Laki-laki dan Perempuan di Awal Usia 20-an


Mulanya adalah rencana bertemu Tania di sebuah kedai kopi di Jalan Sabang, lalu akhirnya kami berpindah ke foodcourt di Sarinah karena satu dan lain hal; anak kecil si pemilik kedai sungguh berisik dan mereka mengganggu keintiman kami berbicara hal-hal rumit dan dalam.

Sembari menyantap menu hotplate KW-an PepperLunch seharga tiga puluh lima ribu, aku memutuskan perhatianku pada keranjang belanja e-commerce yang siap di-check-out.

"Er, kamu pernah bayangin nggak sih, waktu SMA dulu gitu, kalau ternyata pas umur segini, jam segini, kamu justru lagi nyari buku mewarnai dan pensil warna di e-commerce?"

Aku menengoknya sebentar dan dengan enteng menjawab, "Nggak. Dulu kayaknya aku bayangin di umur segini aku udah menikah dan bahagia dengan anak dan pasanganku."

Aku kembali memusatkan perhatian pada e-commerce.

***

Perihal rencana hidup, seingatku, aku benar-benar memutuskan ingin "menjadi apa" adalah sewaktu kelas 3 SMA. Saat itu kami sedang galau menentukan jurusan apa yang ingin diambil di perguruan tinggi. Di tengah ketidakpastian apakah orang bernilai pas-pasan kayak aku bakal lolos jalur undangan atau tidak, ada orang yang selalu bilang, "Allah knows best, Erv. Kalau kita usaha tuh pasti bisa."

Hmm secinta itu ya sepertinya aku sama laki-laki. Sampai-sampai apapun yang dia katakan aku hampir percaya seolah-olah dia wakil Tuhan yang ditugaskan menyampaikan wahyu untuk kaum tanpa harapan sepertiku.

Maka ketika akhirnya aku benar-benar mendapatkan pilihan pertamaku di jalur undangan masuk perguruan tinggi, nggak ada sedikit pun ragu untuk merasa.. Tuhan, bener ini kayaknya jodohku.

Namun, sepertinya laki-laki memang cenderung memutuskan untuk menyakiti orang yang sungguh-sungguh mencintainya di awal usia 20-an untuk kemudian (mungkin) menyesal. Sementara, perempuan memilih untuk bermuara.
Inilah kenapa aku tidak setuju dengan ide menyukai laki-laki seumuran. Di usia awal 20-an, laki-laki dan perempuan cenderung memiliki pemikiran yang benar-benar berbeda. Aku memvalidasi hal ini dari beberapa orang di sekitarku, termasuk pada Angga.

Di awal usia 20-annya, Angga juga memutuskan untuk cenderung menyakiti orang yang mencintainya dengan memilih pacaran beda agama. Seolah dengan keputusan itu, ia memberi harapan setinggi langit, keyakinan sekuat baja bahwa "sebegininya lho aku mencintaimu" lalu berakhir begitu saja ketika si perempuan memutuskan ingin bermuara.

Begitu juga dengan Tania. Kurasa Tania sebagai perempuan di awal usia 20-an juga mengalami kejadian mengerikan disakiti oleh laki-laki yang berusia di awal 20-an, yang seperti kataku tadi: memiliki kecenderungan untuk menyakiti orang yang benar-benar mencintainya, lalu (mungkin) menyesal.

Kubilang mungkin, karena aku baru mendapat pengakuan bahwa laki-laki itu menyesal dari mulut Angga. Bukan menyesal karena putus cinta, tetapi menyesal dengan keputusan-keputusan yang dibuatnya; termasuk memacari perempuan berbeda agama. "Padahal kita juga tahu ya, yang namanya pacaran beda agama itu perbuatan menyakiti diri-sendiri aja sih," katanya.

Tapi Angga tidak mengatakan itu pada perempuan yang disakitinya, meski ia mengatakannya padaku. Pun laki-laki yang pernah menyakitiku dulu. Ia juga tidak mengatakan apa-apa, meski aku berharap kepada pasangannya sekarang ia menceritakan hal yang sama seperti Angga bercerita padaku.

Share: