputusan itu, ia memberi harapan setinggi langit, keyakinan sekuat baja bahwa "sebegininya lho aku mencintaimu" lalu berakhir begitu saja ketika si perempuan memutuskan ingin bermuara.

Begitu juga dengan Tania. Kurasa Tania sebagai perempuan di awal usia 20-an juga mengalami kejadian mengerikan disakiti oleh laki-laki yang berusia di awal 20-an, yang seperti kataku tadi: memiliki kecenderungan untuk menyakiti orang yang benar-benar mencintainya, lalu (mungkin) menyesal.

Kubilang mungkin, karena aku baru mendapat pengakuan bahwa laki-laki itu menyesal dari mulut Angga. Bukan menyesal karena putus cinta, tetapi menyesal dengan keputusan-keputusan yang dibuatnya; termasuk memacari perempuan berbeda agama. "Padahal kita juga tahu ya, yang namanya pacaran beda agama itu perbuatan menyakiti diri-sendiri aja sih," katanya.

Tapi Angga tidak mengatakan itu pada perempuan yang disakitinya, meski ia mengatakannya padaku. Pun laki-laki yang pernah menyakitiku dulu. Ia juga tidak mengatakan apa-apa, meski aku berharap kepada pasangannya sekarang ia menceritakan hal yang sama seperti Angga bercerita padaku.