Dari Mana Datangnya Asmara?


Aku potong dini hari ini seukuran kartu pos. Tentu agar kamu melihatnya sendiri tanpa aku harus susah-susah bercerita.

Oh ya, dari mana datangnya asmara?

Aku bertanya pada langit yang jingga, yang ungu, yang biru, tapi semuanya diam. Dari yang terang hingga gelap gulita. Anginnya sepoi-sepoi membelai tengkuk dan ujung-ujung rambut yang kugelung ke atas. Dingin.

Kamu begitu padaku.

***

Jogjakarta, beberapa tahun silam.

Dari mana datangnya asmara?

Aku kerap bertanya-tanya demikian belakangan. Tentu karena aku sendiri tidak bisa merasakan apa-apa, kecuali bahagia, bahkan saat melihat ujung-ujung rambutmu atau bagaimana caramu tertawa malu-malu.

Kau tahu, aku ingin cerita.

Pada suatu ketika, aku pergi menyusuri bibir sungai yang jernih. Airnya tenang, mengalir dari hulu ke hilir, menyapu batu-batuan. Sesekali kulihat ada ikan. Aku berdiri atas jembatan. Di bawah aku melihat bayang-bayang. Ada diriku sendiri di sana.

Hei, apa yang kau lihat dariku?

Aku tidak menarik, tidak cantik, bukan putri dari seorang ayah yang punya kerajaannya sendiri, tidak pintar, sangat biasa, seperti rata-rata. Apa yang kau lihat dariku? Dan bagaimana kamu melihatku? Katakan, karena aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiranmu.

***

"Heh, main-main kamu! Hati-hati! Witing trisno jalaran seko mesakno."

Aku sering dengar pepatah Jawa itu, tapi tidak demikian.

"Eh, kok jadi gitu?"
"Ya iya. Bisa aja. Hehehe."

Anomali Coffee masih ramai. Pukul 10 malam. Cikini basah selepas hujan. Kuhirup kopiku dalam-dalam. Beberapa orang duduk sendiri dengan laptop di depannya, beberapa seperti kami; duduk berdua. Ada yang berdua lalu sibuk dengan laptop masing-masing, ada yang berdua lalu saling bicara. Tapi mereka semua menyukai kopi. Kurasa. Makanya mereka datang ke sini.

Semenjak aku tinggal di Seminyak dulu, Anomali menjadi destinasi favorit. Aku tidak begitu paham kopi seperti beberapa temanku yang lain. Bagiku mencecap kopi cuma agar aku paham betapa masih banyak hal-hal yang tidak nyaman, namun tetap kunikmati dalam hidup. Kopi mungkin salah satunya. Rasanya asam, pahit, dan merusak lambung. Dokter juga berkali-kali mengingatkan agar aku berhenti ngopi setiap kali aku cek kesehatan. Aku sering mengeluh tidak bisa tidur, sakit kepala, dan dokter mengatakan salah satunya mungkin karena aku kebanyakan mengonsumsi kopi.

Namun, suatu hari, sepulangku dari liburan ke Aceh, kuundang dokter kesayanganku itu ke Prapanca, ke apartemenku.

"Jadi, kamu mengundang ke sini, cuma untuk mengajakku ngopi? Udah berapa kali kubilang, kopi itu tidak baik untuk kesehatan."
"Ya ya, aku tahu. Tapi dokter harus coba ini. Ini salah satu kopi yang paling sulit membuatku move on, dok. Dokter harus coba."

Mulanya ia mengira aku mungkin menaruh racun atau sejenisnya di dalam secangkir Kopi Gayo yang kusajikan seperti kejahatan-kejahatan lain yang kerap kulakukan sejak kami SMA.

"Nggak beracun, astaga!" kataku akhirnya. Dia minum seteguk.
"Pahit ya?"
"You don't say!"

Tapi diminum juga akhirnya. Temanku yang dokter ini sungguh baik. Lalu seperti biasanya kami bercerita banyak hal. Mulanya kukatakan bahwa ini adalah salah satu single origin terbaik yang kucoba. Kopinya banyak tumbuh di dataran tinggi Tanah Gayo, Aceh Tengah. Sebab itu dinamakan Kopi Gayo. Menurutku sendiri Kopi Gayo adalah yang paling tidak pahit. Tidak seperti kopi pada umumnya menyisakan rasa pekat di lidah, Kopi Gayo hampir tidak menyisakan rasa apapun. Bahkan beberapa temanku menyebutkan kopi ini mengalahkan citarasa Blue Mountain dari Jamaika.

"So, how's the taste?"
"Hmm menarik-menarik."

Dan sejak saat itu aku tidak perlu susah-susah ke kliniknya dan mencium bau karbol rumah sakit yang menusuk hidung setiap kali ingin bicara banyak. Aku mengajaknya ke kedai kopi yang banyak sekali ada di Jakarta. Beberapa kali kuajak ia ke Kopikina di Tebet, ke Crematology Coffee Roaster di Kebayoran Baru, ke Woodpecker di Melawai, ke Sinou, hingga akhirnya paling sering di Anomali Coffee Menteng. Sebagai sesama orang yang pernah sama-sama menikmati Jogja, Cikini adalah tempat paling 'rumah' di Jakarta. Meski sesekali aku merasa tinggal di Tebet seperti dibawa kembali ke masa-masa kuliahku tinggal di Demangan, atau bahkan ketika ke Kemang aku seperti mengingat masa-masaku jadi mahasiswa baru yang tinggal di Seturan. Di beberapa hal, Jakarta memiliki wajah yang hampir sama dengan Jogja. Tapi, paling tidak, di Jakarta aku bisa melupakan.

"Hati-hati," katanya lagi memecah lamunanku.
"Ya gimana sih, jadi manusia. Simpati pasti ada lah," kataku akhirnya.
"Hati-hati," temanku dokter yang cantik itu cuma bilang begitu berkali-kali.

***

Aku selalu berpikir Jakarta adalah kota melupakan. Ketika aku patah hati, aku memilih ke Jakarta agar aku lupa. Ketika aku sedih, aku memilih ke Jakarta, agar panas dan macetnya lagi-lagi membuat aku lupa kesedihanku sendiri. Pun ketika aku mungkin jatuh cinta, namun aku takut pada perasaanku sendiri, aku memilih ke Jakarta. Agar aku lupa.

Kami telah melewati serangkaian drama selama beberapa waktu terakhir dan aku selalu berpikir ini harus diakhiri. Maka aku memutuskan hidupku sendiri. Aku sungguhan pergi. Kutinggalkan Jogja untuk hal-hal yang aku tidak tahu apa dan kenapa. Tapi sebuah universitas di Swedia menerimaku menjadi mahasiswanya, jadi aku terbang ke Jonkoping. Setahun lamanya aku di sana. Menikmati hidup di salah satu negara dengan musim dingin paling ekstrem. Kota yang cantik dengan danau-danau yang memenuhi sebagian areanya. Aku ke Jonkoping beach, ke museum-museum seperti Vetlanda dan Huskvarna, berkemah di Visingso, dan benar-benar menikmati diriku selama tinggal dan menjadi bagian dari masyarakat di Swedia.

Setelah aku lulus dari studi yang hanya kurang lebih setahun, seorang teman yang kukenal sewaktu tinggal di Jogjakarta dulu menawariku sebuah project di Bali. Aku lalu tinggal di sana beberapa waktu, menghabiskan hari-hari di Seminyak selama hampir dua bulan. Lalu memilih untuk tinggal di Ubud, mengelola salah satu coworking space paling terkenal di Indonesia, berkenalan dengan orang-orang yang sangat menikmati Bali, para digital nomad yang telah berkeliling jauh dari negaranya untuk menikmati hidup yang cuma dihabiskan dengan botol-botol alkohol dan aktivitas party serta berselancar di Canggu. Dari sanalah aku bertemu orang yang menjadi bossku sekarang. Dibawanya aku ke Jakarta. Beberapa waktu menghabiskan hidup di Tebet. Lalu ketika kantor kami pindah ke Pejaten, aku mendapatkan sewa apartemen murah di Prapanca. Dan tinggallah aku di sana sampai sekarang.

Aku belum pernah berpikir untuk pindah sampai beberapa minggu lalu, seseorang menghubungiku melalui resepsionis apartemen. Aku tidak membagi alamat tempat tinggalku pada klien, jadi kupikir dia salah satu temanku. Aku turun ke lobby, menemuinya, dan demi apapun itu adalah hal paling kusesali sampai saat ini.

"Hai, long time no see."

***

Aku selalu ingat raut wajahnya, dan terutama matanya, yang kerap menceritakan banyak hal yang tidak pernah sanggup dia katakan padaku. Hampir dua tahun aku tidak bertemu dengan raut wajah itu. Bukan tidak mungkin, hanya karena memang aku tidak ingin.

"Kok tau aku tinggal di sini?"
"Aku selalu tau kamu di mana," katanya. "Masih ada yang tertinggal di sini," katanya lagi. Ia menunjuk dadanya. Aku tersenyum seperti karet yang direnggangkan susah payah.

Gelas-gelas dari kopi yang kami nikmati mulai kosong. Kami duduk di balkon. Di bawah lalu lintas Jakarta terlihat masih ramai meski ini beranjak tengah malam. Ini kedatangan pertamanya di apartemenku dan selama ini aku tidak pernah membawa laki-laki menginap di sini. Bagaimanapun aku harus mengusirnya.

"Pulang sana. Udah malem," kataku.
"Nggak."
"Kok nggak sih?"
"Terakhir kali kamu menyuruhku pulang, aku benar-benar pulang, tapi setelah itu kamu pergi dan bertahun-tahun tidak menghubungiku lagi, sampai hari ini."
"Astagaaa! Ya kondisinya beda!" Kepalaku nyaris meledak berhadapan dengan orang ini. Kami diam beberapa menit. "Ya terus maunya apa?" tanyaku lagi.

Dia tidak menjawab.

"Ya gitu aja terus sampai kiamat."

***

"Kita ini, dok, kan sudah bukan anak-anak lagi ya. Segala hal, harusnya lebih jelas," kataku. Kali ini kami di PIM, berburu parfum, lalu berhenti di Street Gallery. Kami kenyang dan cuma butuh hiburan dari lalu-lalang orang di sini.

"Ya itu aku setuju juga," katanya. "Tapi.. harusnya, semua hal sudah jelas sejak bertahun-tahun lalu. Sejak kita semua masih di Jogja."
"Maksudnya?"
"Ya iya. I mean.. everything was clear, waktu itu."
"Nggak paham."
"Gini.. basa basi adalah suatu tanda orang boleh bertamu, duduk, bahkan dikasih minum. Kalau suka ya, dia akan datang lagi, dan lagi, dan lagi, lagi, lagi, lagi, sampai jadi serumah. Jadi, bukan jadi tamu lagi. Hahaha!"
"Hah?" Aku bengong.
"Aduh, kok kamu jadi bego gini sih." Dia membenarkan letak kacamatanya.
"Kamu ngomongnya gitu sih ah, sok-sokan."
"Aku serius. Maksudku, emm.. kamu tu udah basa-basi waktu itu. Ibaratnya, ada orang bertamu dan kamu mempersilakan masuk, bahkan menyuguhinya minum. Dan lalu dia suka. That's why dia datang lagi, dan lagi. Tapi.. pada kedatangannya yang kesekian, kamu tiba-tiba menutup semua pintu, mengunci pagar, dan bahkan kamu pergi dari rumahmu sendiri. Itu bodoh sih."
"Okay, sekarang gini. Kamu melihat orang di seberang rumahmu dalam kondisi basah kuyup, dan di luar hujan deras sekali, sementara tidak ada tempat berteduh lain. Kamu memintanya masuk agar dia tidak bertambah kuyup dan menawarinya teh, sebagai bentuk etika. Lagipula kamu sudah dikenal sebagai orang yang murah hati. Kamu terbiasa mengajak anak-anak di sekitar rumahmu untuk datang sekadar mencicipi kue atau menonton film terbaru dan bermain di kolam renang ada di belakang rumahmu. Sesederhana itu."
"Nah, ini yang kubilang sebagai.. witing tresno jalaran seko mesakno. Hahaha."
"No, it's totally different."

Aku mengenal ini sebagai transference dalam buku-buku milik Sigmund Freud yang pernah kubaca. Umumnya dialami oleh seseorang yang berlaku sebagai 'klien/pasien' dengan orang yang diekspektasikan akan 'menyembuhkan' masalahnya. Transference muncul karena urusan-urusan di masa lalu yang tidak selesai, kemudian pada orang yang ditemuinya di masa kini, ia berhasil menyalurkan hal-hal tersebut. Ia memproyeksikan perasaan-perasaannya terhadap suatu figur kepada orang ini. Jika ingin menyelesaikan hal-hal tersebut, orang ini adalah medium yang paling tepat. Orang ini akan menjadi semacam jembatan yang menghubungkan ia dengan masa lalunya, untuk diselesaikan. Namun, di titik-titik tertentu, niat baik pada orang ini untuk membantu orang lain, akan menjadi masalah, ketika orang tersebut tidak mampu memberi batas, mana hal-hal yang boleh ia lewati, mana yang tidak.

Dan entah aku atau orang tersebut, atau bahkan kami berdua, sama-sama melanggarnya.

***

"You saved my life," katanya suatu ketika.
"Hm hm ya, makasih."
"Aku yang berterima kasih."
"Oke, sama-sama."

***
Kita tak pernah bosan memikirkan luasnya tata kosmik
Tapi di situlah kau dan aku luput memikirkan jagad diri kita masing-masing
Atau memang tiap dari kita selalu takut berimajinasi mengenai seberapa bergetar hati kita berdua kala meratapi gemintang di satu malam itu
Atau tidakkah detak jantung kita memompa hawa panas pada tiap-tiap berahi kita?

(Sajak milik Muhajir M.A.)

***

Sejak malam itu ada yang benar-benar berbeda di antara kami. Dan buatku sendiri, ada yang berbeda dalam diriku. Semacam ketakutan-ketakutan pada perasaan sendiri. Lalu seperti halnya pengecut, aku memutuskan untuk pergi. Lari entah ke mana, entah dari apa.

Tapi bukankah memang aku sudah terbiasa lari dari apapun yang tidak kuingini ---dan diapun demikian?

Tidak ada yang salah. Hanya kemudian, padanya, jawaban itu mampu ditemukan. Sementara aku bertahun-tahun setelahnya, bahkan masih bertanya-tanya. Dari mana datangnya asmara? Mengapa orang jatuh cinta? Kapan waktu yang tepat untuk orang jatuh cinta dan menjatuhkan pilihannya? Bagaimana cinta bisa melupakan ---dan dilupakan?