Fragmen Desember


Seperti yang biasa kau lakukan
Di tengah perbincangan kita tiba-tiba kau terdiam
Sementara ku sibuk menerka apa yang ada di fikiranmu

Ini baru kedua kalinya seperti ini. Tapi perempuan itu hampir bisa menebak bagaimana akhirnya. Bagaimanapun cerita fiksi akan ada endingnya, seperti drama-drama di televisi atau juga berbagai pentas teater yang sering ia tonton. Desember di Jakarta tidak sedingin di Jogja. Tapi atmosfer di manapun selalu sama. Ia selalu cemas menghitung hari, menghitung mundur pada detik-detik pertemuan.

Sial. Perempuan itu selalu lupa bagaimana awalnya. Tetapi sepertinya kini dia bukan remaja lagi ---bukan anak kecil. Dan seperti halnya orang dewasa, ia sudah tahu bagaimana hal ini akhirnya.

***

Menghitung hari. Menghitung mundur di penghujung tahun.

Sesungguhnya berbicara denganmu
Tentang segala hal yang bukan tentang kita;
Mungkin tentang ikan paus di laut
Atau mungkin tentang bunga pagi di sawah
Sungguh bicara denganmu tentang segala hal yang bukan tentang kita,
Selalu bisa membuat semua lebih bersahaja

Ia sudah tahu akhirnya. Perempuan itu menyebutnya takdir. Ia heran bagaimana setiap fragmen yang sudah acak-acakan itu tetap tersimpan rapi bahkan sejak ia SMA. Hingga kini. Bertahun-tahun setelah ia sudah meninggalkan masa putih abu-abunya. Bertahun sejak ia memutuskan menjadi dewasa.

Malam jangan berlalu
Jangan datang dulu terang
Telah lama kutunggu
Ingin berdua denganmu

***

Satu potongan kecil interpretasi lagu Mari Bercerita milik Payung Teduh yang didengarkan sejak semalam. Lagu Payung Teduh pasti diciptakan saat mereka sedang jatuh cinta. Aku sedang membayangkan suatu sore di Jogja, di pinggir Malioboro dekat Stasiun Tugu, di bawah pohon-pohonnya yang teduh di depan pelataran Gedung DPRD. Kadang-kadang di tengah lamunan itu aku juga ngebayangin suatu malam di Bandung, tak jauh dari stasiun kereta, atau di Bukit Lembang, di salah tempat ngopi dengan kepulan asap kopi dari cangkir yang berbau harum ---dengan seseorang.

Aku memutar berkali-kali semua lagu Payung Teduh sejak berhari-hari lalu. Nggak tahu kenapa. Kadang-kadang aku memutar White Shoes atau Mocca atau kadang Stars and Rabbit, tapi selalu kembali lagi ke Payung Teduh. Beberapa waktu lalu Tahta mengontakku untuk project menulis lagu. Ini akan jadi lagu kedua yang kami buat. Pertama waktu kami SMA dulu bareng Ridho dan aku nggak ngerti gimana akhirnya. Wkwk. Meski aku sempet denger demonya yang cukup bagus, tapi kayaknya akhirnya kami sibuk cari kuliah dan lupa pada project itu. Nah, yang kedua ini seharusnya jadi, dan harus bagus.

Tapi Tahta harus nunggu sampai aku balik dari Bandung. Hehe.




Photo Source

Suatu Sore di Jalan Malioboro


Kereta kami sampai di Stasiun Tugu sekitar pukul empat sore. Begitu menginjakkan kaki di peron, kuhirup udara Jogja dalam-dalam. Selalu menyenangkan. Aku banyak setuju dengan orang-orang yang mengatakan Jogja adalah kota ternyaman untuk orang tinggal. Sayangnya sejak kecil aku belum pernah memiliki kesempatan tinggal di sini.

Temanku Rafa menenteng iPadnya seperti membawa talenan. Nggak ngerti lagi lah, sama dia.

Aku cuek dengan semua tingkah rempong Rafa semenjak keberangkatan kami dari Bandung tadi pagi. Awalnya aku udah bilang untuk nginep di kosku aja yang relatif lebih dekat dengan Stasiun Bandung. Tapi dia milih berangkat pagi buta dari rumahnya di Kabupaten Bandung. Kami nyaris ketinggalan kereta. Untung masih bisa ngejar meski akhirnya kami ngos-ngosan. Segala bentuk umpatan udah kulontarin di depan muka Rafa, tapi sepertinya dia kurang tidur. Dia malah langsung menarik jaketnya dan tidak mengacuhkan semua umpatanku. Brengsek memang.

Perjalanan dari Bandung ke Jogja menggunakan kereta ekonomi tidak pernah menyenangkan. Ini bukan kali pertamaku. Meski sekarang katanya kereta ekonomi jauh lebih baik daripada dulu, tapi tetep aja bikin remuk untuk perjalanan sejauh itu.

"Lu udah ngehubungin dia belum? Ini dia jemput kita nggak?" tanyaku sambil mengambil sebotol air mineral dari ransel. Kami berencana menghabiskan lima hari di Jogja dengan itinerary yang dibuat oleh Rafa ---yang katanya udah didiskusikan dengan temannya anak UGM itu.

"Gue cuma bilang kita sampai di Jogja jam empat sih. Hape gue mati, Fiq, gue nggak bisa ngehubungin dia nih. Kayaknya harus nyari tempat ngecharge dulu deh."

"Hah? Hape mati? Ah, nggak ngerti lah gue sama lu," ujarku menggerutu.

"Udah lah, nggak usah berisik. Kita ke masjid yang deket Malioboro aja, sholat di sana, tiduran ngelurusin punggung, sambil gue ngecharge hape biar bisa ngontak Nadhira." Rafa lalu melangkah meninggalkan stasiun. Aku mengekornya di belakang. Kami berjalan kaki menuju masjid di kantor DPRD DIY.

***

Usai menjalankan ibadah, aku memejamkan mataku sebentar. Hape Rafa udah nyala, tapi sepertinya dia mikir untuk bagaimana mengabarkan yang paling ideal kepada seorang gadis bahwa ia sudah sampai di kotanya dengan selamat, tanpa ada kalimat ingin dijemput, tapi berharap dengan kesadaran gadis itu menyambanginya untuk sekadar mengajak makan, atau apalah itu. Rafa terlalu kikuk menghadapi gadis.

"Eh tapi jujur gue takut awkward nih ketemu dia. Apa kita langsung ke hotel aja ya?"

"Ih, gila!" Aku bangkit dari tidurku. "Gila lu kalau gitu. Gue bela-belain nemenin ke sini, trus lu nggak berani ketemu gitu?" tanyaku. Perkataan Rafa barusan nyaris menyulut emosiku.

"Ya kan gue cuma takut awkward gitu."

"Santai lah!" Aku kembali tiduran. Sembari memejamkan mata, aku kembali membayangkan gimana wujud si Nadhira itu sekarang. Kira-kira udah setahun sejak di Pasar Seni itu aku melihatnya. Cewek, kuning langsat, pakai sepatu boots, pakai rok pendek dan kaos awut-awutan, rambut pirang. Hmm aku nggak terlalu merhatiin wajahnya, jadi aku nggak ingat sama sekali.

"Dia di McD nih, katanya kita disuruh ke depan DPRD aja, ketemu di sana," ujar Rafa. Ekspresi mukanya terlihat aneh.

"Sok, samperin!" Aku bangkit, tapi Rafa malah bergeming. "Ayok!"

"Gue nggak pede sama potongan rambut gue."

***

Begitu kami keluar dari pelataran masjid, Jalan Malioboro yang bising segera menyambut kami. Aku membuntuti Rafa yang melangkah dengan kecepatan yang sangat pelan. Entah karena sebenarnya dia masih nervous atau emang dia lagi capek, karena aku sendiri juga merasakan itu efek perjalanan dengan kereta termurah sejak pagi. Yang jelas permasalahan rambut tadi segera terselesaikan karena aku ingat aku membawa sebuah topi di ranselku. Aku menyuruhnya memakai topi itu agar rambutnya yang baru dipotong sehari sebelum ke Jogja itu nggak mengganggu rasa percaya dirinya. Tapi memang kalau boleh jujur agak aneh melihat Rafa 'sepolos' itu. Aku nggak ngerti apa yang membuat dia memutuskan memotong cepak rambutnya dan membabat habis jambang yang selama ini selalu bikin aku iri karena nggak bisa numbuhinnya.

Jogja terasa lembab. Feelingku, ini efek sejak pagi hujan, lalu menjelang siang matahari meninggi. Rasanya agak gerah, namun angin yang kencang membawa efek dingin. Secara cuaca, kupikir Bandung lebih baik.

Aku menangkap sosok perempuan duduk di bangku depan DPRD. Langkah Rafa makin melambat, sampai akhirnya beberapa meter sebelum kami sampai, ia berhenti. Rafa menarik napas panjang sebelum akhirnya ia melangkah lagi. Perempuan itu duduk di bangku taman di bawah pohon besar depan kantor DPRD DIY. Ia memandang lurus ke depan, ke arah iring-iringan kendaraan yang memadati Jalan Malioboro. Dari kejauhan aku udah senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana Rafa akan menyapa perempuan itu. Yang aku syukuri adalah.. rambutnya tidak lagi pirang. Jujur warna itu kurang cocok untuk dia.

Kami sampai pada jarak beberapa langkah di samping perempuan itu.

"Assalamualaikum." Kalimat sapaan Rafa membuatku nyaris terjungkal. Aku hampir pingsan menahan tawa.

Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara dan secara reflek berdiri menyadari kehadiran seseorang, eh, dua orang. Ekspresinya semacam kaget, atau mungkin dia juga hampir pingsan denger kalimat sapaan Rafa yang terkesan formal banget?

Beberapa detik sejak sapaan pertama Rafa, nggak ada respons. Rafa mendekatkan langkahnya. "Apa kabar?" tanyanya lagi. Kalau sampai sekali ini masih nggak direspons bisa jadi cewek ini bener-bener pengin muntah lihat tampang Rafa.

"Waalaikum salam, baik. Kamu?" Syukurlah dia akhirnya merespons.

Aku mengamati penampilan Nadhira dengan seksama. Kali ini seingatku nggak sekacau waktu pertama kali kulihat dia di Pasar Seni. Nadhira mengenakan dress tanpa lengan berwarna abu, dengan kerah model vintage berwarna putih dikombinasikan dengan potongan rok stripe vertikal berwarna abu-putih. Ada belt kecil berwarna merah yang terpasang pada potongan roknya yang menjuntai hingga lutut. Ia memakai sepatu kulit, model boots juga, tetapi tidak setinggi yang kulihat di Pasar Seni dulu ---hanya menutup sampai mata kaki. Sebuah sling bag kecil berwarna cokelat ---juga dari bahan kulit--- melengkapi penampilannya. Wajah Nadhira sangat Jawa; sorot mata, bentuk alis, hidung, mulut. Rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai. Cuma ada satu jepit rambut berwarna putih menghiasi rambutnya yang kini berwarna kecokelatan. Perpaduan itu membawa satu penilaianku; cantik. Pantes ada yang ngejar-ngejar sampai sejauh ini.

Rafa tersenyum. "Alhamdulillah baik juga," jawabnya. Beberapa saat mereka saling diam, keduanya menunduk. Bagi Rafa, mungkin ini lebih dari sekadar nervous atau nggak pede karena mukanya terlalu 'bayi' efek cukur jambang, ini pasti soal hati yang nggak karuan, jantung berdebar, aliran darah yang mendesir lebih kencang, ditambah udara Jogja dan romantisme Malioboro di sore hari seperti ini. Ck! Ini pasti berat.

"Ehm!" Aku sengaja berdeham untuk memecah suasana. Mulutku menyunggingkan senyuman.

"Oh, Nad, ini.. temenku. Kenalin, ini Syafiq. Syafiq, ini Nadhira," Rafa akhirnya memperkenalkanku. Aku maju selangkah.

"Hai, Nadhira," ujarku sambil mengulurkan tangan.

"Halo, Syafiq," jawabnya sambil menyambut uluran tanganku. Rafa melirikku sekilas. Aku yakin dia kesal karena melewatkan kesempatan berjabat tangan dengan gadis idamannya. Aku tertawa puas dalam hati. Rasain! Salah sendiri sok jaim.

Untuk beberapa saat kami hanya berkomunikasi melalui pikiran masing-masing. Jalan Malioboro masih bising dengan suara knalpot, klakson, dan mesin-mesin yang entah lulus uji emisi atau enggak. Tapi bagi Rafa, yang aku tahu gemuruh jalanan ini nggak seramai suara-suara yang memenuhi isi pikirannya. Ia kacau. Pantas dia nggak berani menemui Nadhira sendirian. Dan cewek ini, kenapa juga dia diam? Apa sekarang dia udah berubah ---nggak seatraktif yang diceritakan Rafa selama ini?

Entahlah, yang jelas perutku lapar sekali karena sejak pagi belum menyentuh nasi.

"Nadhira, bisa ngerekomendasiin tempat makan yang enak dan murah nggak?" tanyaku memecah keheningan.

"Hah? Makan?" Meski tergagap, Nadhira akhirnya merespons. "Emm mahal kalau di sini, kalau di daerah kampus UGM aja gimana?"

"Boleh tuh!" jawabku sambil menyenggol Rafa. Dia bergeming. Jatuh cinta itu teman, kau tahu, sungguh rumit.



Photo Source

Rencana ke Jogja


Aku sebenarnya nggak merencanakan ke Jogja di penghujung masa liburan seperti ini. Selain karena sebenarnya aku butuh tenaga ekstra buat menghadapi minggu pertama kuliah, juga karena keuanganku sedang menipis. Oke, ini klasik sekali untuk anak kost.

"Nol budget deh." Dia mencoba meyakinkanku sekali lagi.

"Se-nol-nol-budget-nya tuh yang namanya liburan, kita tetep butuh duit, Fa. Buat transpor ke sana, transpor di sana, biaya hotel, biaya tiket-tiket masuk ke tempat wisata, makan.." Gue mulai mulai mikir keperluan apa lagi yang mengeluarkan biaya. "Oleh-oleh?"

"Anjir lu mikir oleh-oleh segala," ujarnya menggerutu. Aku ketawa tiap liat dia kesel kayak gitu.

"Kecuali gini, bro.. lu bayarin keperluan gue di sana. Yaa.. yang dasar-dasar aja lah, makan, tidur, transpor kita bagi dua. Gimana?"

Temenku akhirnya diem setelah dari tadi ngerecokin aku dengan hal-hal soal liburan, ke Jogja, dan sebagainya. Mungkin dia ngerasa keberatan kalau harus nanggung makanku segala. Ah, tapi dia rich kid. Aku yakin 100% hal-hal semacam nraktir temen makan, apalagi di Jogja, nggak akan bikin kantong dia jebol.

"Tapi.." Dia akhirnya bersuara. "Kita naik kereta yang paling murah."

"Sok atuh kita berangkat!" Aku terkekeh membenarkan letak kacamataku. Temenku itu mendengus kesal. Hari ini usai mengelana nggak jelas, kami menghabiskan senja yang selalu cantik di Bukit Moko, Cimenyan.

***

Kalian pasti heran mengapa ada orang yang sebegitunya mau berkorban untuk sebuah acara liburan yang terkesan maksa ini. Hm biar kujelaskan. Mulanya adalah di Pasar Seni ITB taun lalu. Kami ---aku, temanku tadi, dan tiga teman kami yang lain, seperti halnya mahasiswa ITB pada umumnya, memutuskan datang. Yang utama, karena mungkin kami nggak tahu harus ngapain di akhir pekan kayak gini ketika tugas kuliah terlalu menjenuhkan buat diajak bercumbu. Kedua, mungkin karena teman kami, Reno, punya gebetan anak DKV asli Bali yang kebetulan jadi panitia di acara ini. Praktis kami ke sana sebagai bentuk dukungan moral, sekaligus mencari hiburan.

Dari kami berlima, aku, Rafa, Fadhil, Khaira, dan Reno, tak satupun yang memiliki 'someone' untuk diajak berkencan di akhir pekan. Kecuali Fadhil dan Khaira, itupun keduanya ogah mengakui bahwa ada sesuatu di antara mereka. Reno masih dalam usaha pendekatannya dengan anak DKV itu. Rafa, ah, dia mah dari dulu ambisnya cuman mentok di ngejar indeks, bukan ngejar cewek. Kalau aku, hmm nanti kalau udah saatnya kalian tau sendiri.

Kami mungkin jomblo, tapi percayalah sejak diresmikan pertama kali oleh Walikota Bandung, kami belum pernah ke Taman Pasupati. Rafa bahkan pernah memaki-makiku karena pernah dengan sengaja aku berniat mengajaknya ke sana. Hahahaha!

Pasar Seni mungkin bukan sesuatu yang menarik buat Rafa ---buat kami semua kurasa. Cuma Reno yang tertarik, itupun karena ada faktor lain. Kami berangkat berlima, tapi sampai di sana, tinggal Rafa yang kutemukan berjalan mengekorku. Kami persis pasangan gay yang keberadaannya banyak di Bandung. Aku nggak ngerti gimana kejadiannya dan bagaimana awal mulanya, tapi di sana perhatian Rafa benar-benar teralihkan oleh suara gelak tawa. Iya, dia mulanya mendengar percakapan beberapa orang, lalu mereka tertawa. Tertawa yang berisik ---seperti kondisi di sana. Tapi, yang paling nggak kusangka, Rafa justru mencari sumber suara.

Dan di sana.. di ujung sana, seseorang dengan rok pendek, kaus bertuliskan merk terkenal pabrik kata-kata asal Bali, sepatu boots, dan rambut yang dicat pirang tergelung, lengkap dengan bandana yang berwarna menyala ---mirip dengan tas Jansport kecil yang ada di punggungnya--- mampu mengalihkan perhatian Rafa. Aku tidak kenal siapa perempuan itu. Tapi aku berani bersumpah, malam itu, untuk pertama kalinya aku melihat temanku Rafa memperhatikan perempuan.

Dua puluh tahun dia tinggal di Bandung, yang konon terkenal mojang-nya nggak nguatin, baru pertama kalinya sejak aku mengenalnya, malam ini fokusnya teralihkan oleh perempuan ---yang menurutku biasa aja. Tapi perempuan itu sungguh terlihat bahagia. Dia tertawa, mereka tertawa, lepas sekali, entah menertawakan apa. Dan Rafa sangat tertarik. Beberapa saat ia terpaku pada jarak yang kesekian. Ia bergeming, bahkan setelah kuguncang-guncang bahunya. Jujur aku takut dia kesurupan.

***

Berbulan setelahnya aku mendapati jawaban atas misteri di malam Pasar Seni ITB itu. Perempuan itu bernama Nadhira. Iya, Nadhira, mahasiswa UGM, teman Rafa semasa SMA katanya. Aku berteman dengan Rafa sejak SMP, tapi aku nggak kenal siapa perempuan itu. Mungkin karena sejak SMA keluargaku pindah ke Tangerang, makanya aku nggak begitu paham dengan siapa aja Rafa bergaul selama SMA. Tapi tak hanya aku, ternyata teman-temanku yang lain juga tidak kenal siapa perempuan itu. Kami berlima bersahabat sejak SMP, dan tetap mereka tidak tahu siapa itu Nadhira.

"Bukan orang Bandung, cuma kenalan aja dulunya," aku Rafa setelah terdesak oleh kami.

"Uuu kenalan..." Koor serentak dariku, Fadhil, dan Khaira membuat Rafa gusar.

"Apa sih kalian?"

"Kenalan aja, sih, Ra, masa nggak boleh?" Aku menyenggol bahu Khaira yang sedang menyeruput green tea latte. Dia nyaris tersedak.

"Sial lu! Hahaha!" Khaira kesal, tapi tetap tertawa.

Pasalnya sudah beberapa minggu ini kami memerhatikan gelagat yang berbeda dari Rafa ---dia jadi lebih sering membuka ponselnya. Entah karena level keponya kami berlebihan atau gimana, kami diwakili Khaira akhirnya memutuskan membuka ponsel Rafa ketika si empunya ke toilet, dan.. taraaa! Terungkap semua. Seseorang di aplikasi messenger ponselnya mengalihkan dunia Rafa dari kami. Seseorang yang ternyata juga pernah mengalihkan dunia Rafa ketika di Pasar Seni. Iya, gadis dengan sepatu boots dan rambut yang dicat pirang itu. Dan namanya Nadhira, mahasiswi UGM, teman Rafa dari SMA.

Rafa nggak bisa mengelak dari bullying yang kami lakukan, meskipun ia tetap tutup mulut. Tapi aku ini temannya dari SMP, yang paling dipercaya Rafa dibanding mereka semua. Suatu hari dia pasti cerita semuanya. Aku yakin itu.

***

"Jujur aja gue udah lama banget ngga ketemu dia.. Empat tahun mungkin?" Sebuah kafe di Dago menjadi tempat favorit kami kalau lagi berdua ---lagi-lagi kami seperti pasangan gay. Rafa akhirnya bercerita semuanya, meskipun aku merasa dia memotong beberapa bagian dalam cerita. Tapi aku cukup paham. Aku cukup menangkap maksudnya.

"Kenapa lu harus ninggalin dia? Emm maksud gue, memutus kontak dari dia?"

"Jujur gue kesel sih, Fiq. Gue ngerasa kita tu berangkat dari titik yang sama, tapi dia sampai dengan selamat, sementara di sini gue ngerasa kelempar banget gitu," Rafa bercerita dengan raut muka serius. FTTM bukan mimpi seorang anak yang gagal di matematika ketika tes masuk SMA. Menjadi engineer pasti mengerikan. Aku berusaha paham itu.

Rafa diam, memandang lurus ke depan seperti menerawang, menembus garis waktu yang membawa ingatannya ke masa-masa di mana dia masih menginginkan masuk ke sana; FK UGM.

"Gue mungkin iri sih, sama dia," ujarnya lagi. "Lu inget nggak, gimana dia ketawa waktu itu?"

Aku mengangguk. "Lepas. Kayak nggak ada beban apapun."

"Ya dia selalu gitu, Fiq. Semacam lucky-girl gitu lah. Nggak pernah ada sialnya. Lu bayangin aja dia dengan mudahnya masuk FK, ya meskipun di Undip. Tapi dia lepas dengan seenaknya, cuma dengan alasan yang pengin FK tu ayahnya, bukan dia. Trus katanya dia masuk IKJ, karena suka sama film."

"Kok jadinya UGM?"

"Nggak keterima sih kayaknya."

"Ya udah, berarti kalian tu sama! Nasibnya sama-sama kelempar di tempat yang kalian nggak begitu suka. Trus masalahnya di mana?" tanyaku heran.

"Enggak tau sih waktu itu gimana. Ya maklum lah, TPB nggak pernah mudah dan lumayan bisa bikin kacau pikiran," ujar Rafa berusaha jujur. Aku memaklumi semua penjelasan dia dan menggunakan nalarku yang paling praktis, mungkin dia kesel aja sama cewek itu, akhirnya memutuskan untuk menyudahi pertemanan sesimpel nggak pernah ngontak dan nggak pernah nemuin, bahkan ketika Rafa ke Jogja berkali-kali dan ke kampus tempat si cewek itu kuliah. Kejam yah perasaan memang.

"Tapi, Fa. Kok tiba-tiba lu pengin ngontak dia lagi?"

Rafa melihat lurus ke arahku, lalu menunduk. "Gue nggak menampik kalau selama gue kenal sama dia, dia itu temen yang nyenengin, unik. Bisa dibilang temen spesial lah. Gue semacam ada ikatan tertentu gitu sama dia. Nggak ngerti sih, kenapa. Tapi gue ngerasa dia salah satu temen deket gue aja. Dan gue ngerasa bersalah atas pertengkaran kita yang sebenernya nggak penting itu."

"Kalian berantem?" potongku.

"Gue sih ngeliatnya gitu, awalnya." Rafa menghela napas. "Gue pikir dia marah, atau nyimpen dendam, atau semacam itu ke gue. Makanya gue selalu sungkan buat sekadar nyapa dia. Padahal gue selalu liat post dia di Instagram, check-in di Path, twit dia, banyak sih. Gue bahkan masih nyimpen nomer hape dia di kertas kotretan gue jaman SMA." Rafa diam sebentar.

"Terus?"

"Tapi gue nggak berani nyapa dia duluan, karena gue pikir dia marah atau masih kesel sama gue."

"Hmm lalu?"

"Sampai akhirnya gue ketemu di Pasar Seni itu. Enta momennya yang pas atau gimana, hari-hari itu emang gue kayak lagi kepikiran jaman-jaman SMA gitu. Dia salah satunya," Rafa bercerita serius. "Akhirnya gue ngechat dia buat kali pertama. Dan sumpah, Fiq! Kita tu kayak nggak ada apa-apa gitu. Kayak nggak pernah terjadi apapun. Kayak kita baru dua hari nggak ngobrol. Jadi, selama ini gue tu cuma terkurung sama pikiran-pikiran negatif gue sendiri. Dia tu nggak marah sama gue, tetep kayak Nadhira yang gue kenal dulu!"

Cerita Rafa terdengar antusias. Aku tersenyum tipis melihat ekspresi sahabatku. Berjam-jam kemudian, cerita kami dipenuhi nostalgia Rafa bersama perempuan yang dipanggil 'Nad' itu. Rafa jarang sekali bercerita mengenai apa yang dirasakannya. Terakhir aku mendengarnya bercerita seperti ini, terlebih dalam topik soal perempuan, adalah ketika TPB. Seorang gadis dari Depok berhasil masuk ke lingkaran pertemanannya. Tetapi setelah di tahun kedua gadis itu memutuskan pindah ke UI ---mengejar mimpinya masuk FK seperti Rafa, aku tidak pernah lagi mendengar cerita soal dia. Sampai hari ini ketika Rafa bercerita panjang lebar lagi. Aku yakin terjadi sesuatu yang tidak biasa, terlihat dari sorot mata sahabatku yang menyala. Nadanya antusias mencerita percakapan demi percakapan mereka.

Sampai akhirnya di penghujung liburan, ketika sebagian teman sudah di Bandung, dan duitnya menipis untuk sekadar ongkos jalan-jalan, ia mengajak kami liburan, ke Jogja. Semua menolak dengan alasan serupa; udah capek, nggak ada duit pula.

"Kenapa baru sekarang sih lu bilang?" Fadhil.

"Lu kan tau gue ke Surakarta selama liburan, kenapa nggak dari kemarin-kemarin?" Khaira.

"Sorry banget, Fa, gue udah ada janji jemput Jenny di Jakarta. Dia dari Denpasar ke Jakarta dulu soalnya." Reno.

Tapi mereka tidak tahu ada apa sebenarnya dengan Rafa.



Photo Source