Suatu Sore di Jalan Malioboro


Kereta kami sampai di Stasiun Tugu sekitar pukul empat sore. Begitu menginjakkan kaki di peron, kuhirup udara Jogja dalam-dalam. Selalu menyenangkan. Aku banyak setuju dengan orang-orang yang mengatakan Jogja adalah kota ternyaman untuk orang tinggal. Sayangnya sejak kecil aku belum pernah memiliki kesempatan tinggal di sini.

Temanku Rafa menenteng iPadnya seperti membawa talenan. Nggak ngerti lagi lah, sama dia.

Aku cuek dengan semua tingkah rempong Rafa semenjak keberangkatan kami dari Bandung tadi pagi. Awalnya aku udah bilang untuk nginep di kosku aja yang relatif lebih dekat dengan Stasiun Bandung. Tapi dia milih berangkat pagi buta dari rumahnya di Kabupaten Bandung. Kami nyaris ketinggalan kereta. Untung masih bisa ngejar meski akhirnya kami ngos-ngosan. Segala bentuk umpatan udah kulontarin di depan muka Rafa, tapi sepertinya dia kurang tidur. Dia malah langsung menarik jaketnya dan tidak mengacuhkan semua umpatanku. Brengsek memang.

Perjalanan dari Bandung ke Jogja menggunakan kereta ekonomi tidak pernah menyenangkan. Ini bukan kali pertamaku. Meski sekarang katanya kereta ekonomi jauh lebih baik daripada dulu, tapi tetep aja bikin remuk untuk perjalanan sejauh itu.

"Lu udah ngehubungin dia belum? Ini dia jemput kita nggak?" tanyaku sambil mengambil sebotol air mineral dari ransel. Kami berencana menghabiskan lima hari di Jogja dengan itinerary yang dibuat oleh Rafa ---yang katanya udah didiskusikan dengan temannya anak UGM itu.

"Gue cuma bilang kita sampai di Jogja jam empat sih. Hape gue mati, Fiq, gue nggak bisa ngehubungin dia nih. Kayaknya harus nyari tempat ngecharge dulu deh."

"Hah? Hape mati? Ah, nggak ngerti lah gue sama lu," ujarku menggerutu.

"Udah lah, nggak usah berisik. Kita ke masjid yang deket Malioboro aja, sholat di sana, tiduran ngelurusin punggung, sambil gue ngecharge hape biar bisa ngontak Nadhira." Rafa lalu melangkah meninggalkan stasiun. Aku mengekornya di belakang. Kami berjalan kaki menuju masjid di kantor DPRD DIY.

***

Usai menjalankan ibadah, aku memejamkan mataku sebentar. Hape Rafa udah nyala, tapi sepertinya dia mikir untuk bagaimana mengabarkan yang paling ideal kepada seorang gadis bahwa ia sudah sampai di kotanya dengan selamat, tanpa ada kalimat ingin dijemput, tapi berharap dengan kesadaran gadis itu menyambanginya untuk sekadar mengajak makan, atau apalah itu. Rafa terlalu kikuk menghadapi gadis.

"Eh tapi jujur gue takut awkward nih ketemu dia. Apa kita langsung ke hotel aja ya?"

"Ih, gila!" Aku bangkit dari tidurku. "Gila lu kalau gitu. Gue bela-belain nemenin ke sini, trus lu nggak berani ketemu gitu?" tanyaku. Perkataan Rafa barusan nyaris menyulut emosiku.

"Ya kan gue cuma takut awkward gitu."

"Santai lah!" Aku kembali tiduran. Sembari memejamkan mata, aku kembali membayangkan gimana wujud si Nadhira itu sekarang. Kira-kira udah setahun sejak di Pasar Seni itu aku melihatnya. Cewek, kuning langsat, pakai sepatu boots, pakai rok pendek dan kaos awut-awutan, rambut pirang. Hmm aku nggak terlalu merhatiin wajahnya, jadi aku nggak ingat sama sekali.

"Dia di McD nih, katanya kita disuruh ke depan DPRD aja, ketemu di sana," ujar Rafa. Ekspresi mukanya terlihat aneh.

"Sok, samperin!" Aku bangkit, tapi Rafa malah bergeming. "Ayok!"

"Gue nggak pede sama potongan rambut gue."

***

Begitu kami keluar dari pelataran masjid, Jalan Malioboro yang bising segera menyambut kami. Aku membuntuti Rafa yang melangkah dengan kecepatan yang sangat pelan. Entah karena sebenarnya dia masih nervous atau emang dia lagi capek, karena aku sendiri juga merasakan itu efek perjalanan dengan kereta termurah sejak pagi. Yang jelas permasalahan rambut tadi segera terselesaikan karena aku ingat aku membawa sebuah topi di ranselku. Aku menyuruhnya memakai topi itu agar rambutnya yang baru dipotong sehari sebelum ke Jogja itu nggak mengganggu rasa percaya dirinya. Tapi memang kalau boleh jujur agak aneh melihat Rafa 'sepolos' itu. Aku nggak ngerti apa yang membuat dia memutuskan memotong cepak rambutnya dan membabat habis jambang yang selama ini selalu bikin aku iri karena nggak bisa numbuhinnya.

Jogja terasa lembab. Feelingku, ini efek sejak pagi hujan, lalu menjelang siang matahari meninggi. Rasanya agak gerah, namun angin yang kencang membawa efek dingin. Secara cuaca, kupikir Bandung lebih baik.

Aku menangkap sosok perempuan duduk di bangku depan DPRD. Langkah Rafa makin melambat, sampai akhirnya beberapa meter sebelum kami sampai, ia berhenti. Rafa menarik napas panjang sebelum akhirnya ia melangkah lagi. Perempuan itu duduk di bangku taman di bawah pohon besar depan kantor DPRD DIY. Ia memandang lurus ke depan, ke arah iring-iringan kendaraan yang memadati Jalan Malioboro. Dari kejauhan aku udah senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana Rafa akan menyapa perempuan itu. Yang aku syukuri adalah.. rambutnya tidak lagi pirang. Jujur warna itu kurang cocok untuk dia.

Kami sampai pada jarak beberapa langkah di samping perempuan itu.

"Assalamualaikum." Kalimat sapaan Rafa membuatku nyaris terjungkal. Aku hampir pingsan menahan tawa.

Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara dan secara reflek berdiri menyadari kehadiran seseorang, eh, dua orang. Ekspresinya semacam kaget, atau mungkin dia juga hampir pingsan denger kalimat sapaan Rafa yang terkesan formal banget?

Beberapa detik sejak sapaan pertama Rafa, nggak ada respons. Rafa mendekatkan langkahnya. "Apa kabar?" tanyanya lagi. Kalau sampai sekali ini masih nggak direspons bisa jadi cewek ini bener-bener pengin muntah lihat tampang Rafa.

"Waalaikum salam, baik. Kamu?" Syukurlah dia akhirnya merespons.

Aku mengamati penampilan Nadhira dengan seksama. Kali ini seingatku nggak sekacau waktu pertama kali kulihat dia di Pasar Seni. Nadhira mengenakan dress tanpa lengan berwarna abu, dengan kerah model vintage berwarna putih dikombinasikan dengan potongan rok stripe vertikal berwarna abu-putih. Ada belt kecil berwarna merah yang terpasang pada potongan roknya yang menjuntai hingga lutut. Ia memakai sepatu kulit, model boots juga, tetapi tidak setinggi yang kulihat di Pasar Seni dulu ---hanya menutup sampai mata kaki. Sebuah sling bag kecil berwarna cokelat ---juga dari bahan kulit--- melengkapi penampilannya. Wajah Nadhira sangat Jawa; sorot mata, bentuk alis, hidung, mulut. Rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai. Cuma ada satu jepit rambut berwarna putih menghiasi rambutnya yang kini berwarna kecokelatan. Perpaduan itu membawa satu penilaianku; cantik. Pantes ada yang ngejar-ngejar sampai sejauh ini.

Rafa tersenyum. "Alhamdulillah baik juga," jawabnya. Beberapa saat mereka saling diam, keduanya menunduk. Bagi Rafa, mungkin ini lebih dari sekadar nervous atau nggak pede karena mukanya terlalu 'bayi' efek cukur jambang, ini pasti soal hati yang nggak karuan, jantung berdebar, aliran darah yang mendesir lebih kencang, ditambah udara Jogja dan romantisme Malioboro di sore hari seperti ini. Ck! Ini pasti berat.

"Ehm!" Aku sengaja berdeham untuk memecah suasana. Mulutku menyunggingkan senyuman.

"Oh, Nad, ini.. temenku. Kenalin, ini Syafiq. Syafiq, ini Nadhira," Rafa akhirnya memperkenalkanku. Aku maju selangkah.

"Hai, Nadhira," ujarku sambil mengulurkan tangan.

"Halo, Syafiq," jawabnya sambil menyambut uluran tanganku. Rafa melirikku sekilas. Aku yakin dia kesal karena melewatkan kesempatan berjabat tangan dengan gadis idamannya. Aku tertawa puas dalam hati. Rasain! Salah sendiri sok jaim.

Untuk beberapa saat kami hanya berkomunikasi melalui pikiran masing-masing. Jalan Malioboro masih bising dengan suara knalpot, klakson, dan mesin-mesin yang entah lulus uji emisi atau enggak. Tapi bagi Rafa, yang aku tahu gemuruh jalanan ini nggak seramai suara-suara yang memenuhi isi pikirannya. Ia kacau. Pantas dia nggak berani menemui Nadhira sendirian. Dan cewek ini, kenapa juga dia diam? Apa sekarang dia udah berubah ---nggak seatraktif yang diceritakan Rafa selama ini?

Entahlah, yang jelas perutku lapar sekali karena sejak pagi belum menyentuh nasi.

"Nadhira, bisa ngerekomendasiin tempat makan yang enak dan murah nggak?" tanyaku memecah keheningan.

"Hah? Makan?" Meski tergagap, Nadhira akhirnya merespons. "Emm mahal kalau di sini, kalau di daerah kampus UGM aja gimana?"

"Boleh tuh!" jawabku sambil menyenggol Rafa. Dia bergeming. Jatuh cinta itu teman, kau tahu, sungguh rumit.



Photo Source
Share: