Proposal di Tahun 2018

Ini menjadi tahun baru kedua di Jakarta. Yang pertama dua tahun lalu, di Tebet, diiringi ceramah dari masjid di sekitar rumah tentang bahaya meniru orang kafir dengan ikut-ikutan meniup terompet dan sebuah tekad kuat untuk lulus kuliah.

Setahun setelahnya aku sungguhan lulus. Masih mengerjakan revisi, tapi setidaknya aku beneran lulus. Aku di Jogja. Lupa apa yang kukerjakan, tapi seingatku aku memang tidak begitu menikmati tahun baru semenjak perayaan menyambut kedatangan Bakuh ke Jogja berbuntut petasan yang mengenai pelipisku. Sejak saat itu aku tidak pernah merayakan tahun baru dengan semarak. Seperlunya aja.


Tahun ini aku tidak menyangka aku memutuskan tinggal di tempat yang kukutuk selama bertahun-tahun hidupku. Mungkin untuk beberapa tahun ke depan hidupku akan di sini; pekerjaanku, masa depan karierku, tinggal itu yang berharga. Di rumah ada keluarga yang paling tidak setahun sekali kukunjungi ketika lebaran dan sebulan sekali mulai 2019, besar kemungkinan aku akan bolak-balik Jakarta-Jogja.

Aku mungkin akan rindu Jogja seperti tahun-tahun di Semarang. Lalu sekelebat pernyataan Mbak Nina tentang Jogja terngiang di kepalaku. Katanya, "Jogja itu cocoknya buat liburan aja. Buat dikangen-kangenin kayak gini. Kalau udah tinggal di sini ya biasa aja."

Aku hampir membenarkan kata-kata Nina, tapi kemudian aku ingat bahwa empat tahunku yang berharga di Jogja ternyata lebih dari sekadar rutinitas kuliah dan menghabiskan hidup sehari-hari. Jogja ternyata seberharga itu, baik ketika ditinggal maupun ditinggali. Karenanya meski akhirnya aku memutuskan tinggal di Jakarta setelah lulus, aku masih punya keinginan suatu hari nanti kembali saja ke Jogja. Pas udah lelah dan mau hidup lebih selo.

***

Tahun 2018 tidak menyisakan banyak kenangan yang membekas selain karena akhirnya aku wisuda. Aku hampir tidak punya cerita pertemanan yang mengesankan karena seingatku ini adalah waktu di mana aku sungguh merasa tidak punya teman di sekitarku.

Maka hari-hari di 2018 lebih banyak tentang beban pekerjaan yang segimanapun aku mencoba santai dan menikmati, ternyata mengurangi berat badanku cukup drastis. I got my 40's weight after years. Tidak pernah sadar sampai satu per satu orang mulai mengomentari aku terlalu kurus dan melihat potret diriku sendiri satu atau dua tahun lalu.

But I am okay as long as aku nggak jatuh sakit. Bagian paling tidak menyenangkan dari hidup seorang diri adalah ketika sedang sakit. Dan karenanya aku tidak suka sakit. Saking aku parno dengan semua bentuk sakit, aku sering mengalami kejadian berlebihan seperti misalnya periksa ke dokter penyakit dalam karena keracunan makanan.

I spent a lot of money for this, tapi paling tidak, perkara sakit-sakit ini harus kuatasi untuk meyakinkan diri sendiri that I don't need someone else to live in Jakarta. Life is tough. Dan beginilah kupikir sikapku. Paling tidak sampai aku menuliskan catatan ini.

***

Selama 23 tahun hidup, aku merasa aku tidak pernah memikirkan orang lain. Aku tidak peduli apa kata mereka, aku tidak pernah punya rasa kasihan atau empati --ini menghancurkan masa depanku sebagai psikolog pada awalnya, dan aku mungkin terlalu egois karena selalu memusatkan dunia ini cuma atas perspektifku.

Pada mulanya adalah keinginan untuk belajar berkompromi dengan orang lain. Berbulan-bulan. Mungkin bertahun-tahun. Namun, paling tidak sampai aku menulis catatan ini, aku merasa kami masih jauh api dari panggang. Jauh dari kata saling berkompromi.

Some people told me, that's because of too much differences between us. Hal-hal yang bertolak-belakang, saling tidak diterima, dan beberapa hal yang tidak dapat ditoleransi. Tapi, bukankah begitu halnya orang berkompromi? Sebab jika semuanya sudah sama, tidak ada gunanya berkompromi?

Hal lain yang mengganggu adalah karena rasa percaya itu ibarat sebuah cermin kaca. Sekali ia dihancurkan, maka sekuat apapun diperbaiki, tetap akan cacat. Dan aku kehilangan banyak kepercayaanku pada orang yang berkali-kali merusak keyakinanku akan sesuatu. Mungkin pada sebuah prinsip, mungkin pada janji yang dibuatnya sendiri, mungkin juga pada rasa welas asih dan kebaikhatian, pada sabar yang makin lama makin tidak ada artinya.

Lalu pada sebuah titik, aku mempertanyakan, "Apakah alasan terbesar orang pergi karena ia punya alasan untuk pergi, atau cukup karena ia tidak punya alasan untuk tetap di sini?"

Ternyata aku tidak ke mana-mana. Tidak beranjak pergi tapi juga tidak memutuskan untuk pulang.

***

Di antara banyak hal yang kukutuk sepanjang tahun aku hidup di Jakarta, nyatanya aku masih bersyukur memiliki beberapa hal lain yang luar biasa. Ingat tentang daftar cita-cita untuk menjadi manager sebelum usia 25 tahun, menjadi PR di perusahaan, menjadi penulis, dsb?

I got all of those above. Literally. And I should be very very grateful for them.

Aku bahkan tidak tahu apa lagi yang mesti aku sedihkan dalam 23 tahun hidupku yang ternyata luar biasa ini selain pada sebuah kompensasi bahwa ini menjauhkanku dari seseorang yang ideal untuk memiliki relasi personal yang manis.

Tuhan adil meski adil tidak selalu artinya sama. "Kamu cuma kurang bersyukur," kata beberapa orang yang akhirnya selalu kubalas dengan senyum getir kayak karet yang direnggangin susah payah.

***

"Lulus udah. Kerja okelah."
"Karier tertata rapi. Aman."
"Masak bisa, tinggal dijalanin. Kurang apa nih?"
"Nikah!"
"Hahahaha!"

Di tengah gempuran gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, semua orang seusiaku berseloroh ihwal pernikahan yang sebenarnya kami semua takuti.

Orang tidak akan pernah bisa yakin untuk menikah selama ia masih berpikir dunia harus memahaminya sebab ia begini, begitu, dan seterusnya. Orang tidak akan pernah bisa yakin untuk menikah selama satu-satunya alasan untuk menikah hanya karena menginginkan "pasangan" untuk dirinya sendiri, sementara ia tidak berpikir bahwa orang yang menjadi pasangannya juga menginginkan "pasangan" untuk dirinya sendiri juga.

Dua orang egois tidak akan menikah. Dan tidak seharusnya pula menikah.

Sebab ketika dua orang menikah, akan ada orang ketiga, keempat, dan seterusnya, yang tidak pernah meminta untuk lahir di dunia yang bodoh ini. Apalagi dilahirkan dari dua orang bodoh yang masih berpikir urusan perutnya masing-masing, yang masih tidak rela berbagi makanannya, uangnya, tempat tidurnya. Apalagi berbagi hidup? Membagi hal yang masih bisa dicari saja susah dan harus melalui perdebatan yang panjang untuk mengukur untung ruginya.

It will not work. Hence, I still have no idea of marriage. We don't have any idea of marriage.

***

Ketika aku berumur 18 tahun, yang kupikirkan tentang hari ini adalah studi master di bidang humaniora atau psikologi gender.. dengan suami yang mas-mas enjiner.

Damn.

Aku nggak ngerti kenapa waktu itu pikiranku sesederhana itu. It was like, hidupku semuanya baik-baik saja sampai aku masuk usia 20an dan banyak hal mau tidak mau berubah dari rencana. Aku tidak jadi studi, aku tidak jadi menikah muda, dan orang yang selalu kupikirkan sebagai jodohku, ternyata bukan.

Aku seperti orang yang memegang peta tapi tersesat di hutan belantara penuh rawa-rawa. But yeah, I still survive. Dan kemudian, sampai usiaku segini, aku baru nyadar ini bagian dari semesta yang berkonspirasi. Tidak ada suatu kejadian yang tidak direncanakan. Kalo tidak olehku, paling tidak oleh-Nya.

Ibaratnya, semua hal yang kupikirkan, kuhitung masak-masak, dan kulakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan adalah segepok proposal untuk hidup yang aku juga tidak tahu kapan akhirnya. Dan seperti halnya proposal; beberapa ditolak, beberapa diterima tanpa revisi, beberapa diterima setelah direvisi berkali-kali.

Akhirnya aku harus bilang terima kasih atas semua perjalanan panjang dan menyenangkan. Jakarta akan menyenangkan, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Bagiku akhirnya di Jakarta tidak ada lagi hal yang patut kupertanyakan sebab semuanya sudah cukup. Keluarga yang baik, teman-teman yang menyenangkan, pekerjaan yang menjanjikan dengan keyakinan di atas rata-rata, dan semuanya.

It was great of 2018 and I am so thankful.

Terima kasih. Terima kasih.



Share: