Melengkapi Fragmen Jakarta

Aku merangkum kembali seluruh ingatanku tentang mengapa aku mau ke tempat ini.

Dalam benakku Jakarta adalah segala hal yang kita butuhkan untuk lupa. Pernah suatu hari aku sakit hati sebegitunya dan Jakarta adalah tempat sempurna untuk pergi, menenggelamkan diri dalam rutinitas padat dan menuntut berpikir ekstra. Aku lalu lupa.

Di satu sisi Jakarta menawarkan hiburan yang meriah; konser murah, jam session gratisan, sampai pameran-pameran seni — dan semuanya bisa kamu nikmati seorang diri. Kamu mungkin tidak butuh orang lain untuk sekadar menikmati kelas-kelas di Bentara Budaya atau menonton konser di TIM.


Ini tahun pertamaku kembali lagi ke tempat ini. Dua tahun lalu ketika aku di sini emosiku melekat pada orang-orang yang kutemui; beberapa dari mereka mempengaruhi perspektifku hingga kini. Aku belajar banyak hal yang kini satu per satu ingin kuulangi.

Seingatku pertama kali aku bekerja secara profesional tahun 2014 dan waktu itu aku masih kuliah. Jadi aku ingat setiap pulang kampus aku ke kantor, menenteng laptop yang segede melon, begitu setiap hari bahkan di akhir pekan.

Karena aku tinggal di Concat, maka sudah pasti aku melewati derita dunia lampu merah Gejayan yang aduhay. Beberapa waktu kemudian aku menemukan sebuah kedai kopi di dekat kantor tempatku akhirnya banyak membaca buku-buku Ayu Utami dan beberapa penulis kenamaan lainnya. Maka aku memutuskan menghabiskan waktu senja di sana, menunggu Maghrib terlewat, bahkan sampai malam, hanya untuk bisa motoran dengan tenang.

Yes. Motoran sendiri. Sebelumnya ketika aktif di persma aku bahkan pulang melewati ringroad utara yang konon banyak klitih-nya seorang diri pukul satu dini hari. Saking seringnya aku pulang pukul satu ini, aku sampai punya sebuah prosa tentang sepasang roh yang berjalan-jalan pukul satu dini hari.

Setelahnya aku tidur dan besoknya kuliah setengah delapan pagi. Begitu setidaknya aku menghabiskan sepanjang tahun perkuliahan hingga awal 2016 aku memutuskan untuk resign untuk fokus KKN, skripsi — dan membuat startup wkwk.

“Aku mau seproduktif dulu sih, tapi dengan vibes Jakarta. Kayaknya asik deh. Soalnya di sini orang gerak serba cepat,” ujarku pada seorang kolega di kantor.
Maka dimulailah rutinitas ke kantor sebelum pukul sembilan.

Aku tetap pulang malam seperti biasa. Tapi paling tidak sekarang tidak pernah dugem atau pulang pagi — sudah setahun ini sepertinya, aku menghindari tempat-tempat beralkohol, dan juga teman-teman perokok.

Satu langkah progresif karena beberapa hari ini aku konsisten dengan tidak tidur pagi.

***

Apa yang membuat seseorang berubah?

Aku tidak tahu. Di pikiranku aku pernah melihat versi lebih baik dari diriku sendiri. Kini aku 20an tahun dan aku mungkin hampir punya segala hal yang menjadi standar apa saja yang harus dimiliki orang seumuranku; aku lulus dari kampus ternama, punya pekerjaan bagus, mandiri secara finansial, karierku progresif dan prospektif dalam beberapa tahun ke depan, teman-temanku baik, keluargaku menyenangkan, dan aku masih bisa ngereceh di Twitter — ini anugerah terbesar dalam hidup.

Satu-satunya yang kupikirkan memburuk adalah belakangan aku merasa aku terlepas dari otoritas akan diriku sendiri. Mungkin akhirnya aku menyadari aku terlalu bergantung pada orang lain.

“Nggak seindependen dulu,” komentar teman yang kukenal sejak SMA.

Akupun mulai berpikir hari-hari di mana aku hanya fokus pada belajar dan bekerja tanpa banyak drama yang bikin ambyarr semuanya.

“I have seen you better. Kamu orang yang di kafe sendirian, berjam-jam dengan laptop sama buku, ke mall sendirian, belanja sendirian, kamu blogger receh yang produktif, dan kamu sangat easy going,” katanya.

Ia meneruskan, “Kamu bahkan dicari temenmu pukul satu pagi untuk diajak ke burjo karena dia galau, dan kamu mau! You’re such a good friend! Di tengah vibes Jogja yang serba selo kamu bisa gerak cepet, temenmu cuma kuliah kamu udah milih kerja, temenmu di level LM kamu udah melenggang ke FORMAD. What does happen with you?”

“Hmm nggak tahu.”

***

Di benakku soal Jakarta kemarin-kemarin adalah sebuah upaya untuk lupa, sebuah tempat sempurna untuk hilang ingatan. Namun belakangan aku mulai membuka-buka kembali ingatan tentang mengapa sejak dulu kupikir tempat ini ideal untuk mendidikku ketika aku sudah cukup dewasa — membentukku dalam sebuah pribadi yang utuh.

Jakarta bergerak serba cebat dengan logikanya sendiri. Ia hampir tidak menyisakan ruang untuk semua rasa baper dan hal-hal yang tidak logis atasnya. Aku ingat tentang lelucon lebih baik tinggal di bekas kuburan tapi murah karena di Jakarta lebih serem nggak punya uang daripada ketemu setan.

“Di sini tuh kalau kamu cuma mau cari uang, asalkan kamu mau kerja, kamu akan punya uang — sesederhana itu. Dan kamu, kamu punya privilege untuk lebih dari sekadar punya uang dan kerja, kamu bisa mikir, otakmu encer. Yang penting jangan males!” — Kak Bachtiar dalam sesi habis Maghrib di kantor.
Terlepas dari banyaknya pandangan negatif yang kudengar soal mantan bossku itu — eh, ada banyak sekali hal yang ia katakan sangat relevan untukku pada akhirnya. Jangan males. Jakarta tidak punya ruang untuk orang males. Itu salah satu yang ternyata menarikku ke sini lagi.

Kedua — masih yang ia katakan dalam sesi habis Maghrib — adalah selalu berpikir logis pada apapun yang kita lakukan. Jakartan menerapkan itu dan sesederhana itu sebenarnya untuk menjalani segala hal lebih mudah di sini.

“Kamu di rapat dimaki-maki karena kerjaanmu buruk tapi habis itu makan siang bareng, dan ya udah, profesional kok.”

***

Gerak serba cepat, logis, dan selalu mengedepankan profesionalitas tanpa baper yang berlebih mungkin pada akhirnya menjadi alasan terbesar mengapa dulu aku mau ke sini. Pikirku akhirnya hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang untuk bertahan dari segala apapun yang tidak menyenangkan.

Aku hampir punya semua hal yang menyenangkan — bagaimanapun harus disyukuri. Dan menurutku bentuk rasa syukur paling nyata adalah berupaya sebisa-bisanya, sebaik-baiknya untuk tetap menjadi versi terbaik dari diri-sendiri.

Bagiku akhirnya cara melengkapi fragmen Jakarta ini bukan dengan mengutuk kotanya yang kejam atau lalu-lintasnya yang buruk. Tempat ini mendidik orang untuk jadi setangguh mungkin mencapai versi terbaiknya tanpa harus bergantung pada orang lainnya. Kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri, atas kebahagiaan, atas semua masalah — yang harus diperjuangkan. Segala hal diperhitungan logis dan tidak banyak baper yang menguras emosi.

I do my thing and you do your thing. I am not in this world to live up to your expectations, and you are not in this world to live up to mine. You are you, and I am I, and if by chance we find each other, it’s beautiful. If not, it can’t be helped. — Gestalt prayer.
Share: