Perempuan yang Menyukai Hujan


Teleponmu baru saja kututup. "Sudah pagi," katamu. Sementara, di sini aku baru saja memulai istirahat makan siangku, sembari mengecek puluhan notifikasi yang mampir ke ponsel pintar. Tidak ada yang aneh dengan percakapan kita. Terlalu biasa, seperti rutinitas.

Dulu sekali ketika aku memutuskan menyetujui ini, aku tidak berpikir perasaan akan sebegininya dalam jarak yang memiliki perbedaan waktu. Kukira, usai mendaratkan ciuman menjelang keberangkatan di bandara, rasa tenang dan hangatnya akan selalu ada sampai nantinya kita bertemu kembali. Tetapi jatuh cinta memang soal rasa hati, dan ia adalah sesuatu yang paling tidak bisa ditangkap oleh panca indera manusia, juga oleh nalar.

Rasa hati seolah-olah adalah diri sendiri. Yang seharusnya dilihat, dianggap sebagai yang melihat. Yang seharusnya dikuasai, justru dianggap berkuasa. Sehingga seperti inilah laku orang jatuh cinta; lemah, terperdaya, tidak bisa apa-apa.

***

Kamu menjulukiku perempuan yang menyukai hujan. Kamu sendiri adalah hujan; datangnya selalu kunanti-nanti dan membuatku berharap-harap cemas setiap kali akan tiba. Meski tak jarang juga membuatku kecewa. Sebab, meskipun ada waktu yang memastikan hujan datang, kadang-kadang ia ingkar janji.

Hujan mengajariku tentangmu bahwa tak setiap waktu kamu bisa dipercaya. Lebih dari itu, ia juga memberitahuku bahwa sebaiknya kita tak setiap saat harus bertemu. Kita butuh sesuatu bernama rindu. Yang karenanya, bisa ada pertanyaan-pertanyaan tak praktis berloncatan dalam isi kepalaku, berkumpul, membludak, lalu tumpah bersama derasnya hujan yang turun lewat ujung goresan pena yang penuh dengan tinta.

Pada hujan, aku sering berpuisi. Sebab, hanya dengan puisi di saat hujan aku bisa merasakan irama di setiap detak jantungmu, cemasmu, juga bahagiamu. Kau adalah hujan itu sendiri. Itu sebabnya aku menyukaimu, menyukai hujan.

Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah 
Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari 
Semesta bergulir tak kenal aral
Seperti langkah-langkah menuju kaki langit
Seperti genangan akankah bertahan
Atau perlahan menjadi lautan 
---Hujan di Mimpi by Banda Neira

Di Stasiun Kereta


Sejak dulu aku selalu berkhayal tentang sebuah pertemuan di stasiun kereta. Entah di Tawang, entah di Tugu. Aku juga memimpikan akan ada perbincangan manis sembari menikmati makan malam di lesehan, ditemani musisi-musisi jalanan. Entah di Taman KB, entah Malioboro. Otakku nampaknya tercemari lakon-lakon dalam FTV. Entah selera tontonanku yang receh, atau memang satu dari sekian banyak orang di dunia ini memiliki cerita yang... tidak masuk akal?

***

Bertahun lalu di stasiun, aku menunggu sebuah kereta yang tak kunjung datang. Sampaikan padanya aku mengucap terima kasih sebelumnya. Manusia memang harus melakukan kesalahan. Setidaknya itu membuatnya sadar, bahwa kekecewaan adalah batas antara ekspektasi dengan kenyataan.

***

Kau selalu bilang bahwa dalam setiap perpisahan pasti ada waktu untuk sesuatu yang bernama pertemuan. Ya, kau selalu bilang akan pertemuan dalam setiap perpisahan ---bukan sebaliknya seperti yang dibilang orang-orang. Kau berbeda, sebab itu aku suka.

Namun padamu, aku meyakini sesuatu; kekecewaan adalah batas antara ekspektasi dengan kenyataan.

Senja di Bandung dan Jogjakarta


Ketika terbangun, aku merasa ada sesuatu dari dalam kepalaku yang baru saja dibongkar. Pelan-pelan. Sesuatu itu berputar. Memaksaku menyaksikan cuplikan-cuplikan kisah. Mengoyak ingatanku akan suatu hal di masa lalu. Sesuatu yang seharusnya sudah selesai bertahun silam. Sesuatu yang seharusnya tidak menghantuiku, bahkan sampai ke alam pikiran.

Aku menghela napas panjang. Mengapa potongan itu muncul kembali jadi bunga tidurku? Kukira, aku sudah lupa. Tapi ternyata, pikiranku belum mau lupa. Ada sesuatu dari bagian Id-ku yang menyimpan memori-memori itu. Ia seperti kenangan. Tak mampu menembus lapisan Ego, fragmen itu cukup datang lewat mimpi. Tapi sungguh mimpi yang menghantui. Mimpi yang tiba-tiba saja mengingatkanku akan sesuatu.

"Halo?"

***

Sebagai seorang yang sudah berumur 17 tahun, seharusnya aku mulai paham tidak semua orang itu jujur. Pembohong pasti ada dan berkeliaran di sekitarku. Hanya saja, aku tidak menyangka satu dari pembohong itu justru adalah orang yang sangat aku percayai. Yang padanya, aku mempercayakan banyak hal. Yang olehnya, aku diajari, bahwa orang baik tidak mungkin ingkar janji.

Hari sudah malam. Aku duduk di peron stasiun sendirian. Temanku memutuskan pulang, karena menunggu baginya adalah pekerjaan membosankan. Ah, iya, menunggu memang membosankan. Terlebih, menunggu dalam ketidakpastian.

Aku tak tahan melihat senja
Kututup daun pintu supaya tak tembus sinarnya
Saat paling baik adalah berada di kapal terbang 
yang menuju ke timur atau
sedang berada di kereta api sehingga
senja lekas terlewati.

Senja mengingatkan aku kepada perpisahan
yang diulur-ulur
dan kepada keraguan antara
kehadiran dan kemusnahan

Mengapa tidak sekaligus mati sehingga
orang tidak sempat meneteskan air mata
Aku terus menghindari senja
Senja yang membawa sedih selalu


Seharusnya senja tadi dia sudah muncul. Tapi hingga kereta terakhir datang, aku tak juga menjumpai batang hidungnya. Ia yang katanya orang baik dan menepati janji itu, kali ini ingkar. Bukan itu saja, setelah itu ia menghilang. Tanpa jejak. Seperti lenyap tertelan bumi. Sialnya aku masih menyimpan banyak sekali pertanyaan yang seharusnya ia jawab. Maka ia seperti banyak pemicu masalah-masalah pelik di sekelilingku; ketidaktuntasan. Atau bahkan tidak ada yang tidak tuntas? Sebab dimulai saja belum.

***

"Aku sekarang di Bandung loh. Padahal kamu to, yang menunggu kabar dari Bandung? Kenapa akhirnya malah ke Jogja? Jogja kan cerita lama.."

"Emm.. enggak tahu kenapa, aku masih selalu merasa yang aku cari ada di Jogja."

"Tapi nggak ada, kan? Kamu bisa mati penasaran loh."

"Kita lucu ya!"

"Kenapa?"

"Kamu menunggu kabar dari Jogja, tapi malah ke Bandung. Aku yang menunggu kabar dari Bandung, malah ke Jogja. Hahaha! Ayolah ke Jogja aja."

"Ada sesuatu yang dikangenin sih dari Jogja. Tapi ya gitu, keenggananku sama sepertimu yang enggan ke sini."

"Kita bicara kayak gini seolah Jogja-Bandung itu sejauh Jogja-Amsterdam! Hahahaha."

"Padahal kita cukup ke stasiun kereta dan memesan tiket ke sana."

"Atau sebenarnya ini cuma ambisi-ambisi kita yang tidak tuntas. Sementara, pikiran rasional kita menahan untuk melakukannya."

"Tapi kita perlu ketemu untuk sekadar jalan-jalan."

"Ayo, ke mana?"

"Semarang aja. Pulang."