Dua Puluh Lima


Akhir-akhir ini terlalu banyak hal kurang relevan yang mengganggu pikiranku. Pertama-tama, terkait peristiwa di penghujung tahun kemarin dimana semua orang bahagia dengan pencapaian kerjanya. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba di permulaan tahun, semua hal berbanding terbalik. Terlepas dari kekecewaan yang menyelimuti banyak orang, aku merasa bersalah hmm sangat bersalah.

Mestinya beberapa project yang kupegang berjalan lebih baik. That was my bad.

Aku tidak tahu seberapa relevan hal ini harus ada di kepalaku, tapi itu baru yang pertama.

Berikutnya tentang hal-hal yang terjadi di sekitarku. Mestinya tahun ini aku rampung dengan segala urusan quarter life crisis menyusul usiaku yang akan segera 25 tahun pada beberapa bulan ke depan.

Aku perempuan, tinggal sendiri di Jakarta, berpenghasilan hampir USD20.000 setiap tahunnya, dan selalu yakin memiliki prospek karir yang baik di atas rata-rata ke depannya. Aku memiliki keluarga yang utuh, teman-teman yang meski sedikit namun teruji kualitasnya, serta pasangan yang meskipun belum menikah, mestinya menyayangiku dan kami terlihat baik-baik saja di tahun ketiga relasi ini didefinisikan.

Mestinya aku memiliki hampir semua hal yang selalu kuinginkan sejak dulu. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini ada terlalu banyak hal sengkarut kurang relevan yang bercokol di kepalaku. Misalnya, tentang seorang laki-laki di masa lalu yang aku sangat yakin kepadanya aku menyimpan dendam luar biasa.

"Karena aku tidak bisa memelihara kucing atau ikan sepertimu, aku akan memelihara dendam aja," selorohku pada seorang teman. Tapi kurasa, aku serius.

Dendam itu, kau tahu? Hidup. Tumbuh subur bertahun-tahun hingga belakangan ini sangat mengganggu pikiranku. Mestinya aku tahu ketika melihat laki-laki itu tidak bisa bekerja dengan layak saja, itu cukup membuat dendam ini tidak perlu dipikirkan lagi.

Aku mestinya sudah menang, sejak awal.

Rasanya terlalu banyak hal yang mengganggu, tapi aku tidak tahu itu apa. Kepada pasanganku, aku selalu berujar, "Kenapa aku membenci banyak hal?"

Aku membenci petugas tes golongan darah sewaktu SD yang mengatakan seorang yang tidak putih kulitnya macam aku mestinya tidak takut dengan jarum suntik.

Aku membenci tukang kebun sewaktu SD yang mengatakan mestinya aku mau memberikan contekan kepada teman-teman sekelasku untuk ujian nasional sebab aku yang paling pintar di kelas, di angkatan.

Aku membenci guruku SMP yang mengatakan temanku bisa bekerja di bank sementara aku cocoknya jadi guru TK. Atau guruku lainnya yang menanyakan anak 'bandel' sepertiku ingin jadi apa nantinya? Aku membenci guruku SMA yang menarikku seperti berandal ke ruang kepala sekolah karena warna jilbabku tidak sesuai aturan.

Aku membenci teman sekelasku di SD yang melemparkan tempat sampah ke kepalaku, atau mereka yang sering mengatakan aku seperti laki-laki.

Aku bahkan membenci orang yang sama sekali tidak kukenal atau mengenalku. Seperti misalnya orang-orang di masa lalu pasanganku; mereka yang menurutku sangat bodoh sehingga membuat banyak trauma terjadi padanya. Pada beberapa hal, itu semua sangat menyusahkan hidupku sekarang.

Kenapa aku membenci sebanyak ini orang?

Rasanya banyak hal yang sudah tidak relevan. Aku toh bisa menempuh studi yang jauh lebih baik daripada semua orang yang pernah kubenci dan menjadikannya benih dendam di kepalaku. Aku memiliki hidup yang lebih baik dari mereka, aku lebih pintar, pekerjaanku lebih bagus, karierku jauh di atas rata-rata mereka semua. Tapi mengapa dendam ini masih tumbuh subur, bahkan menggangguku akhir-akhir ini?