Tiga Puluh Tahun

Bloom with grace, courage, and resilience, and inspire others to do the same.

Beberapa waktu lalu ketika ke Singapore, aku berkesempatan ketemu dengan mantan atasanku; salah satu orang terpenting yang membentukku secara pribadi dan profesional seperti sekarang. Dalam pertemuan kami yang singkat itu — karena beliau luar biasa sibuk, dia menanyakan kabarku dan kubilang bahwa saat ini aku sedang ‘living the best time of my life’.

Tentu bukan tanpa alasan aku bicara demikian, karena nampaknya, setelah 30 tahun aku hidup, aku merasa aku baru bisa memaknai hidupku sebaik ini.

Ah, 30 tahun. Angka genap yang sempurna.

Di usia 30 tahun, aku merasa energiku sebaik ketika aku 20 tahun. Namun, di masa ini, psikisku berkembang jauh lebih baik. Aku jadi kalem dengan segala hal, melihat tragedi jadi komedi, dan aku lebih rileks untuk semua hal yang nampaknya tidak bisa kukontrol. Secara penuh pula, aku merasa lebih mencintai diriku — yang seumur hidup kupertanyakan apakah aku cukup baik, apakah cukup layak dicintai, apakah cukup pintar, apakah cukup menarik?

Barangkali karena hal-hal yang dulunya ingin kuvalidasi, sekarang sudah tidak lagi — atau mungkin sudah?

Sesederhana pertanyaan soal pasangan. Dulu di usia 20, aku kerap bertanya-tanya apakah aku sungguhan akan ketemu orang yang dengannya aku bisa menikah dan membangun keluarga? Pada saat itu, di lingkaranku yang terbatas, aku merasa tidak terlalu tertarik dengan laki-laki lebih dari teman. Kalaupun ada satu dua yang membuatku tertarik, itu sebatas rasa penasaran. Artinya, untuk jangka 10–20 tahun pun aku tidak melihat bagaimana jalannya kami bisa bareng.


Hal kedua adalah soal pekerjaan. Di usia 30 ini, aku akhirnya sadar sudah 10 tahun aku bekerja. Memang sih, kerja fulltimeku baru mulai sekitar 8 tahun lalu, tapi secara profesional, sebenarnya aku sudah mulai bekerja sejak 2015 ketika mengambil project-project di kampus ataupun freelance di berbagai tempat.

Sebagai lulusan psikologi yang iseng masuk ke tech company, mengambil role jadi marketer, lalu ke product, aku selalu mempertanyakan ke diriku sendiri apakah bekerja memang sudah seperti ini yang benar?

Kerja itu.. sangat kompleks. Berbeda dengan sekolah atau kuliah yang punya kurikulum jelas, ada batas waktu dan nilai yang jelas, dalam bekerja, itu semua abu-abu. Terlebih aku memilih bekerja di industri yang terhitung baru. Di pekerjaan yang kugeluti sekarang, aku merasa tidak ada orang yang 100% expert. Orang dengan banyak pengalaman, mungkin banyak, namun yang sungguhan expert, kurasa tidak ada.

Pertemuanku dengan mantan bosku di Singapore beberapa waktu lalu menjadi pengingat penting, betapa dulu, ketika aku masih bekerja dengan dia, aku kerap bertanya-tanya, “Kerjaanku kayak gini ini udah bener nggak, sih?” Lalu, dia yang notabene 10 tahun lebih awal bekerja, dengan bijak bilang, “There’s no such an expert in our industry.”

Jawaban seperti itu, somehow, dulu kupandang sebagai kegamangan, membuatku tidak yakin apakah tempat ini sungguh tempat yang benar untuk belajar atau aku cuma sekadar main-main menghabiskan waktu?


Hari ini berarti sekitar 8 tahun sejak aku bingung-bingung menceritakan kecemasanku, mencari validasi dari atasanku, bingung gimana menjelaskan dengan Bahasa Inggris yang terbatas, atau bingung memenuhi ekspektasi dan cara kerjanya yang Singapore banget!

Lucunya aku sekarang masih kerja dengan orang Singapore, di kantor yang culturenya Singapore banget — surprisingly mereka ini kolega yang aku bisa kerja seanteng itu saking nggak adanya drama dan unggah-ungguh bullshit. Aku ternyata sudah bekerja selama itu dan alih-alih merasa expert, aku justru merasa makin ingin belajar lagi dan makin ‘malu’ untuk koar-koar soal keahlian atau pekerjaanku meski produkku digunakan lebih dari 15 juta orang — selain memang kantorku sangat membatasi kami untuk bicara soal pekerjaan wqwq.

Bisa dibilang, soal pekerjaan, aku sudah tidak lagi sibuk memvalidasi. Ini bukan berarti aku sudah puas, ya. Tapi, aku sampai di titik yang merasa bahwa bekerja itu seperti halnya orang marathon, bukan sprint. Mungkin kecepatan tinggi matters, tapi itu bukan yang utama. Karena yang terpenting adalah pace untuk sampai finish yang sangat jauh dan lama. Bayangkan jika aku pensiun di umur 60 tahun, berarti aku masih punya 30 tahun lagi untuk ‘lari’.

Aku mulai mengurangi keteganganku dengan hal-hal yang kurang perlu, terlebih jika menyangkut pekerjaan. Karena, yah, bekerja akan masih sangat lama bagiku. Hal terpenting saat ini adalah tetap membuka diri untuk belajar, stay hungry, stay foolish — untuk ini aku setuju kata-kata orang kaya.


Terakhir, barangkali ini yang paling penting, di umur 30 tahun aku mencintai diriku secara menyeluruh. Aku merayakan semuanya. Aku memastikan tubuhku sehat lahir dan batin. Aku berolahraga rutin, setidaknya seminggu sekali aku yoga, ke gym paling nggak tiap 2 hari sekali. Belakangan bahkan aku ikut kelas renang agar opsi olahraga cardio-ku bertambah setelah aku cedera dan nggak bisa lari.

Seumur hidup tumbuh jadi perempuan Jawa berkulit gelap, aku berada di fase yang se-tidak-masalah itu dengan warna kulit. Tentu bekerja dengan kolega yang 96% Chinese, baik itu Indonesian-Chinese, Malaysian-Chinese, Singaporean-Chinese, ataupun Chinese yang beneran dari Mainland, membuatku sadar, sia-sia belaka mengupayakan kulit terang. HAHAHA.

Ternyata, orang memang tidak menilaiku dari warna kulitku, sukuku, asal rasku, bahkan orang tidak melihatku lulus sekolah dari mana — somehow lulusan kampus Slemat at some point membuatku inferior setengah mati di antara lulusan kampus-kampus Singapore, Aussie, ataupun dari US. Dan hal-hal itu, somehow membuatku lebih bisa menertawakan hal-hal yang dulu kuanggap sebagai tragedi.

Aku kini santai aja membicarakan kedua orang tuaku yang tidak pernah kuliah. Aku bahkan terang-terangan mengatakan kami miskin. Alih-alih menutupi akar, dan berpura-pura datang dari keluarga bangsawan kabupaten, aku lebih ingin menjuntaikan cabang-cabangku semakin jauh, semakin lebar, dan ke mana-mana.

Aku bahkan mulai mencari waktu untuk mengajak kedua orang tuaku ke Singapore agar mereka juga melihat kota yang selama ini kugadang-gadang sebagai tempat yang ideal untuk sekolah anakku kalau suatu hari aku punya anak. Aku mau membagi hal-hal yang sekarang terlihat sederhana bagiku, tetapi bagi orang tuaku mungkin jadi pengalaman luar biasa. Orang tuaku yang nggak pernah kuliah, yang punya paspor pertama kali di umur 50an — itupun cuma kepakai karena pergi haji, yang hidup dan mimpinya sangat sederhana; bisa menghadiri wisuda anaknya di UGM.

Tentu aja mereka nggak akan kepikiran kalau anak dan menantunya kalau kerja sekarang harus full kemenggres dan bahkan anaknya sekarang lagi struggling menghafal hanzi biar kalau tinggal di hotel di Chinatown lagi, lalu ketemu orang yang hanya bisa Bahasa Mandarin, nggak bingung harus ngomong pakai Google Translate. HAHA.

Aku mencintai diriku sepenuhnya dan aku mengupayakan perayaan-perayaan untuk diriku yang mau sabar dan belajar. Tentu saja sangat manusiawi kalau ada satu dua hal yang aku sesali, terutama kenapa aku sangat khawatir Tuhan nggak adil padahal belum pernah sekalipun Ia tidak menjawab permintaanku — meski kadang membingungkan.

Selamat ulang tahun, Ervina. Semoga di umur ini, kamu terus bertumbuh dan tetap bertumbuh.


Tulisan dipublikasikan juga di Medium.