Berakhir pada Sebuah Tanya


"Apa yang paling menyenangkan dari tinggal di suatu tempat?"
"Hmm apa ya? Orangnya?"

Hari itu kami terjebak badai yang menghalangi makan malam bersama keluarga di rumah. Hujannya deras sekali dan berkali-kali pesanan taksi onlineku tidak membuahkan hasil. Aku memutuskan menutup laptop, meletakkan ponsel, dan lalu duduk memandangi titik-titik air yang turun di jendela kaca.

"Cokelat mau?" Seseorang duduk di atas kursi di seberang meja.
"Air putih lebih sehat," jawabku setengah bercanda.
"Kalo orangnya, mana yang paling mengesankan di antara orang-orang yang kamu temui sebelum ini?" tanyanya lagi. Aku mengernyit sebentar.
"Sepanjang ingatanku di Semarang. Kotanya panas sih, tapi orang-orangnya hangat. Suka misuh sih, ngomongnya kasar, tapi atmosfernya baik sekali."
"Kalau Jogja?"
"Jogja menyenangkan karena ceritanya. Orang-orangnya lebih banyak dan lebih beragam, tapi terlalu ekstrem."
"Ekstrem?"
"Kalau nggak hitam banget, putih banget. Nggak ada abu-abu. Antara yang menyenangkan sekali atau yang menyedihkan sekali. Ekstrem."
"Hahaha! Trus kalau Jakarta?"
"Flat. Aku nggak merasakan apa-apa."

***

Di Jakarta setiap orang memiliki porsinya masing-masing. Mereka yang tinggal di gerobak akan berbagi hidup dengan para anggota dewan, pejabat pemerintah, hingga para pimpinan perusahaan beromzet triliunan setiap bulannya. Mereka yang lahir, tinggal, dan jatuh cinta, akan berbagi tempat dengan para pendatang yang suka, ataupun orang-orang yang terpaksa atau setengah terpaksa. Yang memuja akan berbagi tempat dengan mereka yang mengutuki Jakarta. Setiap orang akan punya bagiannya, dan begitu pula aku di sini.

Tak heran jika semuanya menjadi lebih tidak peduli. Apa yang harus dipedulikan? Toh setiap orang akan punya bagiannya sendiri-sendiri. Apa yang mesti dipikirkan? Toh setiap orang akan punya masalahnya sendiri-sendiri. Hal-hal ini yang entah kenapa membuat orang-orang sepertiku merasa Jakarta adalah tempat yang ideal, untuk menghilang.

***

Kita tak pernah bosan memikirkan luasnya tata kosmik
Tapi di situlah kau dan aku luput memikirkan jagad diri kita masing-masing

Selamanya kita mungkin akan menjadi orang yang tidak mengenal diri kita sendiri. Dan selamanya pula, kita akan menjadi orang yang paling asing untuk orang-orang yang paling dekat keberadaannya. Itulah kenapa tidak mengherankan jika ada orang yang menghubungi gebetannya lebih sering dibanding orang tuanya. Akan ada orang yang rela menyisihkan uang untuk buka bersama atau memberikan cokelat Valentine pada koleganya, tetapi perincian untuk hadiah ulang tahun ibunya.

Sebab sayang pada orang-orang terdekat sudah terlalu biasa sehingga tidak ada lagi penghargaan yang berlebih untuk itu. Sebab berbuat baik pada orang-orang terdekat sudah terlalu sering, sehingga tidak ada nilainya. Kita akan selalu asing pada kedekatan-kedekatan yang kita ciptakan, dan pada orang-orang yang kita miliki. Namun begitulah kita, orang-orang yang terlalu sibuk memikirkan luasnya tata kosmik, namun luput pada jagat diri kita masing-masing.

***

Lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita
Apakah kau masih akan berkata
"Kudengar derap jantungmu.."
Kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta.

Jakarta yang sepi membisiki telinga kita dengan sebuah bahasa yang tidak kita mengerti untuk mengutarakan hal-hal yang tidak kita pahami. Ketika kau, aku, dan semua orang di sini terbius dan dilumat egonya masing-masing. Tapi Jakarta akan selalu seperti itu; asing dalam kedekatan, tak acuh dalam kata kepedulian yang sudah tidak ada harganya. Semuanya memiliki porsinya masing-masing.

Tapi aku, aku bersyukur.

Setidaknya aku tidak merasakan apa-apa.

***

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku.

Kabut tipis pun turun perlahan-lahan
di lembah kasih, Lembah Mendalawangi.
Kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin.

Apakah kau masih membelaiku semesra dulu?
Ketika kudekap kau
dekaplah lebih mesra, lebih dekat

Hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang kita tidak mengerti
seperti kabut pagi itu.*



*puisi "Sebuah Tanya" oleh Soe Hok Gie
Share: