Jakarta Dini Hari Tadi

Langitnya masih gelap. Jakarta yang pekat tidak pernah ramah pada tubuh dan mental yang kelelahan. Rasa-rasanya, setiap orang memiliki kesempatan untuk mengutuki Jakartanya yang bising setiap hari, setiap saat, setiap kali rindunya dipancang jarak dengan segala ketidakmungkinan yang timbul-tenggelam pada hati masing-masing; pada yang sedang jatuh cinta, paling sering yang patah hati.

Jakarta mestinya mengajarinya tentang bagaimana bersikap tak acuh pada apapun, termasuk pada perasaan yang coba dibunuhnya pelan-pelan.

Pukul empat pagi.

Tidak ada yang bisa diajak berbincang.



Jakarta lelap di antara tukang-tukang sayur yang berangkat ke pasar atau kuli-kuli di pelabuhan. Di apartemennya yang sunyi, seseorang terpekur. Diam dan dihantui oleh pikiran-pikirannya sendiri.

Dari jendela kau lihat bintang-bintang sudah lama tanggal.
Lampu-lampu kota bagai kalimat selamat tinggal.
Kau rasakan seseorang di kejauhan menggeliat dalam dirimu.
Kau berdoa: semoga kesedihan memperlakukan matanya dengan baik.

Sebab padanya, kesedihan sangat kejam bersekongkol dengan tumpukan pekerjaan yang tidak mau menunggu esok hari. Kantong matanya semakin menghitam. Tubuh depresi cuma butuh tidur dan lalu lupa pada kesepiannya sendiri.

Kadang-kadang kau pikir akan lebih mudah mencintai semua orang,
daripada melupakan satu orang.

Dalam hidupnya, mungkin cinta cuma bisa disematkan pada sebuah perasaan agung yang dimiliki pada seorang yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Perasaan yang disimpannya bertahun-tahun, perasaan yang dengan sabar ia pelihara; hanya karena ia terlalu agung untuk diobral pada sembarang orang.

Ia jauh namun dekat. Ada, namun terus dicari dalam ketidakyakinannya pada apapun.

Jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh isi jantungmu,
mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.
Dirimu tidak pernah utuh.
Sementara kesunyian adalah buah yang menolak dikupas.
Jika kaucoba melepas kulitnya,
hanya akan kau temukan kesunyian yang lebih besar.

Jakarta yang pengap mengubur ingatannya. Ia pernah tahu bagaimana rasanya; sekali saja. Setelah itu sudah.

*fiksi ini terinspirasi dari puisi M. Aan Mansyur berjudul Pukul 4 Pagi


365 Halaman Tentang Sabar

Ibarat sebuah buku, 2019 adalah sekuel dari sebuah roman panjang yang belum tuntas di 2018. Dalam sekuel itu, ada banyak cerita baru yang mungkin tidak ditemukan di 2018. Namun, bisa jadi hal tersebut juga sebagai implikasi dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya.

Ah ya. Aku tidak tahu mengapa, tapi kupikir 2018 menyisakan banyak sekali borok dan luka-luka yang menunggu untuk sembuh.


Masih dengan orang-orang yang sama, kupikir 2019 adalah waktu di mana masa krisis usia 20anku harusnya mulai selesai. Aku akan 24 tahun di tahun ini, which means aku beberapa tingkat lebih dewasa dari yang selama ini kupikir --hmm, aku selalu mikir aku masih 17 tahun.

Di 2019, aku tidak berharap banyak selain perasaan sabar untuk tetap berjuang pada apapun yang masih bisa diperjuangkan.

Tapi sabar itu tidaklah pasif.
Sabar bukan berarti membiarkan apapun menyapu bersih wajahmu sebagai bagian dari "takdir" yang digariskan akan kita semua terima sebagai manusia. Tapi sabar semestinya lebih dari itu.

Sabar adalah berhenti mengeluh. Sabar adalah usaha untuk tetap mampu mengontrol tindakan dan ucapan atas semua hal yang membuatmu babak belur.

Ada 365 halaman buku tentang sabar dan ini baru terbaca secuil tentang pembukaan. Hari masih panjang. Perjalanannya masih sangat jauh.