Pasutri Ngekost vs Pasutri Ngontrak Rusun

Akhir bulan di weekend kemarin sepagi itu aku udah bangun dan bahkan sudah sarapan sisaan nasi bakar semalam yang dipanasin dan dimodifikasi jadi nasi goreng. Setelah itu aku jadi bingung mau ngapain. Mau nonton film pun kayak mata ini udah capek liatin TV jadi akhirnya aku iseng liat-liat archive di IG Story.

Tepat setahun lalu pada 31 Oktober 2020, Okta mengunjungi kost baruku di daerah Setiabudi dan membuat story di Instagram. Melihat kembali story itu mengingatkan aku pada serangkaian drama yang terjadi di kost tersebut. Dari reshare story setahun lalu berlanjut sambat di IG yang berujuk pada ocehan seputar pilihan tinggal bagi newly-wed kayak aku dan suami.

For your context, hal yang aku sambatin mengenai kost itu adalah soal beberapa penghuninya yang habitnya amit-amit buat jadi housemate/even teman kost. 

Dan yang paling aku heran adalah pasutri berbayi. Pasalnya kenapa ada suami-istri membawa serta bayinya yang umur 1-2 tahunan dan nanny si bayi ke kostan berukuran 3x4 yang bahkan nggak ada jendelanya langsung ke luar. Parahnya mereka ngetreat ruang-ruang komunal di kost yang mestinya jadi fasilitas bersama serasa milik sendiri. Pakai dapur nggak diberesin, sisa makanan digelar di meja makan, nanny-nya nyuapin bubur bayi dan belepotan di sofa TV, serta masang musik kenceng-kenceng dengan speaker.. di ruang kerja bersama kost.

Hari-hari itu aku sedang mempersiapkan pernikahanku yang bisa dibilang cukup dadakan. Dan bertetangga dengan pasutri muda semacam itu bikin aku mikir, "Sesulit itu ya, kehidupan rumah tangga?"

Ah tapi kayaknya bukan karena sulit deh. Pasalnya sejauh yang aku lihat dari mereka, gaya hidupnya cukup fancy. Minimal dilihat dari gadget yang dipakai atau yang melekat di tubuh mereka. Atau kalo kita mau bicara objektif, harga kost itu sendiri pun nggak murah, sekitar 3jutaan per bulan. Dengan budget segitu, kupikir mereka bisa sewa rusun/apartemen murah atau ngontrak rumah. Tapi kenapa milih di kost ya?

***

Dalam rentang waktu yang sangat-super-singkat-sekali ini aku menikah, ada satu hal yang akhirnya aku pelajari dari kehidupan pernikahan itu; bahwa menikah itu sejatinya seperti membentuk sebuah organisasi or even a very small country? 

Di dalamnya terdapat peran untuk masing-masing anggota, punya visi-misi, AD/ART, value yang diyakini, serta hal-hal yang terbentuk sebagai sebuah budaya dalam organisasi/keluarga.

Layaknya sebuah organisasi yang kuat, diperlukan dependensi atas banyak hal; finansial, budaya, termasuk pada teritori atau di mana aturan-aturan yang ada pada keluargamu atau organisasimu berlaku.

Tinggal di kost, dalam hal ini sangat tidak cocok menurutku. Pasalnya, di kost ini ada terlalu banyak hal yang bersinggungan dengan teritori orang lain. Hal-hal yang membuat aspek dependensi di keluargamu itu sedikit kabur, karena ya ada banyak pihak yang akhirnya turut-serta dalam menetapkan aturan. 

Sesimpel pada kebiasaan masak. Mau kamu super jorok kayak si pasangan itu sebenarnya fine-fine aja kalau memang itu adalah 'culture' di keluargamu. Ingat, tidak semua orang punya budaya beberes ya. Tapi, dengan tinggal di kost, ada orang lain yang mungkin punya budaya 'beda' dari apa yang berlaku dan boleh di keluargamu.

Ini menurutku nggak ideal, especially jika kamu punya anak. Selain membuat ruang tumbuh-kembang si anak ini kurang lapang, dia juga akan kesulitan menyerap culture seperti apa yang ada di keluarganya/tempat tinggalnya. Bayangkan kamu dan pasangan setuju untuk keluarga kalian tidak boleh merokok, tapi tetangga kost kalian merokok, di tempat umum kost --jelas, tapi dia merokok di 'tempat tinggal' kalian dan itu boleh lho. Atau misalnya, kamu dan pasangan setuju bahwa setelah makan sisa makanan itu harus diberesin dan piring kotornya dicuci. Tetapi, tetangga kamar kalian punya kebiasaan numpuk piring kotor sampai jamuran. Anak itu pasti akan bingung budaya mana yang sebenarnya boleh dan tidak boleh dan mana yang harus jadi kebiasaan.

Di satu sisi, kalian sejujurnya nggak punya hak melarang kebiasaan anak kost macam apapun seperti merokok atau menunda nyuci piring, toh itu ruang komunal kost dan tidak ada larangan yang tegas mengatakan nggak boleh.

Well, menurutku ini membingungkan dan tidak semestinya demikian. Itulah kenapa aku tidak setuju jika pasutri, apalagi yang punya anak, tinggal di kost.

So, gimana kalo affordnya cuma di kost?

Simply aku akan bilang jangan menikah dulu. Itu artinya secara kemampuan finansial mungkin kalian belum berada di tahap yang bisa membentuk sebuah keluarga/organisasi.

Heyy tapi kostku mahal loh 5jutaan lebih dan tetanggaku nggak rese. Tinggal di kost after married is fine.

Hmm kalo kamu afford kost 5jutaan sih aku saranin tinggal di apartemen studio atau 1BR di Basura, Rasuna, atau apartemen sekitaran Jakarta lainnya. Kenapa 5jutaan dispend di kost-kostan ketika dengan harga yang sama bisa buat tinggal di apartemen? :')


Tapi, apartemen-apartemen yang di harga segitu kalah fancy dibanding kost-kostan yang 5jutaan.

Yaa, gimana ya. Kalo ngomong fancy-fancyan juga kita semua pengen tinggal di rumah kawasan Menteng sih.. Cuma kenapa kost mahal vs apartemen murah lebih mending di apartemen buat pasutri, balik lagi ke alasan yang dijabarkan di atas, menurutku.

Share: