Patah di Bandung


Braga, sore hari yang cukup menyengat.

Wiki Koffie adalah satu dari sekian tempat di mana aku bisa duduk berjam-jam tanpa memikirkan sesuatu. Hanya kopi, rasanya yang asam, juga berbagai cara penyeduhan. Paling kusuka adalah drip method atau kopi tetes. Setelahnya espresso barangkali ---tapi beberapa kali kucoba kopi yang kremanya tidak terlalu banyak, jadi aku menghindari kekecewaan-kekecewaan semacam itu di warung kopi.

Paling tidak memesan drip coffee tidak membuatku kecewa karena aku mendapatkan semuanya ---bahkan ampas kopinya. Aku tidak akan dibuat kecewa mengetahui krema di cangkir yang kuminum sedikit menandakan kualitas kopi yang buruk seperti memesan espresso, atau gambar di cangkirku jelek ketika memesan latte. Lagipula aku suka melihat proses titik-titik air itu keluar dari dripper dan jatuh di cangkir. Jadi, untuk sore ini, melengkapi kedatanganku setelah lama nggak ke Bandung aku memutuskan memesan kopi Toraja yang disajikan dengan drip method.

Tempatku duduk tak jauh dari Braga yang terkenal dengan kehidupan malamnya. Di sepanjang jalan kamu akan menemukan banyak sekali kedai kopi, sekaligus bar-bar yang menyajikan aneka wine dengan tiket masuk yang suka bikin sakit kepala. Tapi meski semua orang mencap buruk Braga ---sama hinanya seperti kalau di Jogja kamu main ke Pasar Kembang, tempat-tempat seperti ini sebenarnya menyimpan seninya tersendiri. Seperti kedai kopi tempatku duduk ini.

Aku nyaris melupakan semua hal; rasa sedih, kecewa, galau. Aku mau fokus di kopi dan hanya kopi. Sesekali saja aku pandangi jalanan Kota Bandung. Mobil, motor, bus-bus Damri, sepeda.. skuter! Beberapa kali kulihat dua sejoli mengenakan baju yang sama. Beberapa orang salah kostum ---bagaimanapun Bandung jam 3 siang panasnya bikin tabah untuk orang-orang yang memakai setelan coat tebal.

Di tengah kerandoman ini aku terkenang wajah temanku, Ega. Ega selalu bilang padaku bahwa ada masanya nanti aku merasakan "rasa" yang sebenarnya dari apa yang coba untuk ditunda kesadaranku hari ini. Ia katakan itu dua minggu lalu. Tepat ketika aku mengangkat telepon terakhir dari Royyan.

"Maksud kamu apa sih, Ra, putus?"
"Putus. Ya putus. Kita nggak ada relationship apa-apa lagi. Maksudku sebenarnya kita sejak lama seperti ini ---atau malah sejak awal? Entah sih. Tapi di antara kita sebenarnya cuma tinggal status-status tanpa kejelasan dan tinggal diclearin aja kalau sebenarnya kita sudah putus?"
"Salah aku apa sih?"
"Nggak ada yang salah. Yang salah itu waktu, dan jarak yang membuat waktu berbeda."
"Ara, sejak awal kita menjalin relasi ini, kita tahu jarak itu selalu ada. Kamu jangan mengada-ada sekarang!" Suara Royyan meninggi.
"Justru itu, Royyan!" Suaraku nggak kalah tinggi. Aku menghela napas beberapa detik. "Aku nggak mau terus-terusan terjebak ilusi dan kesalahan-kesalahan bodoh yang aku pelihara sekian lama."
"Okay, fine."

Lalu telepon diputus. Aku menggenggam ponselku beberapa saat dan kulihat langit-langit kamar hotel tempatku menginap. Aku baru saja bangun tidur dan langsung memutuskan pacarku yang sudah sejak bertahun-tahun belakangan ini jadi kekasihku. Seseorang yang sejak bertahun lalu kutunggu-tunggu ucapannya menyatakan cinta, lalu menjalin kasih dengannya. Tapi begitu semua berjalan, rasanya aneh sekali. Hingga di titik ini.

***

Dua minggu lalu aku masih menyatakan pada dunia aku baik-baik saja. Aku bahkan tidak patah hati karena kupikir aku sudah mati rasa. Tapi kata-kata Ega menjadi benar belakangan. Aku bahkan tidak butuh waktu lama. Cuma dua minggu. Dua minggu setelah aku bilang ingin putus dan Royyan dengan sebal cuma menanggapi 'okay fine' dalam teleponnya.

Ini semua karena Tania dan sebuah undangan yang memintaku datang ke kotanya.

"Lo udah banyak banget bantu gue dari awal-awal merintis bisnis ini dulu. Sekarang gue berada di satu fase yang lebih maju. Gue juga pengin lo terlibat di sini. Lo datang yah ke fashion show ini? Please!"

Tania tahu aku paling tidak bisa menolak permintaan temanku. Andai Royyan masih temanku, aku mungkin juga nggak akan tega waktu dia bilang tidak mau putus. Sayang sekali dia kekasihku, jadi aku bisa lebih tega.

"Gue usahain yah."

Iya. Aku-kamu harus berubah jadi gue-lo di depan Tania. Ega yang sejak lama di Jakarta nggak sebegininya. Tapi Tania yang baru beberapa waktu lalu di Bandung sekarang hampir udah lupa dengan "aku-kowe-jancuk-asu-matamu" dan segala macam pisuhan khas yang dimiliki anak-anak dengan mulut rusak kurang didikan macam kami.

***

Tania seorang designer. Sama halnya aku yang menikmati sekali hidupku di Jogja dengan semua kegiatan seni dan orang-orangnya yang unik, di sini Tania juga merasa "hidup". Tania mengatakan padaku kuliah di Teknik Mesin kampus negeri kenamaan di Bandung adalah sebuah anugerah, karena dari sinilah ia akhirnya bisa meraih mimpinya jadi designer.

"Sebenernya gue masih heran sih. Lo kan anak mesin. ITB."
"Nothing impossible sih, Ra."

Aku baru tahu Tania benar-benar serius dengan projectnya ini setelah dia memaksa-maksaku membuatkan satu macam video campaign untuk brand yang dirintisnya.

"Bisnis fashion di Bandung itu peluangnya gede, meski saingannya juga killer. Jadi kita harus bikin ini sekreatif mungkin biar nggak kalah dengan yang lain," ujar Tania suatu ketika. Itu kali pertama aku dibawa ke studionya.
"Oh."

Aku mengenal Tania ketika SMP. Dia temanku satu kelas sejak SMP hingga SMA. Kami menghabiskan masa remaja yang lucu di Semarang dengan kenakalan-kenakalan absurd. Sejak SMP Tania bercita-cita jadi hipster, rumahnya yang di Pleburan memungkinkan dia untuk main ke TBRS setiap malam minggu, bergaul dengan "seniman-seniman" di sana bahkan berlatih musik scream. Berbeda denganku yang justru menemukan nyawa seni ketika akhirnya kuliah di Jogja, Tania justru kehilangan jiwa seninya ketika kuliah.

"Harusnya dulu gue ke Jakarta, kuliah fashion atau sejenisnya."
"Enggak juga sih. Gue kalo akhirnya nggak kuliah komunikasi juga nggak serius ngelukis dan belajar sinematografi."
"Tapi Ega kuliah di IKJ, dan dia sutradara muda keren sekarang."
"Itu Ega, kita bakal beda lagi, Tan," ujarku sok bijak. Sambil sesekali menelan ludah pahit mendengar omonganku sendiri. Kini aku paham kenapa ada orang yang berprofesi sebagai motivator ---karena menasihati orang lain atas apa yang tidak bisa kita lakukan itu ternyata sangat mudah.

***

Royyan ke Boston beberapa bulan lalu sesaat setelah dia kerja di Jakarta, di sebuah perusahaan konsultan bergengsi yang memiliki kantor pusat di Amerika. Ia hanya beda setahun denganku, tapi ia begitu cepat lulus sementara aku bahkan belum menyelesaikan program KKN. Lalu tak lama kemudian ia bekerja di perusahaan yang diincar hampir semua lulusan kampus kenamaan di Indonesia. Keberuntungan Royyan tak berhenti di sana, ia mendapat promosi ke Boston. Katanya sebelum pergi, ini kesempatan bagus untuk dia bisa meraih cita-citanya MBA di HBS.

"Bayangin deh, Ra, Boston! Boston!" ujarnya berapi-api. Tapi aku cuma memandanginya miris karena setelah ini aku mungkin tidak pernah bertemu dia, kecuali jika kami benar-benar selo untuk saling berkunjung. Antara dia ke Jogja atau aku harus ke Boston. Oh tapi aku pernah mengikuti summer school di Rotterdam dan sampai sekarang aku tidak pernah punya kesempatan untuk balik lagi mengunjungi keluargaku di sana. Jadi aku tidak sedikit pun berpikir aku cukup selo untuk datang ke Boston ---apalagi untuk lelaki seperti Royyan.

Dan hari itu sungguhan tiba.

Aku telah melalui serangkaian drama sepanjang hubunganku dengan Royyan, tapi ini sungguh akan menjadi episode ter-nganu yang bahkan aku tidak menemukan padanan kata yang cukup untuk menjelaskan semuanya. Percayalah, aku benar-benar bosan dengan relasi seperti ini, tapi aku sungguh "jatuh" ke dalam perasaan yang kita bangun. Maka sebelum boarding, disaksikan keluarganya lengkap, Royyan menciumku ---dia mencurinya!

***

Canggu selepas maghrib.

"Lulus dulu, Ra! Nanti kita akan lebih banyak jalan-jalan setelah kamu lulus!" Wregas menepuk-nepuk bahuku. Teman masa kecilku wajahnya hampir nggak kukenali. Kulitnya hitam terbakar sinar matahari dan rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Dalam ingatanku, Ega memang nggak ganteng-ganteng amat. Tapi dengan hidup di pinggir pantai seperti ini, Ega makin nggak karuan.

Aku sedih mengatakannya tapi.. "Ga, ketoke koe butuh ke salon deh."
"Bwahahahaha!" Ega terpingkal sampai memegangi perutnya. "Wes wes, ojo seneng mengalihkan pembicaraan."
"Ih, aku serius."
"Nek koe berharap aku bisa jadi model-model Royyan, ket mbiyen dewe iki wes pacaran. Hahaha!"
"Ih, nggak gitu. Ini demi kebaikanmu juga ya ampun itu lho lihat kamu udah nggak beda sama penduduk sini!"
"Ya bagus dong, berarti hasilku tinggal di sini udah tercapai, aku wes dadi penduduk kene. Mung kudu latihan Bahasa Bali aja."

Obrolan kami akhirnya ngelantur. Dari mulai membicarakan kepulanganku ke Jogja sampai instrumen Nocturne Opus 9 No. 2 milik Frederic Chopin yang semalam ditampilkan secara solo di salah satu pertunjukan di Ubud. Ega memang sungguh-sungguh seniman. Dia dilahirkan di keluarga seniman sejak kakek buyutnya. Dia bisa membuat film, memotret, melukis (meski yang ini dia mengakui hasilku lebih oke), dan mengaransemen musik. Ia bahkan mungkin bisa menari (cuma aku belum pernah lihat langsung) dan memahat kayu. Jadi berada di dekat Ega membuatku selalu merasa hidup. Aku selalu merasa heran mengapa sejak dulu kami nggak pernah saling suka.

"Royyan aman to?"
"Nggak tau."
"Jangan terus-terusan gitu to. Kalian kan udah bukan anak kecil."
"Dianya sih udah nggak anak kecil. Akunya yang masih bocah."
"Hahaha! Ra.. Ra.. Nggak berubah kamu!"
"Aku udah putus."
"Serius?"

Aku mengangguk.

"Kok bisa?"
"Bisa. Tinggal bilang putus. Udah."
"Maksudku.. kok bisa kamu biasa aja? Liburan ke Bali.. nggak ada sedih-sedihnya.."
"Ya udah mati rasa."
"Hahahaha!" Ega tertawa lagi.
"Nggak lucu."
"Aku nggak bilang lucu juga. Cuma... aneh." Ega membenarkan posisi duduknya. Pantai Canggu semakin gelap dan orang-orang mulai pergi dari aktivitasnya berselancar.

"Ra, dengerin aku." Ega menghadap lurus ke arahku. "Kamu sedang tidak sadar. I mean.. kamu cuma sedang 'menolak' perasaanmu sendiri. Kesadaranmu.. kesadaranmu cuma sedang membendung perasaan yang sebenarnya kamu rasakan. Dan nanti, pada saatnya batas sadarmu sudah tidak mampu menahannya, kamu akan merasakan perasaan itu... yang sebenarnya kamu rasakan."

***

Braga selepas maghrib.

Aku masih di tempatku duduk dan musik-musik klasik masih diperdengarkan di tempat ini. Bergantian aku mendengar lantunan Rayuan Pulau Kelapa, Injit-injit Semut, hingga Es Lilin serta Degung Sunda. Kira-kira aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi, satu cangkir lagi aku mungkin tidak tidur sampai besok atau terkena serangan panik, tapi Tania nggak kunjung datang. Aku hampir kesal dengan orang ini kalau saja dia bukan temanku.

"Lo naik taksi aja yah, tunggu di Braga sampe gue dateng," pesannya tadi karena tidak bisa menjemputku di stasiun.

Berbagai pikiran mulai berkecamuk di kepalaku. Di sudut ruangan aku melihat dua sejoli. Mereka memesan kopi dan sepiring kue telur dengan lelehan cokelat di dalamnya. Pemandangan itu mengingatkanku pada suatu fragmen di sini ---di tempat ini, di titik yang sama persis. Ingatanku beralih seperti film dokumenter yang diputar dalam layar proyektor.

Aku mulai sedih menyadari benteng pertahanan itu akhirnya jebol.

***

"Sorry yah, gue telat. Sorry banget, lama yah, nunggunya?"
"Nggak papa. Bisa kita pergi dari sini?"
"Ra.."
"Hm?"
"Are you okay?"

Aku tidak menjawab.