Proposal di Tahun 2018

Ini menjadi tahun baru kedua di Jakarta. Yang pertama dua tahun lalu, di Tebet, diiringi ceramah dari masjid di sekitar rumah tentang bahaya meniru orang kafir dengan ikut-ikutan meniup terompet dan sebuah tekad kuat untuk lulus kuliah.

Setahun setelahnya aku sungguhan lulus. Masih mengerjakan revisi, tapi setidaknya aku beneran lulus. Aku di Jogja. Lupa apa yang kukerjakan, tapi seingatku aku memang tidak begitu menikmati tahun baru semenjak perayaan menyambut kedatangan Bakuh ke Jogja berbuntut petasan yang mengenai pelipisku. Sejak saat itu aku tidak pernah merayakan tahun baru dengan semarak. Seperlunya aja.


Tahun ini aku tidak menyangka aku memutuskan tinggal di tempat yang kukutuk selama bertahun-tahun hidupku. Mungkin untuk beberapa tahun ke depan hidupku akan di sini; pekerjaanku, masa depan karierku, tinggal itu yang berharga. Di rumah ada keluarga yang paling tidak setahun sekali kukunjungi ketika lebaran dan sebulan sekali mulai 2019, besar kemungkinan aku akan bolak-balik Jakarta-Jogja.

Aku mungkin akan rindu Jogja seperti tahun-tahun di Semarang. Lalu sekelebat pernyataan Mbak Nina tentang Jogja terngiang di kepalaku. Katanya, "Jogja itu cocoknya buat liburan aja. Buat dikangen-kangenin kayak gini. Kalau udah tinggal di sini ya biasa aja."

Aku hampir membenarkan kata-kata Nina, tapi kemudian aku ingat bahwa empat tahunku yang berharga di Jogja ternyata lebih dari sekadar rutinitas kuliah dan menghabiskan hidup sehari-hari. Jogja ternyata seberharga itu, baik ketika ditinggal maupun ditinggali. Karenanya meski akhirnya aku memutuskan tinggal di Jakarta setelah lulus, aku masih punya keinginan suatu hari nanti kembali saja ke Jogja. Pas udah lelah dan mau hidup lebih selo.

***

Tahun 2018 tidak menyisakan banyak kenangan yang membekas selain karena akhirnya aku wisuda. Aku hampir tidak punya cerita pertemanan yang mengesankan karena seingatku ini adalah waktu di mana aku sungguh merasa tidak punya teman di sekitarku.

Maka hari-hari di 2018 lebih banyak tentang beban pekerjaan yang segimanapun aku mencoba santai dan menikmati, ternyata mengurangi berat badanku cukup drastis. I got my 40's weight after years. Tidak pernah sadar sampai satu per satu orang mulai mengomentari aku terlalu kurus dan melihat potret diriku sendiri satu atau dua tahun lalu.

But I am okay as long as aku nggak jatuh sakit. Bagian paling tidak menyenangkan dari hidup seorang diri adalah ketika sedang sakit. Dan karenanya aku tidak suka sakit. Saking aku parno dengan semua bentuk sakit, aku sering mengalami kejadian berlebihan seperti misalnya periksa ke dokter penyakit dalam karena keracunan makanan.

I spent a lot of money for this, tapi paling tidak, perkara sakit-sakit ini harus kuatasi untuk meyakinkan diri sendiri that I don't need someone else to live in Jakarta. Life is tough. Dan beginilah kupikir sikapku. Paling tidak sampai aku menuliskan catatan ini.

***

Selama 23 tahun hidup, aku merasa aku tidak pernah memikirkan orang lain. Aku tidak peduli apa kata mereka, aku tidak pernah punya rasa kasihan atau empati --ini menghancurkan masa depanku sebagai psikolog pada awalnya, dan aku mungkin terlalu egois karena selalu memusatkan dunia ini cuma atas perspektifku.

Pada mulanya adalah keinginan untuk belajar berkompromi dengan orang lain. Berbulan-bulan. Mungkin bertahun-tahun. Namun, paling tidak sampai aku menulis catatan ini, aku merasa kami masih jauh api dari panggang. Jauh dari kata saling berkompromi.

Some people told me, that's because of too much differences between us. Hal-hal yang bertolak-belakang, saling tidak diterima, dan beberapa hal yang tidak dapat ditoleransi. Tapi, bukankah begitu halnya orang berkompromi? Sebab jika semuanya sudah sama, tidak ada gunanya berkompromi?

Hal lain yang mengganggu adalah karena rasa percaya itu ibarat sebuah cermin kaca. Sekali ia dihancurkan, maka sekuat apapun diperbaiki, tetap akan cacat. Dan aku kehilangan banyak kepercayaanku pada orang yang berkali-kali merusak keyakinanku akan sesuatu. Mungkin pada sebuah prinsip, mungkin pada janji yang dibuatnya sendiri, mungkin juga pada rasa welas asih dan kebaikhatian, pada sabar yang makin lama makin tidak ada artinya.

Lalu pada sebuah titik, aku mempertanyakan, "Apakah alasan terbesar orang pergi karena ia punya alasan untuk pergi, atau cukup karena ia tidak punya alasan untuk tetap di sini?"

Ternyata aku tidak ke mana-mana. Tidak beranjak pergi tapi juga tidak memutuskan untuk pulang.

***

Di antara banyak hal yang kukutuk sepanjang tahun aku hidup di Jakarta, nyatanya aku masih bersyukur memiliki beberapa hal lain yang luar biasa. Ingat tentang daftar cita-cita untuk menjadi manager sebelum usia 25 tahun, menjadi PR di perusahaan, menjadi penulis, dsb?

I got all of those above. Literally. And I should be very very grateful for them.

Aku bahkan tidak tahu apa lagi yang mesti aku sedihkan dalam 23 tahun hidupku yang ternyata luar biasa ini selain pada sebuah kompensasi bahwa ini menjauhkanku dari seseorang yang ideal untuk memiliki relasi personal yang manis.

Tuhan adil meski adil tidak selalu artinya sama. "Kamu cuma kurang bersyukur," kata beberapa orang yang akhirnya selalu kubalas dengan senyum getir kayak karet yang direnggangin susah payah.

***

"Lulus udah. Kerja okelah."
"Karier tertata rapi. Aman."
"Masak bisa, tinggal dijalanin. Kurang apa nih?"
"Nikah!"
"Hahahaha!"

Di tengah gempuran gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, semua orang seusiaku berseloroh ihwal pernikahan yang sebenarnya kami semua takuti.

Orang tidak akan pernah bisa yakin untuk menikah selama ia masih berpikir dunia harus memahaminya sebab ia begini, begitu, dan seterusnya. Orang tidak akan pernah bisa yakin untuk menikah selama satu-satunya alasan untuk menikah hanya karena menginginkan "pasangan" untuk dirinya sendiri, sementara ia tidak berpikir bahwa orang yang menjadi pasangannya juga menginginkan "pasangan" untuk dirinya sendiri juga.

Dua orang egois tidak akan menikah. Dan tidak seharusnya pula menikah.

Sebab ketika dua orang menikah, akan ada orang ketiga, keempat, dan seterusnya, yang tidak pernah meminta untuk lahir di dunia yang bodoh ini. Apalagi dilahirkan dari dua orang bodoh yang masih berpikir urusan perutnya masing-masing, yang masih tidak rela berbagi makanannya, uangnya, tempat tidurnya. Apalagi berbagi hidup? Membagi hal yang masih bisa dicari saja susah dan harus melalui perdebatan yang panjang untuk mengukur untung ruginya.

It will not work. Hence, I still have no idea of marriage. We don't have any idea of marriage.

***

Ketika aku berumur 18 tahun, yang kupikirkan tentang hari ini adalah studi master di bidang humaniora atau psikologi gender.. dengan suami yang mas-mas enjiner.

Damn.

Aku nggak ngerti kenapa waktu itu pikiranku sesederhana itu. It was like, hidupku semuanya baik-baik saja sampai aku masuk usia 20an dan banyak hal mau tidak mau berubah dari rencana. Aku tidak jadi studi, aku tidak jadi menikah muda, dan orang yang selalu kupikirkan sebagai jodohku, ternyata bukan.

Aku seperti orang yang memegang peta tapi tersesat di hutan belantara penuh rawa-rawa. But yeah, I still survive. Dan kemudian, sampai usiaku segini, aku baru nyadar ini bagian dari semesta yang berkonspirasi. Tidak ada suatu kejadian yang tidak direncanakan. Kalo tidak olehku, paling tidak oleh-Nya.

Ibaratnya, semua hal yang kupikirkan, kuhitung masak-masak, dan kulakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan adalah segepok proposal untuk hidup yang aku juga tidak tahu kapan akhirnya. Dan seperti halnya proposal; beberapa ditolak, beberapa diterima tanpa revisi, beberapa diterima setelah direvisi berkali-kali.

Akhirnya aku harus bilang terima kasih atas semua perjalanan panjang dan menyenangkan. Jakarta akan menyenangkan, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Bagiku akhirnya di Jakarta tidak ada lagi hal yang patut kupertanyakan sebab semuanya sudah cukup. Keluarga yang baik, teman-teman yang menyenangkan, pekerjaan yang menjanjikan dengan keyakinan di atas rata-rata, dan semuanya.

It was great of 2018 and I am so thankful.

Terima kasih. Terima kasih.



Melengkapi Fragmen Jakarta

Aku merangkum kembali seluruh ingatanku tentang mengapa aku mau ke tempat ini.

Dalam benakku Jakarta adalah segala hal yang kita butuhkan untuk lupa. Pernah suatu hari aku sakit hati sebegitunya dan Jakarta adalah tempat sempurna untuk pergi, menenggelamkan diri dalam rutinitas padat dan menuntut berpikir ekstra. Aku lalu lupa.

Di satu sisi Jakarta menawarkan hiburan yang meriah; konser murah, jam session gratisan, sampai pameran-pameran seni — dan semuanya bisa kamu nikmati seorang diri. Kamu mungkin tidak butuh orang lain untuk sekadar menikmati kelas-kelas di Bentara Budaya atau menonton konser di TIM.


Ini tahun pertamaku kembali lagi ke tempat ini. Dua tahun lalu ketika aku di sini emosiku melekat pada orang-orang yang kutemui; beberapa dari mereka mempengaruhi perspektifku hingga kini. Aku belajar banyak hal yang kini satu per satu ingin kuulangi.

Seingatku pertama kali aku bekerja secara profesional tahun 2014 dan waktu itu aku masih kuliah. Jadi aku ingat setiap pulang kampus aku ke kantor, menenteng laptop yang segede melon, begitu setiap hari bahkan di akhir pekan.

Karena aku tinggal di Concat, maka sudah pasti aku melewati derita dunia lampu merah Gejayan yang aduhay. Beberapa waktu kemudian aku menemukan sebuah kedai kopi di dekat kantor tempatku akhirnya banyak membaca buku-buku Ayu Utami dan beberapa penulis kenamaan lainnya. Maka aku memutuskan menghabiskan waktu senja di sana, menunggu Maghrib terlewat, bahkan sampai malam, hanya untuk bisa motoran dengan tenang.

Yes. Motoran sendiri. Sebelumnya ketika aktif di persma aku bahkan pulang melewati ringroad utara yang konon banyak klitih-nya seorang diri pukul satu dini hari. Saking seringnya aku pulang pukul satu ini, aku sampai punya sebuah prosa tentang sepasang roh yang berjalan-jalan pukul satu dini hari.

Setelahnya aku tidur dan besoknya kuliah setengah delapan pagi. Begitu setidaknya aku menghabiskan sepanjang tahun perkuliahan hingga awal 2016 aku memutuskan untuk resign untuk fokus KKN, skripsi — dan membuat startup wkwk.

“Aku mau seproduktif dulu sih, tapi dengan vibes Jakarta. Kayaknya asik deh. Soalnya di sini orang gerak serba cepat,” ujarku pada seorang kolega di kantor.
Maka dimulailah rutinitas ke kantor sebelum pukul sembilan.

Aku tetap pulang malam seperti biasa. Tapi paling tidak sekarang tidak pernah dugem atau pulang pagi — sudah setahun ini sepertinya, aku menghindari tempat-tempat beralkohol, dan juga teman-teman perokok.

Satu langkah progresif karena beberapa hari ini aku konsisten dengan tidak tidur pagi.

***

Apa yang membuat seseorang berubah?

Aku tidak tahu. Di pikiranku aku pernah melihat versi lebih baik dari diriku sendiri. Kini aku 20an tahun dan aku mungkin hampir punya segala hal yang menjadi standar apa saja yang harus dimiliki orang seumuranku; aku lulus dari kampus ternama, punya pekerjaan bagus, mandiri secara finansial, karierku progresif dan prospektif dalam beberapa tahun ke depan, teman-temanku baik, keluargaku menyenangkan, dan aku masih bisa ngereceh di Twitter — ini anugerah terbesar dalam hidup.

Satu-satunya yang kupikirkan memburuk adalah belakangan aku merasa aku terlepas dari otoritas akan diriku sendiri. Mungkin akhirnya aku menyadari aku terlalu bergantung pada orang lain.

“Nggak seindependen dulu,” komentar teman yang kukenal sejak SMA.

Akupun mulai berpikir hari-hari di mana aku hanya fokus pada belajar dan bekerja tanpa banyak drama yang bikin ambyarr semuanya.

“I have seen you better. Kamu orang yang di kafe sendirian, berjam-jam dengan laptop sama buku, ke mall sendirian, belanja sendirian, kamu blogger receh yang produktif, dan kamu sangat easy going,” katanya.

Ia meneruskan, “Kamu bahkan dicari temenmu pukul satu pagi untuk diajak ke burjo karena dia galau, dan kamu mau! You’re such a good friend! Di tengah vibes Jogja yang serba selo kamu bisa gerak cepet, temenmu cuma kuliah kamu udah milih kerja, temenmu di level LM kamu udah melenggang ke FORMAD. What does happen with you?”

“Hmm nggak tahu.”

***

Di benakku soal Jakarta kemarin-kemarin adalah sebuah upaya untuk lupa, sebuah tempat sempurna untuk hilang ingatan. Namun belakangan aku mulai membuka-buka kembali ingatan tentang mengapa sejak dulu kupikir tempat ini ideal untuk mendidikku ketika aku sudah cukup dewasa — membentukku dalam sebuah pribadi yang utuh.

Jakarta bergerak serba cebat dengan logikanya sendiri. Ia hampir tidak menyisakan ruang untuk semua rasa baper dan hal-hal yang tidak logis atasnya. Aku ingat tentang lelucon lebih baik tinggal di bekas kuburan tapi murah karena di Jakarta lebih serem nggak punya uang daripada ketemu setan.

“Di sini tuh kalau kamu cuma mau cari uang, asalkan kamu mau kerja, kamu akan punya uang — sesederhana itu. Dan kamu, kamu punya privilege untuk lebih dari sekadar punya uang dan kerja, kamu bisa mikir, otakmu encer. Yang penting jangan males!” — Kak Bachtiar dalam sesi habis Maghrib di kantor.
Terlepas dari banyaknya pandangan negatif yang kudengar soal mantan bossku itu — eh, ada banyak sekali hal yang ia katakan sangat relevan untukku pada akhirnya. Jangan males. Jakarta tidak punya ruang untuk orang males. Itu salah satu yang ternyata menarikku ke sini lagi.

Kedua — masih yang ia katakan dalam sesi habis Maghrib — adalah selalu berpikir logis pada apapun yang kita lakukan. Jakartan menerapkan itu dan sesederhana itu sebenarnya untuk menjalani segala hal lebih mudah di sini.

“Kamu di rapat dimaki-maki karena kerjaanmu buruk tapi habis itu makan siang bareng, dan ya udah, profesional kok.”

***

Gerak serba cepat, logis, dan selalu mengedepankan profesionalitas tanpa baper yang berlebih mungkin pada akhirnya menjadi alasan terbesar mengapa dulu aku mau ke sini. Pikirku akhirnya hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang untuk bertahan dari segala apapun yang tidak menyenangkan.

Aku hampir punya semua hal yang menyenangkan — bagaimanapun harus disyukuri. Dan menurutku bentuk rasa syukur paling nyata adalah berupaya sebisa-bisanya, sebaik-baiknya untuk tetap menjadi versi terbaik dari diri-sendiri.

Bagiku akhirnya cara melengkapi fragmen Jakarta ini bukan dengan mengutuk kotanya yang kejam atau lalu-lintasnya yang buruk. Tempat ini mendidik orang untuk jadi setangguh mungkin mencapai versi terbaiknya tanpa harus bergantung pada orang lainnya. Kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri, atas kebahagiaan, atas semua masalah — yang harus diperjuangkan. Segala hal diperhitungan logis dan tidak banyak baper yang menguras emosi.

I do my thing and you do your thing. I am not in this world to live up to your expectations, and you are not in this world to live up to mine. You are you, and I am I, and if by chance we find each other, it’s beautiful. If not, it can’t be helped. — Gestalt prayer.

Tentang Sekolah Lagi dan Menjadi 'Master'

Seperti halnya semua mahasiswa Psikologi UGM, aku pernah punya cita-cita untuk langsung menempuh pendidikan master segera setelah lulus. Tahun 2018, aku menargetkan ke Belanda atau ke Inggris untuk mengambil master di bidang humanities atau studi psikologi sosial lainnya. Tapi serapi-rapinya matematika kita, tetep tidak akan bisa memprediksi matematika Tuhan yang luar biasa.

Di tengah-tengah proses kuliahku yang tadinya baik-baik aja, muncul masalah keluarga yang membuatku terlihat sangat egois kalau mau kekeuh untuk sekolah lagi segera setelah lulus. Pada waktu itu aku bahkan hanya berpikir studiku harus segera selesai, aku bisa punya uang sendiri, bertahan hidup sendiri, dan lain-lain --beberapa hal yang membawaku pada keputusan kerja bahkan sebelum aku lulus.


Pada akhirnya aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk bekerja lebih awal pada saat itu. Aku mengubah "road map" dari semua hal yang kususun dengan baik ketika pertama kali aku masuk UGM. Sobat PPSMB pasti paham kan, tentang peta hidup 20 tahun ke depan yang diminta katingmu buat bikin waktu kamu OSPEK? WKWK. Aku juga punya.

Terlalu banyak yang berubah dalam tahun-tahun perkuliahan. Sesuatu yang kini kupahami sebagai dinamika kehidupan mahasiswa. Pada akhirnya kuliah S1 itu adalah sebuah "jeda" untuk berpikir dan menyusun kembali tujuan hidup. Hence, kamu perlu dukungan environment yang tepat agar kamu tidak keliru, atau paling tidak, nggak bingung ketika lulus.

Kembali pada tujuan sekolah lagi.

Biar aku jelaskan bahwa sebagai mantan 'inteleque' muda penghuni B21, aku sangat mengagumi isi pikiran seseorang. Aku melihat senior-seniorku menempuh studi dan menulis dengan sangat berkelas dan heroik. Logikanya tersusun rapi, cerdas, dan aduh pokoknya keren lah.

Jauh dalam pikiranku, ada sebuah ekspektasi yang 'lebih' pada mereka yang bergelar master. Because ya.. they are 'master' kan ya?

Dalam pikiran naifku, bergelar master akan sedikit mengubah perspektifku tentang suatu hal yang selama ini kupahami secara general. Katakanlah aku yang sekarang S.Psi, aku menyukai psikologi sosial, aku menyukai studi gender dan isu-isu seputar perempuan. Mungkin ketika aku studi master soal ini, aku akan sangat 'ndakik-ndakik' bicara ihwal topik tersebut. Bisa karena aku ketemu profesor-profesor baru, buku-buku baru, jurnal-jurnal baru, yang selama ini masih terbatas sebab yeah.. I'm just undergraduate gituh. Otomatis, dengan segala upgrading 'master' tersebut, segala hal yang kumiliki saat ini juga ikut terupgrade; cara berpikir, cara bekerja, kehidupan profesional, gaji?

Tadinya aku berpikir begitu.

"Kau tahu, studi master tidak seistimewa itu. Kalau tidak percaya, tinggallah dan bekerja di Jakarta."
Bagi orang-orang sepertiku, pendidikan adalah privilege. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan sekolah yang bagus. Karenanya, orang-orang sepertiku memiliki ekspektasi yang lebih pada mereka yang sekolah lebih tinggi.

Namun, di Jakarta tidak begitu. Di sini banyak orang hidup dengan privilege sejak lahir. Jangankan buat sekolah sampe dapat gelar master ah elaaah, ibaratnya mereka pilek aja bisa kliniknya di Singapore gituh. Sejak kecil, orang-orang yang hidup dengan privilege mendapatkan banyak kemudahan dalam hidupnya, termasuk soal studi. Namun, dari sini, value dari menjadi seorang master itu tiba-tiba tergerus.

Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi kayaknya performa kerjanya B aja, banyak.
Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi logikanya kacau balau, banyak.
Kalau kamu ketemu orang yang gelarnya master, tapi goblok setengah mati, ya ada.

Simply because bagi mereka master ya adalah cuma master. Mau yang dalam negeri, luar negeri, banyak. Makanya ketika di Jakarta, aku lebih suka untuk menanyakan sesuatu dengan lebih detail. Misalnya, si A lulusan luar negeri. Luar negeri mana? Lebih jauh, kampusnya apa? Studi apa di sana? Atau kalau kepo banget aku akan nanya dulu tesisnya apa dan bagaimana metode penelitiannya.

Ada loh orang bergelar master degree dari salah satu universitas di Inggris yang tesisnya pakai metodologi yang bahkan di kampusku S1 ngajuin kayak gitu, buat beberapa dosen yang high level, mereka nggak ngebolehin karena terlalu sederhana dan datanya rawan bias. Ya jangan lah berekspektasi untuk mendapatkan analisis yang mendalam atau publikasi yang ciamik di jurnal internasional, lah level lulusnya aja sebatas yang-penting-lulus gitu.

So, it's not about the degree. Instead, it's all about yourself as an individual.

Aku belajar satu hal yang sangat mahal dari pertemuanku dengan 'orang-orang bergelar master' ini: sebelum sekolah lagi, tetapkan tujuan yang jelas mengapa mau sekolah lagi.

Gaesss. Studi master bukan karena kamu lulus S1 dan jobless berbulan-bulan lalu karena tertekan sama society kamu memilih sekolah lagi. Bukan juga karena kamu kerja tapi kok kayaknya B aja trus berharap dengan sekolah lagi akan membuat kariermu membaik. No, no, no.

"Jadi, lu nggak mau ambil master?" tanya seseorang akhirnya.
"Ya maulah pasti. Gila lu gamau haha. Tapi.."
"Tapi?"
"Tapi ada perhitungannya. Because I am on the right track being professional."

Yeah, I am a junior manager right now and my professional career is still growing. Melihat perhitungan pekerjaanku saat ini, naif kalau aku bilang aku akan melakukan apapun untuk mendapat gelar master.

"Eventho dapet beasiswa?"
"Iya. Unless itu beasiswa dari kantor mungkin, ya. Yang terus abis selesai sekolah gue dapet promosi jabatan gitu ya masuk sih itung-itungannya."
"Hmm ya juga ya."
"Iyalah. Kalau udah capek-capek kuliah, bayar mahal, tapi ujung-ujungnya harus memulai karier dari nol banget ya nyesek dong anjaay. ROI minus."

Return on Investment (ROI) menjadi bahan bercandaan yang paling santer aku dengar di kalangan teman-temanku. Maklum, sobat missqueen kayak kami yang di UGM kuliahnya cukup mengandalkan UKT bersubsidi masih menganggap biaya pendidikan kayak bentuk investasi. Ujung-ujungnya aku (dan mungkin teman-teman sepergaulan missqueenku) nggak menampik kalau tujuan bersekolah tinggi agar kemampuannya tinggi dan kemudian dihargai lebih tinggi.

Somehow aku masih percaya kalau kemampuan berpikir seseorang itu berbanding lurus dengan performa kariernya. Kan nggak lucu juga kalau tukang soto dipaksa jadi seniman mural atau tukang kayu dipaksa menjahit. Semua kemampuan ada porsi dan tempatnya masing-masing.

But again, it's not about the degree. It's about yourself as an individual.

Akhirnya aku percaya bahwa terlepas dari gelar apapun yang dimiliki seseorang, kualitas individu tetap tidak bisa berbohong. Mau nggak ada gelar apapun kalau emang basicnya udah ok ya bakal keliatan ok. Sebaliknya, mau gelarnya sepanjang apapun kalau otaknya B aja ya bakalan B aja dan itu keliatan kok di orang yang sudah dewasa.

"Jadi.. master udah nggak sakral?"
"Masih dong.."
"Lah bentukane 'itu' juga master loh.."

Wqwqwq.

Sekolah lagi masih menjadi keinginanku selain enhancing karier dan menjadi profesional di bidang bisnis digital saat ini. Entah untuk bergelar master, PhD, atau apapun, aku masih mencita-citakan sekolah lagi dan belajar hal baru sebagai sebuah tujuan dan proses sepanjang masa yang harus selalu dikejar dan diupayakan.


Pertemanan Sehat


Kepada adik-adik saya, satu hal yang selalu saya ajarkan sejak mereka kecil dan bergumul dengan peer groupnya adalah kalo punya temen tuh pilih-pilih. Bukan mengajarkan sombong, tetapi lebih kepada kamu memfilter lingkaran sosialmu agar membentuk dirimu seideal mungkin ke depannya.

Saya belajar banyak soal bagaimana lingkaran pertemanan ini berpengaruh sekali, misal pada abang saya di Jogja yang sejak dulu kukagumi lingkaran pertemanannya atau ketika di kerjaan sendiri saya melihat founder mendapatkan berbagai kesempatan bisnis ya dari orang-orang di sekitar, dari teman-temannya, dari circle terdekatnya. Therefore, I believe that #pertemanansehat works dan itu kemudian juga menjadi satu prinsip yang saya yakini sampai sekarang.

Saya bersyukur kuliah di UGM dan tinggal di Jogja selama bertahun-tahun. Bergaul dengan banyak orang yang meskipun "terbatas" namun bisa saya pastikan sangat berkualitas. Saya tidak punya banyak teman dari jurusan. Instead, saya membangun pertemanan saya justru dari anak-anak Fisipol, Hukum, hingga Ilmu Komputer. Dari mereka, tidak hanya kesempatan mengembangkan karier dan belajar hal-hal baru yg saya dapat, namun juga membentuk kepribadian saya untuk jadi orang yang lebih terbuka dan adaptif --dan tentu saja berkembang dari waktu ke waktu.

Saya bertemu orang berumur 27 tahun dan clueless kenapa urusan pertemanan menjadi sepenting ini; mengapa bergaul dengan mereka yg di usia 30an tapi tidak menampakkan peforma karier yang signifikan itu bahaya, atau kenapa bergaul dengan bapak-bapak yg punya anak perempuan peminum alkohol dibiarkan itu tidak baik. Ini soal pola pikir. Berada di suatu environment akan membentuk pola-pikir seseorang. Mungkin tidak disadari secara langsung, tapi pasti terbentuk. Entah dari perspektif melihat sesuatu, atau paradigma berpikir akan suatu fenomena.

Lebih dari itu, pertemanan menentukan pula penilaian orang terhadap kita. Setuju atau tidak, terserah. Pilihan masing-masing. Tapi, paling tidak sekarang paham kan, kenapa dalam setiap konflik yg bergesekan dengan teman-teman, saya mengedepankan mereka?

Karena teman-teman bagi saya adalah aset. Saat ini mungkin mereka hanya sebatas konco suwung ataupun teman yang dicari ketika buntu soal kerjaan atau hal-hal semacamnya. Namun, 10 tahun dari sekarang who knows kita akan punya bisnis bersama? Atau salah satu dari mereka adalah pemegang kebijakan? Atau malah investor yang akan membantu bisnis kita? Nobody knows about future tapi saya percaya pada proyeksi dari hal-hal yang terjadi pada masa kini. Terlebih proyeksi dari bagaimana pola pikir seseorang, bagaimana habit seseorang, dan lain sebagainya.


Tentang Relasi dan Perempuan yang Gagal Memaknai Hidupnya


Fragmen Pertama

Ketika mendengar selentingan bahwa si Bunga --bukan nama sebenarnya-- memiliki suatu "romantisme" terlarang dengan --sebut saja-- Joko, hari itu aku cuma menganggapnya angin lalu. Meski di depan mataku sendiri, aku pernah menyaksikan "sikap tidak biasa" yang dilakukan oleh dua orang yang sudah sama-sama dewasa. Bagaimanapun, aku perempuan 20an tahun, aku bertahun-tahun kuliah psikologi, dan yang terpenting, aku pernah jatuh cinta dan memiliki suatu relasi intim dan romantis dengan lawan jenis. Aku bisa melihat dengan sangat jelas; ya, mereka memiliki relasi yang tidak biasa. Tapi.. masa sih? Bukannya si Joko sudah beristri dan punya anak?

"Memang gitu sisss!" Si pemilik informasi terlengkap di sana membuka suara. Hari itu kami sedang di jalan untuk makan malam di dekat kampus.
"Kamu serius?" tanyaku. Masih tidak percaya.
"Astaga! Ngapain aku bohong sama kamu tuh buat apa? Faedahnya apa buat aku tuh apa?"

Sepanjang makan malam kemudian, topik obrolan kami hanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang bahkan sampai sekarang, lebih dari setahun berlalu semenjak hari itu, masih belum terjawab.

Sejujurnya, sebagai perempuan berumur 23 tahun, aku sampai sekarang bertanya-tanya, sebenarnya, bagaimana sih masa depan yang dibayangkan perempuan berumur 20an seperti kami, belum menikah, berpendidikan tinggi, dan memiliki pekerjaan yang membuat kami bisa bertahan hidup sebagai perempuan terhormat, memilih menyukai pria yang sudah berpasangan?

"Kira-kira apa ya, yang dipikirin orang-orang seperti Bunga itu? Jujur aja aku penasaran, karena logikaku sama sekali nggak masuk," ujarku jujur waktu itu.
"Entah."

***

Fragmen Kedua

Sejujurnya aku bersimpati dengan perempuan-perempuan yang menyukai lelaki milik orang. Kau tahu kenapa? Sebab laki-laki tidak mau disalahkan. Baginya, hal-hal yang seperti Bunga-Joko itu tidak akan terjadi kalau si perempuan tidak memulai duluan. Pada beberapa kasus, kadang lelakinya yang bangsat, namun, bahkan pada lelaki paling baik-baik sekalipun, hal itu bisa terjadi.

"Masa sih ceweknya yang mulai duluan?"
"Iya. Orang cowoknya ngebiarin aja kok. Nggak ngerespons."
"Braaay. Paham nggak sih, kalo ngebiarin aja itu berbeda dengan 'melarang dengan tegas' hm? Sekarang pertanyaanku, apakah si cowok sudah dalam usaha melarang dengan tegas?"

Orang di depanku diam saja. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa posisi perempuan selalu serba salah seperti ini.

Dear lelaki, jika sampai kalian membaca tulisan ini, kalian masih tidak paham bagaimana psikologis perempuan seumuran kami. Begini, biar aku jelaskan.

Pertama-tama, kalian sudah bukan remaja. Jadi, itu yang harus kalian pahami. Ketika kalian sudah beranjak dewasa, percayalah relasi-relasi kalian akan semakin menyempit. Maka, sudah tentu kalian memahami dengan betul, bagaimana habit dari masing-masing orang di sekitar kalian.

Ketika kalian dewasa, ada dua jenis lingkaran pertemanan yang kalian punya. Satu jenis teman-teman yang memang sudah terikat waktu saking lamanya kalian berteman. Kedua, adalah teman-teman baru kalian yang kalian temui di tempat kerja. Dan tentu saja kalian tahu ya, relasi kolega itu "semestinya" seperti apa dan relasi pertemanan kalian yang sudah kelewat lama itu "normalnya" seperti apa.

Maka, ketika ada hal-hal yang tidak biasa, tolong jangan naif. Sudah tentu individu tersebut menaruh ekspektasi yang berbeda.

Bicara perihal ekspektasi inilah yang membahayakan. Dengar perdebatanku dengan orang barusan? Dibiarkan.

Sebagian laki-laki cukup baik dengan tidak menggubris hal-hal seperti ini, ketika mereka memiliki pasangan. Namun, demikian, jika tidak ditegaskan, itu artinya, kesempatan masih terbuka.

Ingat loh, ada perbedaan yang sangat besar antara "membiarkan tanpa menggubris" dengan "melarang dengan tegas" yang kemudian ditangkap oleh lawan jenis.

Dalam beberapa perbincanganku dengan teman-temanku, kami sepakat untuk menganggap manusia-manusia seperti ini sama sampahnya.

Bagi Lamia, misalnya, perempuan yang menyukai lelaki milik orang, atau laki-laki yang membiarkan perempuan seperti itu berseliweran di sekitarnya, dua-duanya sama-sama tidak tahu diri dan tidak punya harga diri. Si laki-laki tidak paham komitmen, dan si perempuan gagal memaknai kehidupannya. Menurut kami tentu saja hal yang sama terjadi juga pada laki-laki yang menyukai pasangan orang. Keduanya sama-sama tidak punya harga diri.

"Begitulah kalau tutup botol plastik dikasih nyawa."

Aku tertawa mendengar komentar Lamia, tapi aku setuju. Permasalahannya memang hanya orang-orang seperti kami tidak paham jalan pikiran mereka. Pun aku tidak pernah mengerti motivasi di baliknya. Mungkin tidak seperti mereka, kami masih mampu memaknai kehidupan kami dengan baik.

***

Fragmen Ketiga

Dalam perbincangan menuju ke bandara. Sesaat sebelum kembali ke Jakarta.

"Dalam relasi itu, ada laki-laki dan perempuan. Jika keduanya sudah sepakat untuk memiliki sebuah komitmen, maka keduanya wajib menjaga diri masing-masing, dan juga pasangannya. Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu akan tahu bagaimana caranya mempertahankan apa yang kamu miliki sebab itu hakmu. Percaya deh, sekeren-kerennya kamu menjadi perempuan, menjadi janda itu tetap bukan pilihan. Jadi menikah itu memang bukan sesuatu yang sederhana. Jangan sampai salah orang. Amit-amit."

Hari itu di ufuk timur Bandara Ahmad Yani Semarang yang baru, matahari mulai malu-malu muncul. Lalu-lalang orang mulai memadati bandara sepertiku menunggu pesawat pagi.

Sepanjang perjalanan dari Semarang ke Cengkareng, sampai di Menteng dan kembali ke kamar menyalakan AC dan melanjutkan tidur yang tertunda, aku berpikir keras. Benar juga ya. Menikah memang tidak sesederhana itu. Tetapi menjadi perempuan yang belum menikah juga ternyata tidak semudah itu.

Aku belum menikah. Di pikiranku saat ini, tidak ada sedikit pun terlintas bayangan bahwa aku menyukai lelaki milik orang. Bahkan pada beberapa teman lelakiku, jika pasangannya merasa kurang nyaman dengan pertemanan kami, aku mengalah untuk kebaikan kami semua. Aku bersumpah pada diriku sendiri, sekeren apapun orang itu, jika dia sudah jadi milik orang, maka tidak sedikit pun aku berhak atasnya. Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari alasan mengapa harus begitu. Cukup pikirkan, bagaimana jika hal tersebut terjadi di kamu? Milikmu diambil orang, atau diganggu orang?

Alasan lain adalah kupikir sebagai perempuan, aku berhak memiliki kehidupan yang lebih baik dengan tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Hal-hal yang kemudian bagi perempuan sepertiku, atau bahkan Lamia, diterjemahkan sebagai "pemaknaan atas hidup" kami yang harus diperjuangkan.

Perempuan yang menyukai lelaki milik orang adalah perempuan yang gagal memaknai hidupnya. Dan begitupun laki-laki yang menyukai perempuan milik orang lain. Mungkin akan lebih adil jika kubilang, orang yang menyukai milik orang lain, adalah mereka yang gagal memaknai hidupnya. Sebab mereka terlalu tidak berharga untuk sekadar menjaga harga diri dan kehormatannya, untuk, paling tidak, jangan mengganggu ketenangan dan kebahagiaan orang lain.

Ada Satu Hari


Ada satu hari di Bukit Ciumbuleuit. Waktu itu anginnya sejuk meski matahari terik membakar kulit. Kau dan aku duduk berdua, di bawah pohon rindang yang sesekali kita keluhkan daun-daun gugurnya. Tak jauh di sana, hamparan hijau sejuk dipandang mata. Kan, kubilang juga apa. Bandung jauh lebih menyenangkan daripada Jakarta.

Kau dan aku duduk berdua. Kita diam saja dan tidak tahu mau apa. Tapi kita duduk saja, berdua. Meresapi setiap sajak yang pernah ditulis Sapardi dalam puisi-puisinya.

Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput.
Kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk.
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga. Sampai suatu hari kita lupa untuk apa. "Tapi yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi.


Tiga Cerita Laki-Laki yang Memilih Perempuannya


"Aku pernah diputusin," kata temanku membuka pembicaraan. Dua orang di depannya menaruh minumannya masing-masing. Tampak wajah kami mulai serius. "Katanya aku perempuan nggak baik," katanya lagi.
"Nggak baik tuh ukurannya apa?" temanku akhirnya tidak tahan untuk tidak membuka mulut.
"Pertanyaan yang sama," jawabku.
"Mungkin karena kamu suka pulang malam," temanku lagi menimpali.
"Like we are doing right now?" tanyanya.

Hahahaha!

Kami serempak tertawa. Mungkin menertawakan dirinya masing-masing. Kisah dengan laki-laki tidak pernah tidak absurd dalam ingatan kami. Setidaknya begitu yang aku tahu sejak pertama kali kami kenal ketika SMA.

Temanku yang pertama.

Aku paham apa yang mencegahnya dari semua hubungan dengan laki-laki yang mencoba mendekat. "Aku suka dengan dia, dan aku mau kita stay kayak gini," ujarnya mantab suatu hari.

Hari itu adalah tahun kesekian ia menjalin relasi entah apa itu namanya, dengan seorang laki-laki yang kami kenal dalam suatu pameran di SMA. Laki-laki yang tidak buruk; ia tampan, terlihat cukup kaya, berasal dari keluarga baik-baik, dan diprediksi memiliki masa depan yang cukup bagus, terlebih setelah ia masuk di sebuah sekolah perminyakan milik salah satu BUMN. Temanku, pada saat itu, amatlah yakin, orang ini pantas untuk ditunggu. Dalam bahasa kami; worth it.

Beberapa kali dalam sebulan ia berkunjung ke kota kami. Kisah-kisah manis terjadi setelahnya. Dinner bersama, nonton film favorit, hal-hal yang aku yakin membuat temanku terjebak untuk tidak ke mana-mana, untuk yakin bahwa lelakinya adalah yang paling tepat. Ditepisnya semua jantan yang mendekat. Ia biarkan masa putih abu-abu hingga semester akhir di kampusnya datar tanpa kisah merah jambu khas remaja.

"Tapi, bukannya selama ini dia tidak menyatakan sesuatu?" kataku sanksi.
"Mungkin dia bukan tipikal lelaki yang mengungkapkan?" temanku masih membelanya dengan senang hati.

Aku senang melihat temanku senang. Tapi bagaimanapun, laki-laki baik tidak membiarkan sesuatu tergantung selama bertahun-tahun. Pada suatu hari di musim hujan, ketika kota kami tengah diguyur hujan yang sangat deras, lelaki itu mengatakan pada temanku bahwa ia tidak ingin berhubungan dengan perempuan dulu sebelum ia siap menikah.

It was like.. What? Lah selama ini kamu ngapain?

Apakah temanku patah hati? Tentu saja. Bayangkan jika mungkin dia selama ini memilih satu aja dari sekian banyak jantan yang mencoba mendekat. Mungkin dia sudah menikah, atau berkeluarga, atau dikenalkan keluarganya dan membina hubungan yang serius, atau apalah. Temanku tadi tidak. Ia tidak ke mana-mana. Hatinya ditawan bertahun-tahun untuk kemudian dibuang. Hancur berkeping-keping.

Yang lebih tidak kami semua pahami adalah tidak lama kemudian laki-laki itu menjalin hubungan dengan perempuan lain. Tentu saja, mereka tidak menikah, karena memang kami semua paham, mereka tidak siap untuk itu.

Laki-laki pertama ini, tidak bisa memegang omongannya sendiri. Seharusnya kemarin-kemarin dia cukup bilang bahwa dia bosan. Itu saja sudah cukup.

***

Temanku kedua.

Aku tidak pernah berpikir bahwa temanku bukanlah perempuan baik-baik. Kami semua perempuan baik-baik, kami tidak melakukan tindakan kriminal, kami tidak menyakiti perasaan orang, dan kami hormat pada orang tua. Aku rasa itu sudah cukup. Jika kemudian lingkungan membuat kami gemar nongkrong hingga larut malam, atau berteman dengan banyak lelaki, aku pikir itu tidak bisa jadi patokan bahwa perempuan ini tidak baik.

Temanku adalah yang terpintar dan kami memprediksikan dia yang akan menjadi terbaik. Lelaki yang dipilih dan memilihnya pun tidak asal. Keduanya sudah bersama-sama sejak SMA, saling bahu-membahu sampai kemudian kuliah, dan sekarang bekerja.

Beberapa waktu sebelum keduanya lulus, semua orang dapat memprediksikan bagaimana masa depan karier keduanya; seorang engineer yang sangat terampil dan strategist hebat untuk berbagai masalah bisnis yang kompleks. Dua orang yang gemar berpikir dan mendebat satu sama lain. Hubungan mereka manis hingga tiba-tiba lelaki itu mengatakan relasi itu harus selesai.

Tidak banyak hal yang dikatakan, namun temanku menyimpulkan ia dinilai kurang baik. Alasan yang sangat tidak logis, dan tentu saja tidak beralasan. Temanku menyangkal, tapi logikanya lebih dahulu jalan. "Relasi itu dibentuk dua orang. Kalau salah satu sudah tidak mau, apapun alasannya, ya sudah," katanya.

Lalu ia selesai. Apakah temanku sakit hati? Tentu saja. Berbulan-bulan ia mengurung diri, melewati hari-harinya yang tidak mudah, berusaha melupakan semua hal yang telah disusunnya berdua. Kini dua langkah itu harus berjalan-jalan sendiri, karena lelakinya tidak mau dengan perempuan yang kurang baik.

Yang lucu setahun berselang dan lelaki itu akhirnya telah memilih perempuannya.

"Ini pacarnya?" kataku.
"Iya."
"Kayak gini aja?"
"Iya."
"Hmm ternyata dia nggak nyari perempuan baik-baik."
"Iya. Dia cuma tidak mau disaingi oleh perempuannya. Dia butuh seseorang yang berada di bawahnya, secara akademis, secara pekerjaan, secara apapun; agar dia merasa lebih superior."
"Bagus lah kamu putus."

***

Bagaimana denganku?

Hahaha. Aku hampir tidak bisa berkata apa-apa selain menertawakan diriku sendiri beberapa waktu ini. Aku perempuan 23 tahun, dan percayalah ini bukan cerita cinta pertamaku. Sebelumnya aku pernah dengan laki-laki yang kuputuskan karena memintaku berhubungan seksual bahkan ketika aku belum berusia 17 tahun. Lalu pernah juga aku dengan laki-laki yang menyudahi relasi kami di tengah jalan karena baginya kami telah memilih jalan yang berbeda.

Apapun alasannya, aku hanya berpikir, aku belum bertemu orang yang tepat. Karenanya ketika aku bertemu sekali lagi dengan laki-laki yang ingin menjalin relasi "serius" denganku, kupikir dialah orang yang tepat.

Aku melihat ada banyak hal yang mesti kami usahakan bersama sebab lelakiku ini memiliki jalan hidup yang tidak mudah. Tadinya, aku berpikir bersamanya berarti menata sesuatu dari dasar, membangun pondasi yang kuat, merintis dari nol, dan berusaha sampai titik darah penghabisan.

Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan. Semuanya berjalanan sangat manis karena lelakiku adalah yang terbaik dalam hal mengusahakan apapun yang saat ini tidak dimilikinya. Bagiku, yang terpenting laki-laki harus memiliki effort. Apa yang saat ini tidak dimilikinya, kelak akan dipunyai, jika mau menaruh effort yang cukup.

Lelakiku adalah yang paling pandai mem-pukpuk perasaan orang dengan segenap janji manis, mengajakku sekuat hati bertahan dalam kondisi-kondisi kami yang buruk, bersamaku di saat senang dan susah, serta mengusahakan semua hal sebisa-bisanya, sebaik-baiknya.

Dulu.

Setahun berselang dan aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kami. Banyak hal yang kami tidak pahami, tetapi lelakiku berubah. Tentu setelah setahun lebih kami bersama, ada banyak hal yang mengubah kami. Kami lebih cerdas, karier kami membaik, kondisi finansial kami membaik, tetapi sikap kami satu sama lain; tidak.

Aku tidak ingin tahu siapa yang salah di antara kami, tetapi yang kulihat lelakiku kehilangan effort. Aku tidak paham apakah baginya "yang segini" sudah cukup, atau seperti lelaki teman pertamaku, ia hanya bosan.

"Itu manusiawi. Orang kan cepat bosan," kata temanku suatu hari, berusaha menengahi dengan bijak.
"Aku tahu. Hanya saja jika kami begini karena bosan, aku tidak berekspektasi cara kami seperti ini untuk menghalau rasa bosan."

Banyak hal terjadi beberapa waktu belakangan ini; semua hal yang aku tidak pernah bayangkan bahwa aku akan benar-benar mengalaminya. Aku jatuh bangun seorang diri, susah-susah sendiri, mati-matian bertahan sendiri juga, namun di situlah aku sungguhan sadar, aku benar-benar kuat ternyata; secara fisik, secara mental. Kelak suatu hari aku pasti akan sangat bangga dengan kekuatanku sendiri --yang ternyata ada.

Setelah melewati itu semua, bagiku kini semuanya sudah jelas. Aku berhadapan dengan dua orang yang berbeda. Lelaki itu bukan yang dulu kukenal atau membersamaiku di saat-saat terburuk, bukan yang pernah sekuat hati mengajakku bertahan, bukan. Tempat ini menjadikan dia sosok yang lain, menjadikan kami benar-benar berbeda. Dan aku, telah bersumpah, bahwa aku tidak akan menjadi perempuan yang mengemis-ngemis afeksi, jadi kukatakan padanya, "Aku tidak akan mengusirmu pergi, tapi aku juga tidak akan mengemis untuk memintamu tetap di sini."

Lebih tragis dari cerita dua orang temanku, kini aku berada di titik antara hitam dan putih yang membuatku tidak bisa ke mana-mana, namun juga tidak punya tempat untuk kembali.

"Menurutmu pilihan dia akan jatuh ke perempuan seperti apa?" tanya temanku.
"Mmm nggak tahu. Yang pasti tidak banyak menuntut," kataku.
"Hwaaaa. Apakah harus perempuan baik-baik???"
"Apakah dia hanya tidak mau pacaran kalau belum siap menikah??"

Hahahaha!

Kami tertawa sekali lagi.

***

Bagaimanapun, Jakarta mendidik kami untuk melupakan sesuatu dengan mudah. Pikirkan saja hal-hal yang konkret dan jelas menurut perhitunganmu. Di Jakarta semua hal yang sangat mudah dihitung; bahkan beberapa kali aku akhirnya mempercayai kasih sayang adalah hubungan timbal-balik. Ketika kamu membuat prioritas akan seseorang, ternyata kamu akan memiliki ekspektasi untuk orang tersebut memperlakukanmu serupa.

Patah hati lama-lama semestinya sudah lewat dari fase kami saat ini, sebab kami perempuan 23 tahun dan kami memilih rasional. Tidak boleh ada banyak waktu yang terbuang untuk sesuatu yang percuma.

Jadi malam ini, kami memutuskan untuk mengubur luka-luka itu tanpa sisa.

"Jadi.. menurutmu kita mesti gimana?"
"Hahahaha! Jangan pulang malem yang penting."
"Tapi tempat ini tutup jam 11."
"Yah. Yaudah pindah yang 24 jam gimana? Biar nggak pulang malem; subuh maksudnya! Hahaha."
"Pengen, tapi masih ada kerjaan."
"Sama!"
"Huhu yaudah kapan-kapan aja."

Jakarta dan Kisah Setelahnya


Ini Selasa malam dan aku menghabiskan separuh soreku duduk di sebuah kedai kopi di daerah Pejaten. Di sebelahku barista yang kesepian memainkan gitar sementara cangkir-cangkir kopinya dibiarkan sepi. Ada dua orang pria duduk di meja depanku. Mereka berbincang urusan pekerjaan seperti halnya yang sering kulakukan sehari-hari. Tak jauh di luar, kendaraan padat merayap menunggu antrean untuk berjalan. Sesak. Jakarta tidak pernah ramah untuk fisik yang kelelahan, apalagi mental. Aku mengurung diri, memutuskan tidak pulang setidaknya sampai beberapa jam ke depan.

Di hadapanku sebuah laptop menyala. Persis ketika kutulis catatan ini, semestinya ada satu pekerjaan yang harus kuselesaikan; menulis report, menulis konten, membaca pekerjaan freelancer, banyak ternyata. Tidak hanya satu. Tapi aku lelah. Suhu tubuhku sudah mulai meninggi dan aku mungkin akan segera butuh paracetamol.

Aku tidak suka hari-hariku belakangan ini. Terlalu banyak pikiran kacau yang berkecamuk dalam benak. Namun, lebih daripada itu, aku ternyata hanya tidak suka merasa bodoh atas pilihan dan tindakanku sendiri.

Kau tahu, perempuan selalu punya intuisi. Ketika perempuan tidak yakin atas sesuatu, pastikan apakah ada sesuatu yang benar-benar salah dalam keputusan itu. Ketika perempuan tidak mempercayaimu, pastikan apakah kamu telah berkata sejujurnya atau tidak. Perempuan selalu punya intuisi. Dan itu intuisi itu, memberikan bisikan dari sesuatu yang terdalam, jujur, dan bagaimanapun, benar.

Lagu D'Masiv-Apa Salahku diputar. Astaga. Playlist Youtube-ku makin nggak karuan. Entah kenapa tiba-tiba aku ingat sesuatu. Aku teringat hari-hari ketika masih tinggal di rumah dinas, ingat Singkek, ingat Cicik, hingga hari-hari gitaran galau dengan Pak Agung yang dari jaman aku SMA sampai lulus S1 nggak tau jadinya udah lulus tesisnya atau belum. Aku melankolis sekali. Aku mengingat semua hal, terlebih teman-temanku.

Aku kangen.

Nggak pernah sekangen ini aku dengan mereka. Nggak pernah semelankolis ini aku mengingat suara berisik Okta dan Bakuh, pisuhan Hardi, wajah bego Dipta, hingga tengilnya Andre, atau muka preman Tania. Aku mengingat semuanya dan aku kangen. Sumpah demi apa.

Blog ini semestinya sudah aku tutup sejak aku memutuskan apply ke beberapa company yang (mungkin) akan mengevaluasi jejak digitalku. Aku menutup Instagram, bahkan Facebook. Aku alergi dengan beberapa hal, aku malas bertemu orang asing kecuali untuk urusan pekerjaan, dan aku malas untuk mengulang-ulang apapun.

Am I fool?

Kuulang-ulang dan berkecamuk di kepalaku. Selama ini aku ngapain? Kenapa aku melakukan ini?

Aku seperti menyusun puzzle seluas satu meter persegi yang rumitnya minta ampun. Aku paham puzzle ini mungkin baru diselesaikan secuil, mungkin baru sekitar lima centimeter di ujung. Tapi bahkan untuk menyusun itu aku berdarah-darah. Lalu tanpa sebab yang jelas, hasil berdarah-darah itu dirusak. Porak-poranda.

Rasanya kayak.. aku tahu mungkin memang sebaiknya puzzle serumit ini tidak perlu diselesaikan. Aku mungkin tidak perlu membuang waktuku terlalu lama. Tapi, bukannya paling tidak aku sudah berusaha untuk memulai dan bekerja keras untuk menyelesaikan --meski hasilnya belum seberapa?

Rasanya seperti tidak rela.

***
"Apa kamu bahagia denganku?"
"Iya"
"Tapi hidup tidak selalu baik-baik saja."
"Itu adalah hidup. Selama kamu nggak selingkuh, sepertinya hidup kita akan baik-baik saja."
"Nggak akan. Nggak akan."
"Itu cukup."
Di Jakarta kamu akan bisa dengan mudah untuk tidak bersyukur. Kamu akan melihat orang-orang bergelimang harta dan kesenangan. Open bottle dengan menghabiskan ratusan ribu rupiah. Dinner seharga jutaan. Ada sejuta alasan untuk selalu tidak bersyukur dan melihat hidupmu tragis; mengapa merk celanamu cuma Hardware sementara mereka bisa menikmati Uniqlo tanpa diskonan; mengapa tasmu bukan Hermes; mengapa untuk beli sepatu seharga dua juta saja harus berpikir jutaan kali sementara mereka bahkan beli sandal jepit seharga segitu?

Ada jutaan alasan untuk selalu tidak bersyukur dan sejuta kemampuan untuk melihat hidup kita sangat tragis.

Namun, di Jakarta pula, kamu akan mudah bersyukur ketika kamu masih bisa makan siang di Setiabudi One dan di jalan menuju kantor kamu melihat bapak setengah baya dengan gerobaknya. Matanya kuyu, tubuhnya kurus, dan kotor. Kamu akan melihat betapa bahagia hidupmu ketika melewati jembatan penyeberangan di Karet Kuningan, atau bahkan ketika duduk di kedai kopi dan memandang jendela keluar. Di sana akan kamu lihat abang-abang berseragam ojek online berdesakan mencari makan, menerjang lalu-lintas ibukota untuk sesuap nasi. Kamu akan melihat bagaimana bahagianya hidupmu masih bekerja di ruang AC dengan baju rapi dan mendapatkan bayaran setiap bulan, sekaligus akan melihat, bagaimana seseorang berjuang untuk orang-orang yang disayanginya.

Aku masih menonton film pendek dari Pijaru tentang sepasang kakek-nenek renta yang mempertanyakan kehidupannya selama ini, "Apakah kamu bahagia denganku meski hidup tidak baik-baik saja?"

Tentu saja hidup tidak akan selamanya baik. Akan ada waktu di mana hidup pasti tidak baik-baik saja. Tapi kamu meresponsnya bagaimana? Merenung? Marah? Menyesali? Atau apa?

Playlistnya semakin tidak karuan.

***

Di kedai kopi perempatan Jalan Pejaten Barat ini tadinya aku cuma berpikir aku akan butuh sendiri. Aku harus banyak bersyukur atas apapun yang selama ini aku punya; orang tua, teman-teman yang baik, dan support system yang menyenangkan.

Aku melankolis sekali dan aku merasa harus ada keputusan besar yang diambil, jadi aku perlu berpikir logis.

Orang boleh bodoh dan melakukan kesalahan. Tapi yang harus dipikirkan bukannya masa depan? Masa depanmu masih panjang, kan?

Unrequited Love

Bagiku tidak ada yang abu-abu. Jika tidak hitam, maka putih. Jika tidak terang, maka gelap. Jadi aku tidak paham ketika ia mengatakan padaku bahwa mungkin kami bisa lebih dekat, namun tidak terlalu dekat.

ervina lutfi blog

Suara Bonnie Raitt mengalun di kepalaku.
Don't patronize me
'Cause I can't make you love me if you don't
Seumur hidup belum pernah aku merasa sebegininya disakiti orang. Jadi hari itu aku memilih pulang.

Berhari-hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Aku hampir lupa sudah bertahun-tahun lewat semenjak hari itu, tapi rasanya kepalaku masih dipenuhi tanda tanya.

***

Kata orang, jika kita merasa lama menemukan pasangan hidup kita, kita sebenarnya mungkin pernah sekali atau dua kali berpapasan atau bahkan bertemu dan berinteraksi dengannya; hanya waktunya yang tidak tepat. Seseorang mungkin akan 'batal' menjadi pasanganmu jika kalian tidak bertemu di waktu yang tepat.

Menunggu dan menunggu. Namun, ketika 'waktu yang tepat' dirasa sudah datang, "kondisi" yang memungkinkan semuanya berubah.

Hmm.
Kalau untuk pergi, kenapa harus kembali?
Kalau tidak tinggal, kenapa datang lagi?

Berakhir pada Sebuah Tanya


"Apa yang paling menyenangkan dari tinggal di suatu tempat?"
"Hmm apa ya? Orangnya?"

Hari itu kami terjebak badai yang menghalangi makan malam bersama keluarga di rumah. Hujannya deras sekali dan berkali-kali pesanan taksi onlineku tidak membuahkan hasil. Aku memutuskan menutup laptop, meletakkan ponsel, dan lalu duduk memandangi titik-titik air yang turun di jendela kaca.

"Cokelat mau?" Seseorang duduk di atas kursi di seberang meja.
"Air putih lebih sehat," jawabku setengah bercanda.
"Kalo orangnya, mana yang paling mengesankan di antara orang-orang yang kamu temui sebelum ini?" tanyanya lagi. Aku mengernyit sebentar.
"Sepanjang ingatanku di Semarang. Kotanya panas sih, tapi orang-orangnya hangat. Suka misuh sih, ngomongnya kasar, tapi atmosfernya baik sekali."
"Kalau Jogja?"
"Jogja menyenangkan karena ceritanya. Orang-orangnya lebih banyak dan lebih beragam, tapi terlalu ekstrem."
"Ekstrem?"
"Kalau nggak hitam banget, putih banget. Nggak ada abu-abu. Antara yang menyenangkan sekali atau yang menyedihkan sekali. Ekstrem."
"Hahaha! Trus kalau Jakarta?"
"Flat. Aku nggak merasakan apa-apa."

***

Di Jakarta setiap orang memiliki porsinya masing-masing. Mereka yang tinggal di gerobak akan berbagi hidup dengan para anggota dewan, pejabat pemerintah, hingga para pimpinan perusahaan beromzet triliunan setiap bulannya. Mereka yang lahir, tinggal, dan jatuh cinta, akan berbagi tempat dengan para pendatang yang suka, ataupun orang-orang yang terpaksa atau setengah terpaksa. Yang memuja akan berbagi tempat dengan mereka yang mengutuki Jakarta. Setiap orang akan punya bagiannya, dan begitu pula aku di sini.

Tak heran jika semuanya menjadi lebih tidak peduli. Apa yang harus dipedulikan? Toh setiap orang akan punya bagiannya sendiri-sendiri. Apa yang mesti dipikirkan? Toh setiap orang akan punya masalahnya sendiri-sendiri. Hal-hal ini yang entah kenapa membuat orang-orang sepertiku merasa Jakarta adalah tempat yang ideal, untuk menghilang.

***

Kita tak pernah bosan memikirkan luasnya tata kosmik
Tapi di situlah kau dan aku luput memikirkan jagad diri kita masing-masing

Selamanya kita mungkin akan menjadi orang yang tidak mengenal diri kita sendiri. Dan selamanya pula, kita akan menjadi orang yang paling asing untuk orang-orang yang paling dekat keberadaannya. Itulah kenapa tidak mengherankan jika ada orang yang menghubungi gebetannya lebih sering dibanding orang tuanya. Akan ada orang yang rela menyisihkan uang untuk buka bersama atau memberikan cokelat Valentine pada koleganya, tetapi perincian untuk hadiah ulang tahun ibunya.

Sebab sayang pada orang-orang terdekat sudah terlalu biasa sehingga tidak ada lagi penghargaan yang berlebih untuk itu. Sebab berbuat baik pada orang-orang terdekat sudah terlalu sering, sehingga tidak ada nilainya. Kita akan selalu asing pada kedekatan-kedekatan yang kita ciptakan, dan pada orang-orang yang kita miliki. Namun begitulah kita, orang-orang yang terlalu sibuk memikirkan luasnya tata kosmik, namun luput pada jagat diri kita masing-masing.

***

Lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita
Apakah kau masih akan berkata
"Kudengar derap jantungmu.."
Kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta.

Jakarta yang sepi membisiki telinga kita dengan sebuah bahasa yang tidak kita mengerti untuk mengutarakan hal-hal yang tidak kita pahami. Ketika kau, aku, dan semua orang di sini terbius dan dilumat egonya masing-masing. Tapi Jakarta akan selalu seperti itu; asing dalam kedekatan, tak acuh dalam kata kepedulian yang sudah tidak ada harganya. Semuanya memiliki porsinya masing-masing.

Tapi aku, aku bersyukur.

Setidaknya aku tidak merasakan apa-apa.

***

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku.

Kabut tipis pun turun perlahan-lahan
di lembah kasih, Lembah Mendalawangi.
Kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin.

Apakah kau masih membelaiku semesra dulu?
Ketika kudekap kau
dekaplah lebih mesra, lebih dekat

Hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang kita tidak mengerti
seperti kabut pagi itu.*



*puisi "Sebuah Tanya" oleh Soe Hok Gie