Dari Mana Datangnya Asmara?


Aku potong dini hari ini seukuran kartu pos. Tentu agar kamu melihatnya sendiri tanpa aku harus susah-susah bercerita.

Oh ya, dari mana datangnya asmara?

Aku bertanya pada langit yang jingga, yang ungu, yang biru, tapi semuanya diam. Dari yang terang hingga gelap gulita. Anginnya sepoi-sepoi membelai tengkuk dan ujung-ujung rambut yang kugelung ke atas. Dingin.

Kamu begitu padaku.

***

Jogjakarta, beberapa tahun silam.

Dari mana datangnya asmara?

Aku kerap bertanya-tanya demikian belakangan. Tentu karena aku sendiri tidak bisa merasakan apa-apa, kecuali bahagia, bahkan saat melihat ujung-ujung rambutmu atau bagaimana caramu tertawa malu-malu.

Kau tahu, aku ingin cerita.

Pada suatu ketika, aku pergi menyusuri bibir sungai yang jernih. Airnya tenang, mengalir dari hulu ke hilir, menyapu batu-batuan. Sesekali kulihat ada ikan. Aku berdiri atas jembatan. Di bawah aku melihat bayang-bayang. Ada diriku sendiri di sana.

Hei, apa yang kau lihat dariku?

Aku tidak menarik, tidak cantik, bukan putri dari seorang ayah yang punya kerajaannya sendiri, tidak pintar, sangat biasa, seperti rata-rata. Apa yang kau lihat dariku? Dan bagaimana kamu melihatku? Katakan, karena aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiranmu.

***

"Heh, main-main kamu! Hati-hati! Witing trisno jalaran seko mesakno."

Aku sering dengar pepatah Jawa itu, tapi tidak demikian.

"Eh, kok jadi gitu?"
"Ya iya. Bisa aja. Hehehe."

Anomali Coffee masih ramai. Pukul 10 malam. Cikini basah selepas hujan. Kuhirup kopiku dalam-dalam. Beberapa orang duduk sendiri dengan laptop di depannya, beberapa seperti kami; duduk berdua. Ada yang berdua lalu sibuk dengan laptop masing-masing, ada yang berdua lalu saling bicara. Tapi mereka semua menyukai kopi. Kurasa. Makanya mereka datang ke sini.

Semenjak aku tinggal di Seminyak dulu, Anomali menjadi destinasi favorit. Aku tidak begitu paham kopi seperti beberapa temanku yang lain. Bagiku mencecap kopi cuma agar aku paham betapa masih banyak hal-hal yang tidak nyaman, namun tetap kunikmati dalam hidup. Kopi mungkin salah satunya. Rasanya asam, pahit, dan merusak lambung. Dokter juga berkali-kali mengingatkan agar aku berhenti ngopi setiap kali aku cek kesehatan. Aku sering mengeluh tidak bisa tidur, sakit kepala, dan dokter mengatakan salah satunya mungkin karena aku kebanyakan mengonsumsi kopi.

Namun, suatu hari, sepulangku dari liburan ke Aceh, kuundang dokter kesayanganku itu ke Prapanca, ke apartemenku.

"Jadi, kamu mengundang ke sini, cuma untuk mengajakku ngopi? Udah berapa kali kubilang, kopi itu tidak baik untuk kesehatan."
"Ya ya, aku tahu. Tapi dokter harus coba ini. Ini salah satu kopi yang paling sulit membuatku move on, dok. Dokter harus coba."

Mulanya ia mengira aku mungkin menaruh racun atau sejenisnya di dalam secangkir Kopi Gayo yang kusajikan seperti kejahatan-kejahatan lain yang kerap kulakukan sejak kami SMA.

"Nggak beracun, astaga!" kataku akhirnya. Dia minum seteguk.
"Pahit ya?"
"You don't say!"

Tapi diminum juga akhirnya. Temanku yang dokter ini sungguh baik. Lalu seperti biasanya kami bercerita banyak hal. Mulanya kukatakan bahwa ini adalah salah satu single origin terbaik yang kucoba. Kopinya banyak tumbuh di dataran tinggi Tanah Gayo, Aceh Tengah. Sebab itu dinamakan Kopi Gayo. Menurutku sendiri Kopi Gayo adalah yang paling tidak pahit. Tidak seperti kopi pada umumnya menyisakan rasa pekat di lidah, Kopi Gayo hampir tidak menyisakan rasa apapun. Bahkan beberapa temanku menyebutkan kopi ini mengalahkan citarasa Blue Mountain dari Jamaika.

"So, how's the taste?"
"Hmm menarik-menarik."

Dan sejak saat itu aku tidak perlu susah-susah ke kliniknya dan mencium bau karbol rumah sakit yang menusuk hidung setiap kali ingin bicara banyak. Aku mengajaknya ke kedai kopi yang banyak sekali ada di Jakarta. Beberapa kali kuajak ia ke Kopikina di Tebet, ke Crematology Coffee Roaster di Kebayoran Baru, ke Woodpecker di Melawai, ke Sinou, hingga akhirnya paling sering di Anomali Coffee Menteng. Sebagai sesama orang yang pernah sama-sama menikmati Jogja, Cikini adalah tempat paling 'rumah' di Jakarta. Meski sesekali aku merasa tinggal di Tebet seperti dibawa kembali ke masa-masa kuliahku tinggal di Demangan, atau bahkan ketika ke Kemang aku seperti mengingat masa-masaku jadi mahasiswa baru yang tinggal di Seturan. Di beberapa hal, Jakarta memiliki wajah yang hampir sama dengan Jogja. Tapi, paling tidak, di Jakarta aku bisa melupakan.

"Hati-hati," katanya lagi memecah lamunanku.
"Ya gimana sih, jadi manusia. Simpati pasti ada lah," kataku akhirnya.
"Hati-hati," temanku dokter yang cantik itu cuma bilang begitu berkali-kali.

***

Aku selalu berpikir Jakarta adalah kota melupakan. Ketika aku patah hati, aku memilih ke Jakarta agar aku lupa. Ketika aku sedih, aku memilih ke Jakarta, agar panas dan macetnya lagi-lagi membuat aku lupa kesedihanku sendiri. Pun ketika aku mungkin jatuh cinta, namun aku takut pada perasaanku sendiri, aku memilih ke Jakarta. Agar aku lupa.

Kami telah melewati serangkaian drama selama beberapa waktu terakhir dan aku selalu berpikir ini harus diakhiri. Maka aku memutuskan hidupku sendiri. Aku sungguhan pergi. Kutinggalkan Jogja untuk hal-hal yang aku tidak tahu apa dan kenapa. Tapi sebuah universitas di Swedia menerimaku menjadi mahasiswanya, jadi aku terbang ke Jonkoping. Setahun lamanya aku di sana. Menikmati hidup di salah satu negara dengan musim dingin paling ekstrem. Kota yang cantik dengan danau-danau yang memenuhi sebagian areanya. Aku ke Jonkoping beach, ke museum-museum seperti Vetlanda dan Huskvarna, berkemah di Visingso, dan benar-benar menikmati diriku selama tinggal dan menjadi bagian dari masyarakat di Swedia.

Setelah aku lulus dari studi yang hanya kurang lebih setahun, seorang teman yang kukenal sewaktu tinggal di Jogjakarta dulu menawariku sebuah project di Bali. Aku lalu tinggal di sana beberapa waktu, menghabiskan hari-hari di Seminyak selama hampir dua bulan. Lalu memilih untuk tinggal di Ubud, mengelola salah satu coworking space paling terkenal di Indonesia, berkenalan dengan orang-orang yang sangat menikmati Bali, para digital nomad yang telah berkeliling jauh dari negaranya untuk menikmati hidup yang cuma dihabiskan dengan botol-botol alkohol dan aktivitas party serta berselancar di Canggu. Dari sanalah aku bertemu orang yang menjadi bossku sekarang. Dibawanya aku ke Jakarta. Beberapa waktu menghabiskan hidup di Tebet. Lalu ketika kantor kami pindah ke Pejaten, aku mendapatkan sewa apartemen murah di Prapanca. Dan tinggallah aku di sana sampai sekarang.

Aku belum pernah berpikir untuk pindah sampai beberapa minggu lalu, seseorang menghubungiku melalui resepsionis apartemen. Aku tidak membagi alamat tempat tinggalku pada klien, jadi kupikir dia salah satu temanku. Aku turun ke lobby, menemuinya, dan demi apapun itu adalah hal paling kusesali sampai saat ini.

"Hai, long time no see."

***

Aku selalu ingat raut wajahnya, dan terutama matanya, yang kerap menceritakan banyak hal yang tidak pernah sanggup dia katakan padaku. Hampir dua tahun aku tidak bertemu dengan raut wajah itu. Bukan tidak mungkin, hanya karena memang aku tidak ingin.

"Kok tau aku tinggal di sini?"
"Aku selalu tau kamu di mana," katanya. "Masih ada yang tertinggal di sini," katanya lagi. Ia menunjuk dadanya. Aku tersenyum seperti karet yang direnggangkan susah payah.

Gelas-gelas dari kopi yang kami nikmati mulai kosong. Kami duduk di balkon. Di bawah lalu lintas Jakarta terlihat masih ramai meski ini beranjak tengah malam. Ini kedatangan pertamanya di apartemenku dan selama ini aku tidak pernah membawa laki-laki menginap di sini. Bagaimanapun aku harus mengusirnya.

"Pulang sana. Udah malem," kataku.
"Nggak."
"Kok nggak sih?"
"Terakhir kali kamu menyuruhku pulang, aku benar-benar pulang, tapi setelah itu kamu pergi dan bertahun-tahun tidak menghubungiku lagi, sampai hari ini."
"Astagaaa! Ya kondisinya beda!" Kepalaku nyaris meledak berhadapan dengan orang ini. Kami diam beberapa menit. "Ya terus maunya apa?" tanyaku lagi.

Dia tidak menjawab.

"Ya gitu aja terus sampai kiamat."

***

"Kita ini, dok, kan sudah bukan anak-anak lagi ya. Segala hal, harusnya lebih jelas," kataku. Kali ini kami di PIM, berburu parfum, lalu berhenti di Street Gallery. Kami kenyang dan cuma butuh hiburan dari lalu-lalang orang di sini.

"Ya itu aku setuju juga," katanya. "Tapi.. harusnya, semua hal sudah jelas sejak bertahun-tahun lalu. Sejak kita semua masih di Jogja."
"Maksudnya?"
"Ya iya. I mean.. everything was clear, waktu itu."
"Nggak paham."
"Gini.. basa basi adalah suatu tanda orang boleh bertamu, duduk, bahkan dikasih minum. Kalau suka ya, dia akan datang lagi, dan lagi, dan lagi, lagi, lagi, lagi, sampai jadi serumah. Jadi, bukan jadi tamu lagi. Hahaha!"
"Hah?" Aku bengong.
"Aduh, kok kamu jadi bego gini sih." Dia membenarkan letak kacamatanya.
"Kamu ngomongnya gitu sih ah, sok-sokan."
"Aku serius. Maksudku, emm.. kamu tu udah basa-basi waktu itu. Ibaratnya, ada orang bertamu dan kamu mempersilakan masuk, bahkan menyuguhinya minum. Dan lalu dia suka. That's why dia datang lagi, dan lagi. Tapi.. pada kedatangannya yang kesekian, kamu tiba-tiba menutup semua pintu, mengunci pagar, dan bahkan kamu pergi dari rumahmu sendiri. Itu bodoh sih."
"Okay, sekarang gini. Kamu melihat orang di seberang rumahmu dalam kondisi basah kuyup, dan di luar hujan deras sekali, sementara tidak ada tempat berteduh lain. Kamu memintanya masuk agar dia tidak bertambah kuyup dan menawarinya teh, sebagai bentuk etika. Lagipula kamu sudah dikenal sebagai orang yang murah hati. Kamu terbiasa mengajak anak-anak di sekitar rumahmu untuk datang sekadar mencicipi kue atau menonton film terbaru dan bermain di kolam renang ada di belakang rumahmu. Sesederhana itu."
"Nah, ini yang kubilang sebagai.. witing tresno jalaran seko mesakno. Hahaha."
"No, it's totally different."

Aku mengenal ini sebagai transference dalam buku-buku milik Sigmund Freud yang pernah kubaca. Umumnya dialami oleh seseorang yang berlaku sebagai 'klien/pasien' dengan orang yang diekspektasikan akan 'menyembuhkan' masalahnya. Transference muncul karena urusan-urusan di masa lalu yang tidak selesai, kemudian pada orang yang ditemuinya di masa kini, ia berhasil menyalurkan hal-hal tersebut. Ia memproyeksikan perasaan-perasaannya terhadap suatu figur kepada orang ini. Jika ingin menyelesaikan hal-hal tersebut, orang ini adalah medium yang paling tepat. Orang ini akan menjadi semacam jembatan yang menghubungkan ia dengan masa lalunya, untuk diselesaikan. Namun, di titik-titik tertentu, niat baik pada orang ini untuk membantu orang lain, akan menjadi masalah, ketika orang tersebut tidak mampu memberi batas, mana hal-hal yang boleh ia lewati, mana yang tidak.

Dan entah aku atau orang tersebut, atau bahkan kami berdua, sama-sama melanggarnya.

***

"You saved my life," katanya suatu ketika.
"Hm hm ya, makasih."
"Aku yang berterima kasih."
"Oke, sama-sama."

***
Kita tak pernah bosan memikirkan luasnya tata kosmik
Tapi di situlah kau dan aku luput memikirkan jagad diri kita masing-masing
Atau memang tiap dari kita selalu takut berimajinasi mengenai seberapa bergetar hati kita berdua kala meratapi gemintang di satu malam itu
Atau tidakkah detak jantung kita memompa hawa panas pada tiap-tiap berahi kita?

(Sajak milik Muhajir M.A.)

***

Sejak malam itu ada yang benar-benar berbeda di antara kami. Dan buatku sendiri, ada yang berbeda dalam diriku. Semacam ketakutan-ketakutan pada perasaan sendiri. Lalu seperti halnya pengecut, aku memutuskan untuk pergi. Lari entah ke mana, entah dari apa.

Tapi bukankah memang aku sudah terbiasa lari dari apapun yang tidak kuingini ---dan diapun demikian?

Tidak ada yang salah. Hanya kemudian, padanya, jawaban itu mampu ditemukan. Sementara aku bertahun-tahun setelahnya, bahkan masih bertanya-tanya. Dari mana datangnya asmara? Mengapa orang jatuh cinta? Kapan waktu yang tepat untuk orang jatuh cinta dan menjatuhkan pilihannya? Bagaimana cinta bisa melupakan ---dan dilupakan?

Semalam di Jakarta


Semalam di Jakarta aku bertemu dengan seseorang.

Jakarta tak pernah sepi. Jakarta selalu bising. Orang-orang sibuk, tak punya waktu untuk sekedar menikmati trotoar-trotar yang becek disapu hujan. Mungkin mereka ditunggu keluarganya di rumah, mungkin juga mereka lapar.

Di halte bus semua orang menunduk. Ada yang berjalan buru-buru, ada yang berbicara dengan orang-entah-siapa melalui telepon genggamnya, ada pula yang hanya sekadar membunuh waktu. Sebab Jakarta di malam hari adalah waktu di mana semua berlalu begitu cepat, sekaligus melambat. Seolah-olah bayang-bayang subuh esok hari tinggal sebentar lagi, sekaligus waktu yang sangat lambat untuk sekadar memastikan mereka sudah sampai rumah.

***

Semalam di Jakarta aku bertemu dengan seseorang. Seseorang yang sepertinya sama sekali tidak kuduga akan kutemui di sini.

"Kamu?" katanya. "Kok bisa ada di sini?"

Aku tidak berkata apa-apa, tapi aku yakin sorot mataku tidak akan berubah meski bertahun-tahun tak pernah melihat wajahnya. Seperti perasaan, mata adalah ekspresi yang paling tidak bisa dimanipulasi.

Lihatlah bunga di sana bersemi
Mekar meski tak sempat kau semai
Dan suatu hari badai menghampiri
Kau cari ke mana, dia masih di sana


Tugu Kunstkring Paleis adalah nama baru yang diberikan pada gedung tua peninggalan Hindia Belanda di masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Frederick Idenburg ini. Dulunya ia bernama Gedung Kunstkring. Diresmikan sejak April 1914, bangunan tua yang sempat tak difungsikan ini, beberapa tahun lalu disulap menjadi sebuah restoran mewah dengan nuansa seni yang sangat tinggi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

"Kok bisa ada di sini?"
"Dibawa oleh semesta."

Perempuan itu tersenyum tulus meski terlintas sebuah kegetiran. Seharusnya dia marah padaku, bukan tersenyum seperti ini.

***

"Jadi, kamu sekarang seniman?"
"Sejak dulu, kamu aja yang nggak tahu."

Aku membatalkan semua rencana kunjunganku ke tempat-tempat yang kurindukan di Jakarta karena pertemuanku dengan perempuan ini.

Pukul 1 dini hari adalah waktu paling romantis menikmati Jakarta, terlebih di Cikini. Kami tidak melihat kemacetan, bising kendaraan, atau polusi yang mengganggu.

"Kamu belum menjawab, kenapa bisa di Jakarta? Kenapa bisa ke Kunstkring?"
"Dibawa oleh semesta."
"Aku serius."
"Aku juga," jawabku sungguh-sungguh. "Aku ke Jakarta untuk urusan bisnis, lalu malam ini aku cuma mau jalan-jalan sebelum balik lagi dengan pesawat besok pagi. Aku nggak tahu kenapa aku ke Kunstkring. Aku cuma mencari tempat yang enak di Menteng, lalu beberapa temanku menyarankan ke sana. And yah, we meet each other."
"Hahaha! It's so weird."
"Aku serius."
"Ya ya, aku tahu."

Kami lalu diam.

"Kenapa aku mau di sini ya? Dengan kamu yang baru beberapa jam lalu kutemui setelah bertahun-tahun aku bahkan tidak tahu kamu masih hidup atau tidak. Hahaha." Dia tertawa meski aku tahu sesekali terdengar nada getir dalam tawanya.

Seharusnya ia memang marah padaku. Seharusnya ia marah pada waktu yang terbuang percuma hanya karena kami saling diam. Bukan. Aku yang diam. Ia pernah bilang. Namun, aku tidak melihat matanya, sehingga aku tidak percaya. Maka kuabaikan pesan-pesannya, kulewatkan kabar-kabarnya begitu saja. Hingga hari ini ketika Jakarta mempertemukan kami kembali dan aku punya kesempatan untuk sekali lagi melihat matanya.

Dengarlah kawan di sana bercerita
Pelan dia berbisik, pelan dia berkata-kata
Dan hari ini takkan kau menangkan
Bila kau tak berani mempertaruhkan

"Aku minta maaf."
"Untuk?"
"Semuanya."
"Dimaafkan sejak lama."

Kami diam lagi.

"Apa ada yang berubah?" tanyaku. Dia tersenyum.
"Tentu saja," katanya. "Aku harus pulang. Terima kasih untuk waktu jalan-jalannya. Have a safe flight tomorrow."

Walau tak semua tanya
Datang beserta jawaban
Dan tak semua harapan terpenuhi
Ketika bicara juga sesulit diam
Utarakan, utarakan, utarakan


***

Fragmen yang ditulis sambil mendengarkan "Utarakan" milik Banda Neira. Sangat direkomendasikan untuk juga mendengarkan sambil membaca.

Laki-Laki yang Tidak Move On


Aku sering benci kenapa terminologi move on seolah-olah memiliki gender. Seolah-olah move on hanya perkara menye-menye, perkara kebanyakan bawa perasaan, atau perkara ketumpulan rasionalitas ---yang semua ditujukan pada gender feminin. Aku tidak suka.

"Dibuang sih!"
"Ini tuh berharga. Ini isinya kenangan!"
"Aduh, kenangan apa lagi? Nyampah tau nggak sih. Lo itu di sini sharing tempat sama gue. Lo ngehargain gue dikit lah."
"Ya lo juga harus ngehargain prinsip gue dong!"

Suaraku meninggi dan biasanya jika begitu temanku langsung pergi. Ini bukan kali pertama kami meributkan hal-hal semacam ini; sesederhana aku yang tidak mau membuang lembaran-lembaran lukisan ---yang bahkan tidak bernilai sama sekali, lebih cocok disebut sebagai coretan-coretan absurd. Tapi bagiku, setiap coretan-coretan itu menyimpan kenangan.

***

Orang selalu mengatakan aku ini gagal move on. Aku kurang setuju dengan itu. Aku bukan gagal. Gagal itu jika sudah mencoba lalu tidak ada hasilnya. Sementara aku? Aku memang tidak mencobanya. Tidak akan pernah. Karena bagiku apa yang telah kulalui itu adalah sebuah kenangan, sebuah cerita yang terekam dalam ingatan maupun lembaran-lembaran coretan ini. Maka, aku memutuskan untuk merawatnya, menjaganya baik-baik sampai kapanpun.

Bagiku move on bukan soal perkara feminin atau maskulin, apalagi perempuan atau laki-laki. Move on adalah tentang seseorang yang punya hati, dan itu tidak peduli apakah mau perempuan atau laki-laki.

"Tapi untuk apa? Kamu udah lama lho kayak gini," katanya membuka pembicaraan. Ia perempuan kesekian yang menanyakanku hal demikian.
"Ya memangnya kenapa?"
"Ya nggak kenapa-kenapa. Sayang aja. Umurmu kan jalan terus, ceritamu juga berjalan terus. Tapi kamu memilih stuck dalam kondisi yang absurd."
"Oh ya? Kenapa absurd?"
"Bagaimana nggak absurd, kalau hal yang sangat kebendaan seperti ini kamu pertahankan atas nama kenangan."
"Tapi ini membantuku untuk mengingat, merawat ingatan."
"Kenapa harus diingat?"
"Aku melewati banyak hal bersama lembar-lembar kertas ini."
"Kamu tidak sayang dengan ingatanmu?"
"Maksudmu?"
"Iya. Ingatanmu."

Aku diam.

"Kau tahu? Jika kamu masih percaya Tuhan, sesungguhnya Tuhan ---atau apapun yang kamu percayai itu--- memberi kita ingatan yang terbatas, sebenarnya ia cukup adil. Dia memberi kita ingatan, sekaligus kemampuan untuk melupakan. Agar kita sebagai manusia memilih mana hal-hal yang boleh kita ingat atau tidak sama sekali. Dan, kemudian selalu menyisakan sebuah celah kosong dalam memori untuk memasukkan kenangan-kenangan, ingatan-ingatan baru. Dengan membiarkan ingatan berlarut-larut mengendap di memori kita, sebenarnya kita sedang menyiksanya."

"Bagaimana bisa?"

"Bagaimana tidak? Kemampuannya terbatas. Dan setiap kita melangkah, selalu ada peristiwa baru yang, paling tidak, membutuhkan sedikit celah untuk mengendap, singgah ---entah sementara atau lama. Orang harus melupakan, agar bisa mengingat apa saja yang terjadi setelahnya, karena memori manusia terbatas."

Aku terperangah. Ia mengucapkannya dengan wajah datar seperti biasanya kami kerap berbincang.

"Kamu harus lupa. Paling tidak, membuang segala sesuatu yang membuat ingatanmu tetap terpaku pada peristiwa-peristiwa yang lampau."
"Lalu?"
"Lalu kamu akan mengingat peristiwa-peristiwa baru, yang mungkin akan jauh lebih menyenangkan, berkesan, who knows?"

Aku diam.

"Ini bukan soal move on atau tidak move on. Ini soal bagaimana mengatur ingatan, bagaimana cara kita menyayangi diri sendiri terlebih dulu. Bukankah akan sulit sekali menyayangi orang lain jika pada diri sendiri kita tidak melakukannya?"

Aku diam.

"Atau jangan-jangan kamu masokis?"

Aku tersenyum. Seperti halnya aku tidak setuju perempuan selalu dituduh kurang rasional, pada laki-laki aku juga tidak suka jika selalu dianggap bisa mengungkapkan apa saja. Setidaknya aku, laki-laki, dan aku sulit sekali mengungkap hal ini.

Satu hal saja.

***



Fiksi yang ditulis di sela-sela ingatan pada seorang teman, yang katanya tidak ingin melupakan.

Fragmen Pertama di 2017

Ada orang-orang yang berbeda mendefinisikan cinta, tapi aku yakin semua orang pernah jatuh cinta.
Ada orang-orang yang berbeda memulai pembicaraan, namun aku yakin semua orang pernah memulai untuk bicara.

"Itu hanya soal cara," katamu.

Cara yang berbeda-beda, kurasa, pada beberapa titik sungguh membingungkan kita; manusia-manusia, yang dilengkapi Tuhan dengan akal, pikiran, insting, nurani, dan perasaan itu sendiri. Aku membedakan perasaan pada dua level, yakni pada tataran afeksi dan yang meliputi tingkah laku.

"Perasaan itu," katamu. "Adalah hal yang paling tidak bisa disangkal oleh manusia. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan memiliki rasa ini atau menjatuhkan rasa ini pada siapa. Namun, laku bisa kita kendalikan."

Kurasa kita terlalu banyak bicara subuh-subuh, sambil menggumam dan menceracau pelan mengapa hal-hal ini yang mesti kita gelisahkan. Toh, ya katamu, rasa ini anugerah Tuhan, begitu bukan?

Jadi, biar saja. Biarlah.

"Kau tahu aku tidak suka asap rokok."
"Aku tahu," kataku sambil mengingat-ingat tempo hari ada yang kau usir dari warung kopi karena asapnya merusak aroma kopi yang sedang kaunikmati. Padahal, banyak dari mereka pecinta kopi yang mengamini bahwa kopi ini akan jauh lebih nikmat jika dinikmati bersama sebatang dua batang rokok.
"Tapi aku bukan perokok, dan aku tidak suka ada asap rokok di sekitarku."
"Ini soal cara," kataku.

Kita diam. Hening. Pada masing-masing waktu yang terlewat telah kita bubuhi peringatan, sekali dua kali begini tak masalah, jika berkali-kali, tolong usir kami.

Kau tahu aku tidak terlalu menyukai manusia pada kerumitan mereka dalam melakoni sesuatu, pada kerumitan-kerumitan mereka mendefinisikan sesuatu.

"Hei, kau tahu kehilangan hanya merujuk pada sesuatu yang pernah dimiliki. Selain itu tidak!"

Benar. Kehilangan atas apa? Apa yang hilang? Apa hanya karena pernah merasa berhak lalu jika itu tidak ada lagi berarti kita kehilangan? Bukan begitu kan?

Pukul tiga dini hari. Katanya di waktu begini malaikat beramai-ramai turun ke bumi mengamini doa-doa dan harapan-harapan dalam hati. Ayo, lekas. Sebelum mereka semua pergi.

Dan pada waktu di mana langkah kita mulai jauh, kau berhenti.

Katamu, "Kita tidak pernah memiliki apa-apa. Kita tidak akan kehilangan apa-apa."

Pada banyak cara yang manusia miliki, kini aku sama denganmu.

Patah di Bandung


Braga, sore hari yang cukup menyengat.

Wiki Koffie adalah satu dari sekian tempat di mana aku bisa duduk berjam-jam tanpa memikirkan sesuatu. Hanya kopi, rasanya yang asam, juga berbagai cara penyeduhan. Paling kusuka adalah drip method atau kopi tetes. Setelahnya espresso barangkali ---tapi beberapa kali kucoba kopi yang kremanya tidak terlalu banyak, jadi aku menghindari kekecewaan-kekecewaan semacam itu di warung kopi.

Paling tidak memesan drip coffee tidak membuatku kecewa karena aku mendapatkan semuanya ---bahkan ampas kopinya. Aku tidak akan dibuat kecewa mengetahui krema di cangkir yang kuminum sedikit menandakan kualitas kopi yang buruk seperti memesan espresso, atau gambar di cangkirku jelek ketika memesan latte. Lagipula aku suka melihat proses titik-titik air itu keluar dari dripper dan jatuh di cangkir. Jadi, untuk sore ini, melengkapi kedatanganku setelah lama nggak ke Bandung aku memutuskan memesan kopi Toraja yang disajikan dengan drip method.

Tempatku duduk tak jauh dari Braga yang terkenal dengan kehidupan malamnya. Di sepanjang jalan kamu akan menemukan banyak sekali kedai kopi, sekaligus bar-bar yang menyajikan aneka wine dengan tiket masuk yang suka bikin sakit kepala. Tapi meski semua orang mencap buruk Braga ---sama hinanya seperti kalau di Jogja kamu main ke Pasar Kembang, tempat-tempat seperti ini sebenarnya menyimpan seninya tersendiri. Seperti kedai kopi tempatku duduk ini.

Aku nyaris melupakan semua hal; rasa sedih, kecewa, galau. Aku mau fokus di kopi dan hanya kopi. Sesekali saja aku pandangi jalanan Kota Bandung. Mobil, motor, bus-bus Damri, sepeda.. skuter! Beberapa kali kulihat dua sejoli mengenakan baju yang sama. Beberapa orang salah kostum ---bagaimanapun Bandung jam 3 siang panasnya bikin tabah untuk orang-orang yang memakai setelan coat tebal.

Di tengah kerandoman ini aku terkenang wajah temanku, Ega. Ega selalu bilang padaku bahwa ada masanya nanti aku merasakan "rasa" yang sebenarnya dari apa yang coba untuk ditunda kesadaranku hari ini. Ia katakan itu dua minggu lalu. Tepat ketika aku mengangkat telepon terakhir dari Royyan.

"Maksud kamu apa sih, Ra, putus?"
"Putus. Ya putus. Kita nggak ada relationship apa-apa lagi. Maksudku sebenarnya kita sejak lama seperti ini ---atau malah sejak awal? Entah sih. Tapi di antara kita sebenarnya cuma tinggal status-status tanpa kejelasan dan tinggal diclearin aja kalau sebenarnya kita sudah putus?"
"Salah aku apa sih?"
"Nggak ada yang salah. Yang salah itu waktu, dan jarak yang membuat waktu berbeda."
"Ara, sejak awal kita menjalin relasi ini, kita tahu jarak itu selalu ada. Kamu jangan mengada-ada sekarang!" Suara Royyan meninggi.
"Justru itu, Royyan!" Suaraku nggak kalah tinggi. Aku menghela napas beberapa detik. "Aku nggak mau terus-terusan terjebak ilusi dan kesalahan-kesalahan bodoh yang aku pelihara sekian lama."
"Okay, fine."

Lalu telepon diputus. Aku menggenggam ponselku beberapa saat dan kulihat langit-langit kamar hotel tempatku menginap. Aku baru saja bangun tidur dan langsung memutuskan pacarku yang sudah sejak bertahun-tahun belakangan ini jadi kekasihku. Seseorang yang sejak bertahun lalu kutunggu-tunggu ucapannya menyatakan cinta, lalu menjalin kasih dengannya. Tapi begitu semua berjalan, rasanya aneh sekali. Hingga di titik ini.

***

Dua minggu lalu aku masih menyatakan pada dunia aku baik-baik saja. Aku bahkan tidak patah hati karena kupikir aku sudah mati rasa. Tapi kata-kata Ega menjadi benar belakangan. Aku bahkan tidak butuh waktu lama. Cuma dua minggu. Dua minggu setelah aku bilang ingin putus dan Royyan dengan sebal cuma menanggapi 'okay fine' dalam teleponnya.

Ini semua karena Tania dan sebuah undangan yang memintaku datang ke kotanya.

"Lo udah banyak banget bantu gue dari awal-awal merintis bisnis ini dulu. Sekarang gue berada di satu fase yang lebih maju. Gue juga pengin lo terlibat di sini. Lo datang yah ke fashion show ini? Please!"

Tania tahu aku paling tidak bisa menolak permintaan temanku. Andai Royyan masih temanku, aku mungkin juga nggak akan tega waktu dia bilang tidak mau putus. Sayang sekali dia kekasihku, jadi aku bisa lebih tega.

"Gue usahain yah."

Iya. Aku-kamu harus berubah jadi gue-lo di depan Tania. Ega yang sejak lama di Jakarta nggak sebegininya. Tapi Tania yang baru beberapa waktu lalu di Bandung sekarang hampir udah lupa dengan "aku-kowe-jancuk-asu-matamu" dan segala macam pisuhan khas yang dimiliki anak-anak dengan mulut rusak kurang didikan macam kami.

***

Tania seorang designer. Sama halnya aku yang menikmati sekali hidupku di Jogja dengan semua kegiatan seni dan orang-orangnya yang unik, di sini Tania juga merasa "hidup". Tania mengatakan padaku kuliah di Teknik Mesin kampus negeri kenamaan di Bandung adalah sebuah anugerah, karena dari sinilah ia akhirnya bisa meraih mimpinya jadi designer.

"Sebenernya gue masih heran sih. Lo kan anak mesin. ITB."
"Nothing impossible sih, Ra."

Aku baru tahu Tania benar-benar serius dengan projectnya ini setelah dia memaksa-maksaku membuatkan satu macam video campaign untuk brand yang dirintisnya.

"Bisnis fashion di Bandung itu peluangnya gede, meski saingannya juga killer. Jadi kita harus bikin ini sekreatif mungkin biar nggak kalah dengan yang lain," ujar Tania suatu ketika. Itu kali pertama aku dibawa ke studionya.
"Oh."

Aku mengenal Tania ketika SMP. Dia temanku satu kelas sejak SMP hingga SMA. Kami menghabiskan masa remaja yang lucu di Semarang dengan kenakalan-kenakalan absurd. Sejak SMP Tania bercita-cita jadi hipster, rumahnya yang di Pleburan memungkinkan dia untuk main ke TBRS setiap malam minggu, bergaul dengan "seniman-seniman" di sana bahkan berlatih musik scream. Berbeda denganku yang justru menemukan nyawa seni ketika akhirnya kuliah di Jogja, Tania justru kehilangan jiwa seninya ketika kuliah.

"Harusnya dulu gue ke Jakarta, kuliah fashion atau sejenisnya."
"Enggak juga sih. Gue kalo akhirnya nggak kuliah komunikasi juga nggak serius ngelukis dan belajar sinematografi."
"Tapi Ega kuliah di IKJ, dan dia sutradara muda keren sekarang."
"Itu Ega, kita bakal beda lagi, Tan," ujarku sok bijak. Sambil sesekali menelan ludah pahit mendengar omonganku sendiri. Kini aku paham kenapa ada orang yang berprofesi sebagai motivator ---karena menasihati orang lain atas apa yang tidak bisa kita lakukan itu ternyata sangat mudah.

***

Royyan ke Boston beberapa bulan lalu sesaat setelah dia kerja di Jakarta, di sebuah perusahaan konsultan bergengsi yang memiliki kantor pusat di Amerika. Ia hanya beda setahun denganku, tapi ia begitu cepat lulus sementara aku bahkan belum menyelesaikan program KKN. Lalu tak lama kemudian ia bekerja di perusahaan yang diincar hampir semua lulusan kampus kenamaan di Indonesia. Keberuntungan Royyan tak berhenti di sana, ia mendapat promosi ke Boston. Katanya sebelum pergi, ini kesempatan bagus untuk dia bisa meraih cita-citanya MBA di HBS.

"Bayangin deh, Ra, Boston! Boston!" ujarnya berapi-api. Tapi aku cuma memandanginya miris karena setelah ini aku mungkin tidak pernah bertemu dia, kecuali jika kami benar-benar selo untuk saling berkunjung. Antara dia ke Jogja atau aku harus ke Boston. Oh tapi aku pernah mengikuti summer school di Rotterdam dan sampai sekarang aku tidak pernah punya kesempatan untuk balik lagi mengunjungi keluargaku di sana. Jadi aku tidak sedikit pun berpikir aku cukup selo untuk datang ke Boston ---apalagi untuk lelaki seperti Royyan.

Dan hari itu sungguhan tiba.

Aku telah melalui serangkaian drama sepanjang hubunganku dengan Royyan, tapi ini sungguh akan menjadi episode ter-nganu yang bahkan aku tidak menemukan padanan kata yang cukup untuk menjelaskan semuanya. Percayalah, aku benar-benar bosan dengan relasi seperti ini, tapi aku sungguh "jatuh" ke dalam perasaan yang kita bangun. Maka sebelum boarding, disaksikan keluarganya lengkap, Royyan menciumku ---dia mencurinya!

***

Canggu selepas maghrib.

"Lulus dulu, Ra! Nanti kita akan lebih banyak jalan-jalan setelah kamu lulus!" Wregas menepuk-nepuk bahuku. Teman masa kecilku wajahnya hampir nggak kukenali. Kulitnya hitam terbakar sinar matahari dan rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Dalam ingatanku, Ega memang nggak ganteng-ganteng amat. Tapi dengan hidup di pinggir pantai seperti ini, Ega makin nggak karuan.

Aku sedih mengatakannya tapi.. "Ga, ketoke koe butuh ke salon deh."
"Bwahahahaha!" Ega terpingkal sampai memegangi perutnya. "Wes wes, ojo seneng mengalihkan pembicaraan."
"Ih, aku serius."
"Nek koe berharap aku bisa jadi model-model Royyan, ket mbiyen dewe iki wes pacaran. Hahaha!"
"Ih, nggak gitu. Ini demi kebaikanmu juga ya ampun itu lho lihat kamu udah nggak beda sama penduduk sini!"
"Ya bagus dong, berarti hasilku tinggal di sini udah tercapai, aku wes dadi penduduk kene. Mung kudu latihan Bahasa Bali aja."

Obrolan kami akhirnya ngelantur. Dari mulai membicarakan kepulanganku ke Jogja sampai instrumen Nocturne Opus 9 No. 2 milik Frederic Chopin yang semalam ditampilkan secara solo di salah satu pertunjukan di Ubud. Ega memang sungguh-sungguh seniman. Dia dilahirkan di keluarga seniman sejak kakek buyutnya. Dia bisa membuat film, memotret, melukis (meski yang ini dia mengakui hasilku lebih oke), dan mengaransemen musik. Ia bahkan mungkin bisa menari (cuma aku belum pernah lihat langsung) dan memahat kayu. Jadi berada di dekat Ega membuatku selalu merasa hidup. Aku selalu merasa heran mengapa sejak dulu kami nggak pernah saling suka.

"Royyan aman to?"
"Nggak tau."
"Jangan terus-terusan gitu to. Kalian kan udah bukan anak kecil."
"Dianya sih udah nggak anak kecil. Akunya yang masih bocah."
"Hahaha! Ra.. Ra.. Nggak berubah kamu!"
"Aku udah putus."
"Serius?"

Aku mengangguk.

"Kok bisa?"
"Bisa. Tinggal bilang putus. Udah."
"Maksudku.. kok bisa kamu biasa aja? Liburan ke Bali.. nggak ada sedih-sedihnya.."
"Ya udah mati rasa."
"Hahahaha!" Ega tertawa lagi.
"Nggak lucu."
"Aku nggak bilang lucu juga. Cuma... aneh." Ega membenarkan posisi duduknya. Pantai Canggu semakin gelap dan orang-orang mulai pergi dari aktivitasnya berselancar.

"Ra, dengerin aku." Ega menghadap lurus ke arahku. "Kamu sedang tidak sadar. I mean.. kamu cuma sedang 'menolak' perasaanmu sendiri. Kesadaranmu.. kesadaranmu cuma sedang membendung perasaan yang sebenarnya kamu rasakan. Dan nanti, pada saatnya batas sadarmu sudah tidak mampu menahannya, kamu akan merasakan perasaan itu... yang sebenarnya kamu rasakan."

***

Braga selepas maghrib.

Aku masih di tempatku duduk dan musik-musik klasik masih diperdengarkan di tempat ini. Bergantian aku mendengar lantunan Rayuan Pulau Kelapa, Injit-injit Semut, hingga Es Lilin serta Degung Sunda. Kira-kira aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi, satu cangkir lagi aku mungkin tidak tidur sampai besok atau terkena serangan panik, tapi Tania nggak kunjung datang. Aku hampir kesal dengan orang ini kalau saja dia bukan temanku.

"Lo naik taksi aja yah, tunggu di Braga sampe gue dateng," pesannya tadi karena tidak bisa menjemputku di stasiun.

Berbagai pikiran mulai berkecamuk di kepalaku. Di sudut ruangan aku melihat dua sejoli. Mereka memesan kopi dan sepiring kue telur dengan lelehan cokelat di dalamnya. Pemandangan itu mengingatkanku pada suatu fragmen di sini ---di tempat ini, di titik yang sama persis. Ingatanku beralih seperti film dokumenter yang diputar dalam layar proyektor.

Aku mulai sedih menyadari benteng pertahanan itu akhirnya jebol.

***

"Sorry yah, gue telat. Sorry banget, lama yah, nunggunya?"
"Nggak papa. Bisa kita pergi dari sini?"
"Ra.."
"Hm?"
"Are you okay?"

Aku tidak menjawab.